41 🐄 Mencari Pembenaran

Start from the beginning
                                    

Mengingat kekonyolannya kemarin saat mendatangi kantor polisi untuk menyerahkan diri, Arvin sedikit geli. Dia mengaku telah melakukan penipuan yang didalangi oleh sang ibu pada keluarga Maharaja. Arvin siap dipenjara. Namun pihak polisi mengatakan mereka belum bisa memproses laporannya sementara pihak Maharaja tidak melayangkan gugatan.

Jadi dia pulang dengan tangan kosong. Arvin mengirimi Juwi pesan karena tidak mau dicap pembohong.

Arvin: Neng, aku belum dipenjara, masih nunggu tuntutan dari Maharaja. Kalau mau mukul, aku di rumah ya.

Meski keadaan tidak sedang baik-baik saja, tapi entah kenapa dia merasa berdebar senang usai mengirimi Juwi pesan. Arvin yang bicara padanya mulai saat ini adalah seorang laki-laki sejati, bukan penyuka sesama jenisnya.

“Jadi... apa yang sebenarnya terjadi?”

Arvin menoleh pada sang ibu. Wanita itu membuang muka, tidak menatapnya, bahasan soal tidur bersama tanpa busana tentu sangat tabu dan masih enggan dibahas oleh seorang ibu dengan anak laki-lakinya.

“Jujur ya, Bu. Aku lupa.” Arvin bersuara sambil menundukkan kepala. “Tapi aku tahu kalau itu nggak baik, aku nggak mau kejadian yang sama terulang di masa depan, aku kalut, aku bilang ke Ibu dan aku mengaku. Aku bajingan ya, Bu.”

Tidak ingat melakukan apa saat bangun pagi telanjang berdua? Tentu saja bajingan. Wan Fenty tidak bisa memberi putranya pembelaan. “Tapi mereka sudah periksakan, Juwi masih perawan. Teh Lia bilang hymen-nya masih utuh. Kalian berdua masih diselamatkan.”

Arvin mengangguk, dia bersyukur dan lega mendengar kabar itu. “Dia benci sama aku.”

“Dia suka padamu.” Ragu, Arvin menatap mata sang ibu. “Kau tak paksa dia untuk melakukannya, kan?”

“Bu, kami mabuk!” Arvin memerah seketika.

“Oh, jadi menurutmu kalau dia sadar, dia tak mau?”

Pemuda itu mengerjap, diam-diam otaknya mencerna, dia kembali ke masa lalu, Juwi yang agak... agresif itu. Mungkinkah...

“Kenapa kau berpikir dia tak suka sama mu, Intan?” Wan Fenty tak habis pikir pada putranya sendiri. “Dia bersedia melakukan hal sejauh itu saat tahu kau laki-laki yang suka dengan sesama jenismu. Dia rela, dia berkorban untukmu. Mungkin tujuannya untuk mengikatmu, untuk membuat kau tertarik, untuk... menyembuhkanmu. Jadi dari mana kau menilai dia tak suka padamu?”

Arvin terbengong mendengar ucapan sang ibu. Logika itu, anehnya, tak terlintas di kepala. Arvin hanya merasa dikasihani saja. Lagi pula Juwi hampir selalu melibatkan Davin dalam hubungan mereka.

“Oi, Intan Payong! Kau butuh apa? Tanda seperti lampu neon yang berkedip di jidatnya?”

Ada yang bersemu, tapi menolak untuk terlihat malu-malu.

“Untuk meyakinkanmu, ibu dapat sumber paling bisa dipercaya. Teh Lia sendiri yang bilang kalau anaknya suka padamu, sejak lama.”

Ada yang meledak, tapi bukan serangan bom Hiroshima.

“Udah, Bu...” Arvin menundukkan kepala, dia tidak sanggup lagi mendengarnya. Arvin bisa gila. “Ini udah nggak ada gunanya sekarang.”

“Kau benar.” Wan Fenty tidak bermain halus pada sang putra. “Sekarang sudah berbeda, hancur porak-poranda. Tapi, Vin, kalau jodoh takkan ke mana. Percaya saja.”

Lucu sekali hidupnya ini. Arvin tak habis pikir kenapa drama ala opera sabun ini harus dia jalani. Bagaimana dua orang yang sebenarnya saling suka malah dipisahkan dengan cara seperti ini?

Oh, My Juwi! ✔Where stories live. Discover now