Chapter 23 - Dandelion

375 152 3
                                    

Dulu, saat aku kecil sampai aku bisa mandiri, aku selalu menghabiskan waktu siang sepulang sekolahku di rumah Hugo. Aku menumpang makan, tidur siang, dan bermain di rumahnya hingga malam menjelang waktu Ayah pulang bekerja tiba.

Namun, malam itu Ayah pulang lebih telat. Aku harus sendirian di rumah hanya dengan ditemani kucing. Aku tidak tahu Ayah akan pulang larut malam, oleh karena itu aku pulang dari rumah Hugo jauh sebelum Ayah pulang.

Malam itu, Ayah terlihat sangat kelelahan. Pakaiannya agak lusuh dan kotor. Tetapi aku yang terlalu lugu dan tidak peka malah memintanya untuk segera membacakan buku dongeng pengantar tidur.

"Ayah, hari ini Ayah janji membacakan dongeng baru buat Eve, 'kan?" tanyaku saat itu sambil menarik jaket Ayah.

Ayah tidak membalas pertanyaanku. Beliau melepas jaket lalu membiarkannya kupegang.

"Ayah ..." desakku, membuntutinya yang mau pergi ke kamar mandi. "Ayah mau, 'kan?"

"Diam!" bentaknya dengan keras. "***** ********!"

Itu kali pertama dan terakhir Ayah membentakku. Beliau langsung membanting pintu kamar mandi, mengabaikanku.

Aku yang saat itu masih terlalu kecil sangat syok hingga aku tidak ingat apa yang dikatakan Ayah padaku malam itu. Saat itu aku bahkan terlalu takut untuk melihat wajah Ayah dan tidak tidur dengan nyenyak.

Tetapi keesokan harinya, Ayah bertingkah seperti biasa, memanjakan dan membuatkan sarapan roti keju kesukaanku. Beliau bercerita bahwa di tempat kerjanya terjadi kebakaran yang membuat Ayah sedikit stress saat pulang. Beliau akhirnya meminta maaf karena membentakku.

Namun, apa kata-kata yang Ayah ucapkan padaku malam itu? Kenapa aku melupakannya? Padahal itu momen yang tak terlupakan karena hanya terjadi sekali selama aku hidup hampir enam belas tahun ini.

Seharusnya aku mengingatnya.

¤¤¤

Semua ular berkepala dua itu berhenti bergerak. Setelah terdiam beberapa saat, aku cepat-cepat berdiri membereskan semua ular yang masih menempel di tubuhku lalu berlari ke luar gua. Tidak lupa tas serta senjata tombak dan belatiku.

Aku berlari sejauh mungkin dari gua itu sampai aku terjatuh. Adrenalin yang tinggi membuatku tidak merasakan sakit pada luka di lutut. Kupandang tubuh dan pakaianku, agak berlendir dan bau ular. Itu membuatku mual dan muntah.

Dengan napas yang masih tersengal aku mengecek seluruh tubuhku. Tidak ada bercak hijau. Tidak ada bekas gigitan ular. Hanya ada luka di lutut kanan. Sepertinya aku belum digigit. Aku tidak ingin meminum penawar sekarang, karena jika ternyata aku tidak digigit, aku membuang-buang penawar milikku.

Tiba-tiba kepalaku berdenyut sakit dan telingaku berdenging. Aku spontan memeganginya. Selang beberapa detik kemudian, denyutan rasa sakit dan denging di telingaku hilang.

Aku memeriksa hidungku, tidak ada darah yang menetes. Aku kira aku benar-benar digigit.

Aku duduk bersandar di sebuah batang pohon yang sangat besar, menenangkan diri. Mengingat aku dikerumuni ular-ular itu membuatku ketakutan.

"Evelyn!"

Terdengar seruan orang-orang memanggilku dari kejauhan. Juga terdengar derap kaki mereka yang berlari. Aku mengangkat kepala, teman-teman menghampiriku.

"Kau baik-baik saja, 'kan?"

Aku tersenyum lega. "Aku baik-baik saja."

"Syukurlah."

IsolatedWhere stories live. Discover now