XXXII (a).. In My Memory

324 35 0
                                    

'Cause you'll be in my heart
Believe me, you'll be in my heart
I'll be there from this day on
Now and forever more

Jari-jemari Alessia menari dengan indah di atas tuts-tuts piano. Wajahnya ceria seperti biasa, apalagi dia ditemani oleh ibunya tersayang. Alessia bermain piano dan ibunya yang bernyanyi.

Alessia kecil lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar bermain piano, mencoba memainkan lagu-lagu. Tidak heran bila dalam waktu satu tahun dia telah menguasai puluhan lagu Mozart dan Chopin.

Alessia memandangi piala pertama yang dia dapatkan setelah satu tahun berkecimpung di dunia musik piano. Dengan adanya piala itu, Alessia terpacu untuk semakin giat bermain piano. Dalam sehari dia dapat menghabiskan waktunya selama empat sampai lima jam memainkan alat musik berukuran besar itu. Dia tidak membiarkan jarinya tidak memencet tuts piano barang semenit, sebab jarinya pasti akan terasa kaku.

Varya, ibu Alessia itu tidak pernah lupa kalau Alessia masihlah anak kecil. Dia tidak mau Alessia kehilangan masa kecilnya. Alessia membutuhkan waktu untuk bermain dengan teman-temannya, karena pada masa kecil seperti inilah merupakan masa yang akan selalu dikenang.

Varya mengelus lembut surai cokelat Alessia yang dikepang dua. "Bagaimana tadi sekolahnya?" Varya juga tidak pernah lupa menanyakan keseharian Alessia selama di sekolah. Mengingatkan Alessia untuk mempelajari kembali pelajaran yang didapatkan di sekolah. Sejauh ini, Alessia dapat menyeimbangkan antara sekolah dan bermain piano. Varya sempat khawatir Alessia tidak dapat membagi waktu, ternyata tidak. Alessia merupakan anak yang cerdas.

Alessia membuka lembaran demi lembaran buku not piano lagu Chopin. Mengayunkan kakinya ke depan dan belakang. "Bu Jenny bilang, aku sudah pandai menghitung penjumlahan dan pengurangan. Perjuanganku setiap malam belajar dengan kak Faolan tidak sia-sia." Alessia tersenyum lebar.

Varya tersenyum bangga. "Baguslah. Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil."

"Benar, Ibu." Alessia membaca dengan cermat notasi lagu yang akan dia nyanyikan. "Oh, ya, Bu. Dua hari yang lalu ada anak baru, penampilannya sedikit aneh. Dia duduk di sebelahku, dia itu kalau lihat aku matanya memelotot-memelotot. Seram." Raut wajah Alessia menunjukkan kengerian. "Padahal aku tidak pernah berbicara dengannya. Kenapa dia seperti membenciku?"

"Kenapa kamu beranggapan dia membencimu?"

"Karena matanya memelotot."

"Apakah dia seperti itu ke teman-teman yang lain?"

"Tidak."

"Mmm, mungkin itu hanya perasaan kamu saja."

"Tidak, Ibu. Sungguh, dia memelototiku." Alessia mengerucutkan bibirnya kesal karena ibunya tidak percaya. "Dia itu tidak punya teman, karena dia sangat pendiam dan wajahnya datar. Jadi tidak ada yang berani mendekatinya."

"Kalau seperti itu, kamu yang menjadi teman pertamanya."

"Tidak mau, ah."

"Jangan seperti itu, Sia. Mungkin dia seperti itu ke kamu, karena dia ingin berkenalan sama kamu."

Alessia terdiam sejenak, memikirkan ucapan ibunya. "Tapi ...."

"Seseorang yang pendiam dan berwajah datar, belum tentu dia merupakan orang yang tidak baik. Mungkin itu kepribadiannya dan kebetulan wajahnya memang tampak tidak bersahabat. Dan tidak semua orang pandai bergaul."

Alessia mencerna ucapan ibunya. Dia tidak boleh menilai seseorang dari penampilan luarnya. "Aku putuskan. Besok aku akan coba bicara padanya."

Varya tersenyum lebar seraya mengelus surai cokelat anaknya itu.

You Are Mine, My Luna (TAMAT)Onde histórias criam vida. Descubra agora