Mahar ; "Ku Pinang Kau Dengan Sandal Jepit"

1 0 0
                                    


Inilah pembahasan yang ringan tetapi menggigit, bahkan 'menelan korban' yang cukup banyak. Cinta bisa kandas, hanya berkutik pada satu permasalahan menjelang pernikahan, dan tidak sedikit yang mundur teratur, bahkan sekalipun pria yang memiliki postur tubuh sixpack bisa berpikir ulang disaat membahas masalah Mahar.

Para calon mempelai, biasanya terganjal dengan permasalah ini, mengkalkulasikan mahar dengan nilai beli emas murni, menghitung pantas dan tidaknya memberikan mahar tersebut untuk calon pendamping. Walau, pembahasan masalah mahar sendiri memiliki perbedaan baik kearifan budaya, bahkan sudah cukup mendarah-daging bahwa nilai seorang pria di mata calon mertua, adalah seberapa besar anda memberikan mahar atau mas kawin.

Bukan hanya itu saja, pada bagian penyebutan mas kawin menjadi prioritas ke dua tatkala ijab-qabul dibacakan lengkap dengan mas kawin yang diberikan, seakan-akan hal ini menjadi inti dari ijab-qabul itu sendiri. Puluhan bahkan ratusan pasang telinga ingin mendengar, seberapa besar mas kawin yang diberikan.

Pengertian mahar sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu al-Mahr, jamaknya muhur dan muhurah. Sedangkan menurut bahasa, kata al-mahr bermakna al-Sadaq yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan "maskawin", yaitu pemberian segala sesuatu kepada seseorang perempuan yang akan dijadikan istri. Yah, walau pada prinsipnya mahar itu sendiri sebagai bentuk wujud memuliakan seorang wanita yang hendak dinikahi.

"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." ( Q.S : Annisa (4 ) : 4)

Tujuan mahar tak lain, memang sebagai cara bagaimana seorang pria memberikan 'persembahan terbaik-nya' untuk wanita yang memang kelak akan berdampingan dengan hidupnya sampai maut memisahkan, amin. Akan tetapi, tidak ada acuan dasar seberapa besar mahar tersebut untuk diberikan kepada mempelai wanita. Maka ditepislah permasalahan besar dan kecilnya sebuah mahar disaat 'Si-Cinta' ridho dengan apa yang diberikan calon mempelai pria.

"Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya."

Namun, semakin besar seorang pria memberikan mahar semata-mata tak lain demi mencari keberkahan, dengan harapan semoga Allah melimpahkan rezeki dan memberkahi rumah tangga yang sebentar lagi menjadi milik berdua.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

"Adapun yang dinukil dari sebagian Salaf bahwa mereka memperbanyak pemberian mahar kepada wanita-wanita (yang mereka nikahi), itu tidak lain karena harta mereka berlimpah.

Mereka mendahulukan penyerahan seluruh mahar sebelum menggauli, mereka tidak menundanya sedikit pun. Dan siapa yang mempunyai kemudahan dan mempunyai harta lalu dia senang memberi isterinya mahar yang banyak, maka tidaklah mengapa."

"Dari Amir bin Rabi'ah bahwasanya ada perempuan dari Bani Faza'ah dinikahkan dengan mahar sepasang sandal. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya, "Apakah engkau meridhakan dirimu dan apa yang kau miliki dengan sepasang sandal?" perempuan tersebut menjawab, "ya" Rasulullah pun membolehkannya."( HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad; shahih )

Kata,'Ridho' menjadi kunci jawaban dan berkaitan dengan hadits, "Dari 'Aisyah RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,

"Nikah yang paling besar berkahnya yaitu yang paling ringan maharnya" HR. Ahmad

Kesederhanaan dalam memberikan mahar berdampak kepada dari nilai efisiensi, sudah sepantasanya bahwa ada hal penting yang harus dipikirkan dalam membangung sebuah rumah tangga, bukan sekedar mahar yang berlipat harganya, atau 'wah' akan tetapi setelah prosesi setelah walimah-lah yang mesti dipikirkan.

Jika landasan pernikahan itu ketulusan, dan atas dasar cinta maka Allah akan menurunkan Rahmat bagi kedua mempelai, Allah tunaikan segala janji-Nya. Sudah pasti, ke-Ridho-an pasangan yang kelak menemani langkah hidup kita, jangankan masalah mahar, hidup berdua mengarungi bahtera rumah tangga dengan ikhlas 'garam pun akan terasa manis, cuka pun menjadi tawar rasa-nya."

Maka konsep Sakinah Mawaddah Warhmah yang selalu menjadi pemanis dalam doa pernikahanan, akan terwujud. Dimana rasa ketakutan suami dalam memikul amanah yang tidak ringan tersebut, serta menjadi tugas istri dalam melengkapi segala bentuk kekurangan dari pria yang menjadi pilihannya, begitu juga sebaliknya.

Bukankah pernikahan adalah mediasi yang menyatukan perbedaan?! Dan buah dari Sakinah Mawaddah Warahmah adalah Dzurriyatina Qurrota'ayun' ( Q.S : Al – Furqon : 24)

(......keturunan kami serta istri istri kami penyejuk mata kami....) Maka ringanlah tugas sang sang suami sebagai 'Lilmuttaqina Imamaa' ( Imam bagi orang-orang bertaqwa ) yang tak lain adalah anak dan istri.


HR. Ahmad (no. 23957), al-Hakim (II/181), ia menshahihkannya dan menilainya sesuai dengan kriteria al-Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak mengeluar-kannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami' (II/251) dan dalam al-Irwaa' (VI/250).

Majmuu' Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/195)

NIKAH AJA DULU, JALAN PINTAS KAYA RAYAWhere stories live. Discover now