Chapter 3 - Pulau dengan Penduduk Bermata Cerah

Start from the beginning
                                    

"Ssstt!" potongku. "Jadi, kau melihat apa?"

"Aku melihat ada cahaya hijau yang menyelimuti tubuh Eve saat dua pria itu menyentuh tubuhnya."

Aku terdiam sesaat sambil mengunyah makanan. "Hugo, kau membual? Apa kau masih mabuk laut?"

"Uly, aku serius."

Aku menelan makanan. "Mungkin itu pengobatan tradisional khas mereka, menggunakan lampu hijau atau apalah. Mereka pasti suku asli pulau ini. Lihat, semua orang disini sepertinya memiliki iris mata yang beragam warna dan cerah, ciri khas mereka."

Hugo bergeming, terlihat berpikir. "Hmm, kau benar juga."

Setelah kami selesai makan, seorang anak yang kira-kira berusia 10 tahun datang ke balai. Ekspresi anak itu datar, tidak seperti anak-anak lainnya yang begitu senang melihat kami. Netra ungunya yang cerah itu terlihat sesuai dengan rambut hitam legamnya.

"Namaku Ega. Aku akan mengantar kalian ke sebuah tempat untuk beristirahat. Ikuti aku," kata anak itu dingin. Jadi dia anak yang bernama Ega yang disebut oleh anak-anak dan pria tadi?

Tidak punya pilihan lain, kami berdiri membereskan barang-barang lalu pergi mengikuti Ega. Dia tidak banyak bicara saat memandu kami. Beberapa mencoba bicara dengan Ega, tapi dia takkan menjawab jika bukan pertanyaan penting.

"Gila ...."

Kami berdecak kagum. Sekitar kami penuh dengan rerumputan hijau yang subur, juga sebuah danau yang jernih. Pemandangan di depan sana adalah dua buah gunung hijau. Rasanya seperti sedang berada di desa di Switzerland.

Kami sampai di depan sebuah gedung kayu enam lantai yang berdiri di tengah-tengah rerumputan hijau, di samping sebuah danau. Ternyata ada gedung bertingkat juga disini.

"Kalian akan tinggal disini. Ada dua puluh kamar, satu sudah diisi. Sisanya, kalian boleh memilih sendiri kamar yang kalian sukai. Gedung ini sudah kami persiapkan jauh-jauh hari untuk tempat tinggal kalian."

"Tu-tunggu, tinggal? Bagaimana dengan bantuan untuk kami? Kami ingin pulang," sahut Hugo bingung.

"Apa kalian tidak puas dengan bantuan dari penduduk?" tanya Ega, masih dengan tampang dinginnya.

"Bukan begitu. Tapi, kami punya orangtua yang mengkhawatirkan kami disana. Kami ingin pulang."

Ega tiba-tiba menunduk dan menatap lurus ke arah kakinya yang tidak beralas itu. Beberapa detik kemudian dia mengangkat kepalanya. Hidungnya mengeluarkan darah yang banyak.

"He-hei, kau baik-baik saja?" Hugo menghampirinya. Tapi Ega menjauh, tidak ingin didekati.

"Aku tidak apa-apa." Ega mengusap hidungnya. Namun berapa kali pun dia mengusapnya, darahnya terus merembes keluar. "Kalian akan tinggal di sini selama 180 siang dan malam."

Ega berhenti memegangi hidungnya. Tangannya berlumur darah. Sementara hidungnya masih saja mengeluarkan cairan merah dengan deras.

"Untuk teman kakak yang sakit, maaf, aku tidak bisa ...."

Tiba-tiba anak itu ambruk ke tanah, membuat kami semua menghampirinya. Marcia menyesak masuk, ingin memeriksa Ega.

"Eh, kalian bubar dulu sedikit." Marcia menengahi. "Hei, dudukkan dia."

Hugo yang paling dekat dengan Ega segera mengangkat tubuhnya dan membuatnya bersandar di tubuh Hugo.

Marcia mencubit pangkal hidung Ega dan membuka mulutnya. Darah mulai berhenti mengalir di hidungnya, tetapi kini darahnya keluar dari mulut Ega.

"Apa yang terjadi padanya?" tanyaku.

"Sepertinya anak ini punya penyakit yang cukup parah. Aku tidak tau dia menderita penyakit apa, tapi dia harus segera ditangani. Tubuhnya juga mengalami demam tinggi. Jika dibiarkan, dia akan kejang-kejang."

"Oke, kalau begitu aku yang akan membawa anak ini kepada penduduk. Kalian beristirahatlah ke gedung itu." Hugo mengangkat tubuh Ega lalu bergegas membawanya pergi.

Aku beserta 18 teman sekelas lain pun memasuki gedung kayu dengan enam lantai itu.

Lantai pertama terdiri dari dapur, wc dan kamar mandi, serta ruang makan dengan lima meja yang masing-masing memiliki empat kursi. Selain itu juga ada sebuah ruang tengah untuk berkumpul.

Naik ke lantai dua, ada empat kamar yang berhadap-hadapan. Aku memilih memasuki kamar yang paling dekat dengan tangga. Pintunya tidak dikunci.

Saat aku melihat ke dalam, aku mendapati Eve yang sedang berbaring. Tubuhnya dikerubungi berbagai macam kabel dari peralatan medis yang sangat canggih dan tidak pernah kulihat sebelumnya. Penampilannya begitu pucat.

Aku bergegas menghampiri Eve. Tubuhnya tidak sedingin yang sebelumnya, namun dia belum siuman.

"Dia koma." Seseorang mengagetkanku dari belakang. Dia Marcia.

"Koma ...?"

"Dilihat dari monitor alat-alat ini, Evelyn sedang dalam kondisi koma. Setidaknya ... itu menurutku. Kuharap Evelyn hanya pingsan sebentar." Marcia menghampiri. "Nanti kita tanyakan pada orang yang menanganinya."

"Kalau Eve benar-benar koma, kapan dia akan bangun?"

Marcia menunduk, terlihat sedih.

"Aku ... tidak tahu."

*

180 Days to Escape

.
.

**Eavesdrop**

"Apa benar pulau ini sesederhana penampilannya?"

"Kalian tidak bisa pulang."

"Makanan kalian meracuni kami!"

~ Selamat Datang di Pulau yang Terisolasi ~

TBC

27 Mei 2021
Izask

IsolatedWhere stories live. Discover now