[08] Sang Penukar dan Bayarannya

Start from the beginning
                                    

Mereka mungkin terkejut melihat penampilanku yang tidak bisa dibilang oke. Tapi apa pun yang mereka khawatirkan, mereka melupakan itu dan menghampiriku. Aku menepuk rambut mereka satu per satu tanpa senyum saat diucapkan "Selamat malam, Anna", lalu membiarkan mereka pergi dalam sunyi.

Kini tinggal kami berdua. Dia sudah memandangku lebih dulu, masih dengan mata yang tak bisa kutebak karena kain putihnya menghalangi. Memang baru beberapa kali aku menatap wajahnya lurus-lurus, tetapi kali ini ada sesuatu yang ingin kucapai selain bertanya penasaran.

Aku tidak peduli apa yang ingin dia katakan, atau yang hendak dia tagih dari penyelamatan yang terakhir. Terlintas di kepalaku sebuah ide yang diharapkan mampu memuaskan rasa penasaran. Kain penutup matanya, aku ingin menarik itu dan melihat penglihatan macam apa yang tersembunyi di baliknya, rahasianya.

"Sebaiknya tidak, manusia." Tangan Kai menyusul setelah suaranya. Dia memegang pergelangan tanganku, memaksanya agar tidak maju lima senti lebih jauh.

Aku mengabaikannya, hanya menurut. Ini bukan hal yang biasa kulakukan. Menurut begitu mudah? Hebat. Seperti Kai sedang menyihirku atau aku yang memang sadar kalau posisiku sedang di ujung tanduk.

Mataku teralih ke lantai, tak mengacuhkan lengkungan bibir si pemuda emas. "Jangan dekati mereka."

"Kenapa?" si emas bertanya. "Bukankah penyelamat tidak menyelamatkan satu orang saja?"

"Logan tidak selamat," ingatku.

"Maksudku anak-anak itu. Saudara-saudaramu, Gauvelaire."

Namaku disebut lagi, menandakan bahwa dia memang mengenalku tapi aku tidak mengenalnya.

Atau, aku keliru.

"Sudah ingat siapa aku?"

Cukup penyangkalannya. Kami sama-sama tahu, aku mengenal dia, meski kami belum pernah bertemu. Entah bagaimana dia menemukanku lebih dulu. "Aku mendengar banyak dongeng dari ibuku, dan satu cerita tentang peri dari Kolonel," kataku murung. "Makhluk-makhluk yang diciptakan sebagai jelmaan dunia, kehidupan kedua manusia, tapi manusia tidak memercayai kalian."

Seusai kata-kata itu keluar, aku menatap mereka. "Kau satu dari para peri itu. Makhluk yang―"

Kai mungkin memutar bola mata dan jengkel, sayangnya aku tidak punya waktu untuk menghiraukan. Sementara temannya terkekeh. "Oke, akan kujelaskan nanti. Sebelumnya ...." Dia membuka tangan dan menegakkan tubuh. "Namaku Aurelian, dan ini Kai. Jika peri yang kau maksud adalah Frey, kau tepat sekali."

"Frey?"

"Nama asli kaum kami," jawabnya. "Aku cukup heran kenapa kau tidak mengenali kami di pasar, padahal ibumu sering membicarakan kami."

Aku mengepalkan tangan. Menggigil rasanya mengakui kalau aku sudah membuang masa-masa manisku bersama Ibu. "Aku pernah menganggapmu nyata. Sewaktu-waktu, saat aku dan Ibu masih nomaden, aku melihat kalian. Para peri berwujud anak-anak yang bermain di sekitar pepohonan, dan sesekali melambai. Untuk anak kecil yang sering mendengar ibunya mendongeng, aku cukup paham. Dan ya, rupanya benar. Kau nyata, dan parahnya, kau mengenaliku."

Semua lukaku terasa lebih dingin, tapi juga menyakitkan. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sampai umurku enam tahun, ibuku kerap menceritakan tentang para pendamping manusia yang tidak bisa dibilang indah tanpa kekejaman. Mereka yang disebut peri, dan mungkin monster. Dia tidak menyebut Frey atau istilah yang sebenarnya digunakan, tapi aku tahu, ibuku mencoba memberitahu ada penghuni Calistian selain manusia tanpa menguak keaslian identitas mereka. Entah apa alasannya.

Aku lebih menyukai peri, menganggap mereka sebagai anak-anak menawan tanpa mengingat bahwa ibuku juga bilang: selalu ada bayaran dari keajaiban mereka. Dan setelah kematian tragisnya, yang mungkin bisa kubilang bodoh jika berani, sesuatu dalam diriku mengingatkanku pada ucapannya. Dia benar, peri juga kejam.

Gauvelaire Has PromisedWhere stories live. Discover now