Prologue

209 59 24
                                    

Namanya Kim Dara. Gadis cantik keturunan Korea-Indonesia, kulit putih serta kedua bola mata hitam seperti mata orang Indonesia kebanyakan, serta rambut dengan warna selaras yang indah nan terawat selalu dia ikat setiap kali pergi dari rumah.

Semua orang biasa memangilnya Dara dengan nada khas Korea yang terkadang sedikit memekakkan telinga. Itu sedikit aneh bagi Dara. Namun, karena sudah terbiasa dia hanya mengagap itu lucu. Nama itu terdengar sangat berbeda intonasi serta pelafalannya semenjak terakhir kali sang ibu memangil nama Dara tiga belas tahun yang lalu saat dia baru berusia lima tahun.

Kala itu sebuah kecelakaan mobil merenggut nyawa kedua orang tuanya. Dara kecil hanya bisa menangis meratapi kepergia kedua orang tuanya. Ibunya hanya memberikan sebuah senyuman perpisahan, lalu memanggil lirih nama indah itu beberapa kali sebelum memejamkan mata untuk selamanya.

Dara memiliki tiga pekerjaan paruh waktu, diusia yang belum genap delapan belas tahun. Dia hanya berfikir harus melakukan itu untuk membantu meringankan masalah keuangan nenek dan bibiknya yang hanya bekerja di sebuah kedai roti.

Dara tinggal disebuah rumah sederhana peninggalan kedua orang tuanya yang terletak di pinggir kota Hwaseong, Gyeonggi, Korea Selatan.

Dara adalah anak tercedas di sekolah, meskipun selalu bekerja. Dia tidak pernah melupakan kewajiban sebagai seorang pelajar. Beberapa kali jika ada waktu luang di tempat kerja, atau di sekolah dia biasa mengunakannya untuk membaca kembali buku di dalam perpustakaan sekolah. Impiannya hanya satu, yaitu lulus dengan nilai terbaik tahun ini. Itu sudah lebih dari cukup baginya dia tidak berminat untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi, karena keuangan keluarganya yang terbatas. Terlebih lagi dia sudah sering menggunakan otaknya untuk berfikir. Dara tidak ingin mati lebih dulu, harapanya masih banyak dan perjalanan untuk itu mungkin tidak akan mudah.

Dara terkerjap dari tidur singkat jantungnya berdetak cepat. Dia menoleh ke arah pintu kayu tua yang sudah dilewati ribuan kali, lalu tersenyum sinis tanpa sebab.

"Sepertinya aku harus berangkat sekarang," gumamnya malas, lalu beranjak dari kursi biru usang.

Diambil jaket hitam dengan gambar beruang putih di tengah yang tersampir di belakang pintu kamar dan tidak lupa sebuah tas selempang berwarna toska kesukaan yang baru dia beli dengan uang hasil kerja kerasnya. Dara membuka pintu kamar, menggengam gagang yang dingin beberapa detik sebelum pemandangan di depannya berganti.

"Tadaaa!"

Terkejut bukan main dia saat sang Bibik tiba-tiba muncul di hadapan ketika hendak keluar dari dalam kamar. Pupil mata Dara melebar begitu saja, lalu tangannya spontan merebut kertas putih yang ada di depan seraya meneliti dengan hati-hati.

"Kapan Bibik mendapatkan tanda tanganku?" tanya Dara tidak percaya pada hal yang sang Bibik perbuat.

Bibiknya tersenyum bahagia saat Dara melirik dengan ekor matanya. Semburat merah terlihat di kedua buah pipi, etah kapan terakhir kali Dara melihatnya yang jelas dia tidak mengharapkan rona merah itu muncul sekarang.

"Waktu itu...."

"Dara tolong tandatangani ini, cepat!" Dara melirik tapi tetap fokus agar sambungan telponnya tidak terputus. Dia mendesis pelan sambil memonyongkan bibir.

"Sebentar, Ada apa?" tanya Dara tergesa-gesa, tampaknya gadis itu sedang tidak ingin diganggu.

Bibiknya menunjuk-nunjuk berulang kali ke bagian bawah dari surat, tempat orang biasanya melukiskan sebuah tanda tangan sebagai bukti bahwa surat itu disetujui. Disana hanya terlampir keterangan kecil bertuliskan 'yang bersangkutan' tanpa pikir panjang Dara segera menandatangani surat itu, tanpa tahu masalah besar akan datang setelahnya.

Dandeliar ✔Where stories live. Discover now