Chapter 33 - Duri Beracun

370 143 21
                                    

Hari sudah sangat gelap. Malam telah tiba. Tiga buah lampu petromak di ruang tengah bersinar dengan terang, tapi tidak dapat menerangi suasana berduka kami. Kami kehilangan Rok serta salah satu teman sekelas kami.

Devin terbujur kaku di hadapan kami semua. Sekujur tubuhnya ditutupi dengan sehelai kain alas tidur. Ransel dan barang-barangnya diletakkan di sampingnya. Quilla menangis, juga teman-teman yang lain.

Semuanya terluka. Tidak ada satupun yang tidak terluka di antara kami. Emily mendapat luka yang paling parah, kehilangan banyak darah akibat tangannya yang putus. Sekarang, dia beristirahat di kamarnya ditemani oleh Marcia.

Aku baru saja menceritakan semuanya, semua rahasia yang diungkapkan oleh Sach kemarin. Kekuatanku, juga tentang Ayah dan diriku sebenarnya.

"Maafkan aku," lirihku sambil menunduk. Aku tidak berani menatap wajah teman-teman. "Ini memang tidak masuk akal, tapi ... maafkan aku karena tidak menceritakannya pada kalian. Aku ... aku telah membunuh Devin. Ini semua salahku. Sungguh maafkan aku."

Tidak ada yang merespons selama beberapa saat. Kemudian, seseorang berjalan mendekatiku dan berhenti di depanku. Aku mendongak dan—

plak!

Pipiku ditampar dengan keras olehnya. Aku memegangi pipiku yang panas.

"Ya. Itu semua memang salahmu. Andai saja kau tidak nekat, Dev takkan pergi mencegahmu."

"Maafkan aku."

Quilla tiba-tiba menarik leher bajuku, memaksaku berdiri dan menatap wajahnya. Matanya bengkak karena terus menangis.

"Mulutmu itu ingin kusumpal? Apa kau tidak merasa bersalah sama sekali? Kau pikir hanya dengan meminta maaf, maka semuanya akan selesai? Coba kembalikan nyawa Dev yang kau curi!"

"A-aku tidak bisa ...."

Quilla semakin jengkel. Dia melepas pegangannya dan mendorongku ke dinding. Quilla lalu mendekatiku dan mengepalkan tangan, ingin menampar wajahku. Stella dan Liana dengan cepat menahannya.

"Begitukah perlakuanmu, hah!? Kau membunuh orang yang menghormati dan mencintaimu, itu balasanmu!?" serunya, berusaha lepas dari Stella dan Liana yang memeganginya.

Kepalaku terangkat, menatap Quilla dengan penuh kebingungan. "Apa ... maksudmu?"

Quilla menyeringai. "Seriously? Kau tidak menyadarinya sama sekali? Dev berpacaran denganku hanya karena dia kasihan padaku!"

Aku tertegun. "Itu ... tidak mungkin ...."

"Apa? Kau tidak percaya? Oh iya, kau, 'kan, cuma tukang perintah. Kau tidak peka dengan teman-teman sekelasmu. Tidakkah kau sadar kalau selama ini Dev selalu memanggilmu 'ketua'? Dia tidak pernah memanggilku 'bendahara' atau memanggil Hugo 'wakil ketua', maupun memanggil Marcia 'sekretaris'.

"Dia sangat menghormatimu! Saking hormatnya, dia selalu memerhatikanmu selama ini sampai itu berbuah menjadi rasa suka dan cinta! Kau tidak pernah menyadarinya sejak kita masih kelas 7 walaupun Dev berkali-kali mencoba mendekatimu. Luar biasa!

"Kau puas, 'kan!?" Quilla menatapku dengan penuh amarah, masih ingin memukulku. Tapi Stella dan Liana masih menahannya. "Mencuri energi kehidupan makhluk lain, lalu mengubahnya menjadi kekuatan fisik yang di luar nalar. Kau puas sekali, bukan!?

"Tidak kusangka ternyata orang yang memimpin kelas ini adalah seorang pembunuh. Seharusnya ayahmu tidak memiliki anak sepertimu."

Aku menggeram. "Jangan bawa-bawa ayahku!" Aku melangkah cepat ingin memukulnya. Tapi Hugo bergerak mencegahku. Aku terhenti.

IsolatedWhere stories live. Discover now