Cara Rasulullah Untuk Move On

1 0 0
                                    


Apa pernah Rasulullah galau? Pasti, karena beliau juga manusia yang memiliki hati dan perasaan yang sama. Teramat wajar, jika kita mengikuti dan mencari tahu orang yang namanya selalu disebut-sebut oleh ratusan juta umat manusia.Yah, karena beliau sendiri terlahir dari rahim seorang ibu, memiliki organ tubuh yang sama. Rasulullah pun hanya manusia biasa, yang memiliki rasa dan perasaan yang sama. Maka amatlah wajar, jika Allah mengutus nabi-nabi-nya dari golongannya sendiri.

Dalam Surat Ar-Ra'ad : 7 Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan bahwa Ia mengutus para nabi dan rasul khusus hanya kepada kaum mereka, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk. Dan dalam firman lain-Nya, Allah pun memberikan alasan mengapa para Nabi itu diutus ;

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiyaa':107)

Dengan persamaan seorang Nabi dengan manusia pada umum-nya, jelas rasanya seorang Muhammad pun pernah mengalami kegalauan yang teramat sangat. Bagaimana ia kehilangan orang-orang yang dicintainya. Tetapi apakah seorang Muhammad menghabiskan waktu hanya untuk meratapi kesedihannya? Tidak, karena pada hakikatnya beliau tahu batasan-batasan kewajaranannya sebagai manusia pilihan. Dan menyadari bahwa manusia tak lepas dengan cobaan yang Allah berikan, salah satunya adalah kehilangan jiwa.

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". [ Al-Baqarah : 155-157]

Tahun 10 H dari kenabian dalam usia 65 tahun sedangkan Rasulullah ketika itu berusia 50 tahun, dua peristiwa duka yang beliau alami dan sama-sama kita ketahui, pada tahun tersebut seorang Muhammad kehilangan orang-orang yang ia cintai. Abu Thalib, sang pembela sekaligus paman kandung Rasulullah jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Saking cintanya Abu Thalib menutup usia dalam keadaan tanpa membawa keimanan dan ajaran agama yang dibawa keponakannya itu.

Dari (Sa'id) bin al-Musayyib Dalam kitab ash-Shahîh menceritakan ketika Abu Thâlib dalam keadaan sekarat, Nabi mengunjunginya sementara disisinya sudah berada Abu Jahl. Beliau bertutur kepadanya: "wahai pamandaku! Katakanlah: Lâ ilâha illallâh, kalimat ini akan aku jadikan hujjah untukmu di sisi Allah".

Di saat kritis dan ketika Rasulullah mencoba membimbing Abu Thalib untuk bersyahadat di akhir hayat-nya, Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah melontarkan perkataan yang cukup membuat Rasulullah terperangah. "wahai Abu Thâlib! Sudah bencikah engkau terhadap agama 'Abdul Muththalib?"Keduanya terus mendesaknya demikian, hingga kalimat terakhir yang diucapkannya kepada mereka adalah "aku masih tetap dalam agama 'Abdul Muththalib".

Nabi berkata:

"Aku akan memintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya", tetapi

kemudian turunlah ayat: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (Q.S at-Taubah ( 9 ) :113).

Ayat senada pun turun :

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi...". (Q.S al-Qashash ( 28 ): 56).

Jelas, bahwasannya se-cinta apa pun seorang Rasulullah kepada pamannya tanpa ada restu atau persetujuan dari Allah SWT dan menyangkut aqidah, tidak ada pengampunan sekalipun seorang Muhammad yang seluruh tubuh-nya diharamkan untuk tersentuh api neraka, tetapi tidak bisa menjamin, orang yang dicintainya akan terbebas dari hisab-nya Tuhan.

Selepas paman beliau meninggal, tak beberapa lama pun istri yang begitu ia cintai, buah hati yang selalu menemani langkah dan perjuangannya dalam menitih dakwah Islam, ancaman, caci maki, hinaan sudah ia hadapi bersama kekasihnya Muhammad SAW. Khadijah yang senantiasa ia cintai, lebih dahulu meninggalkannya, wafatlah Khadijah selang dua bulan setelah pamannya meninggal dunia.

Dua peristiwa sedih tersebut berlangsung dalam waktu yang relatif berdekatan, sehingga perasaan sedih dan pilu menyayat-nyayat hati Rasulullah. Kemudian, cobaan demi cobaan terus datang secara beruntun pula dari kaumnya. Sepeninggal Abu Thâlib, nampaknya mereka semakin berani terhadap beliau, mereka dengan terang-terangan menyiksa dan menyakiti beliau. Lengkap sudah, kesedihan yang dialaminya.

Karenanya, beliau pergi menuju kota Thâ-if dengan harapan penduduknya mau menerima dakwah beliau, melindungi dan menolong beliau melawan perlakuan kaumnya namun beliau sama sekali tidak melihat ada seroangpun yang mau melindungi dan menolong. Justru sebaliknya, mereka menyiksa dan memperlakukannya dengan yang lebih tidak manusiawi dari apa yang dilakukan oleh kaumnya sendiri.

Seperti itu-lah, dialy rutinitas seorang Rasulullah, panutan ratusan ribu bahkan jutaan umat manusia, hari-harinya terasa hampa dan nyaris menggoyahkan jiwa ghiro dalam berdakwa. Namun, atas dasar ketauhidan yang ia miliki begitu tinggi dan memahami apa yang menjadi kehendak Allah SWT, beliau sadar Qadha dan Qadr hidupnya, dan beliau pun mengerti arti sebuah pertemuan yang hanya waktu membias kenangan indah dengan orang-orang yang dicintainya. Muhammad hanyalah manusia biasa, ia pun memiliki hati yang sama, dan air mata yang bisa keluar disaat kehilangan orang yang selalu membela dan menamani dakwahnya. Rasulullah tak ingin larut dalam kesedihan, hingga akhirnya reward dari ketabahan serta ketauhidan seorang Muhammad, Allah gantikan dengan perjalanan Isra' – Mi'raj.

Dari peristiwa Yaumul Husni ini mengajarkan kepada kita, bahwa kekurangan jiwa atau kehilangan orang yang kita cintai sudah menjadi satu ketentuan tertulis dalam firman-Nya sebagai cara Allah menguji keimanan dan kesabaran hambanya. Semua itu bukan tanpa ada maksud, dibalik ujian tersebut Allah mengajarkan kita bahwa pada hakikatnya tidak semua anak manusia mampu menyadari itu, hanya orang-orang yang sabarlah memahami bahwa segala sesuatunya datang dari Rabb dan kembali pada-Nya.

Kehilangan orang yang kita cintai, semata-mata Allah menginginkan adanya kenaikan derajat bagi hambanya yang mampu melewati ujian kesabaran tersebut. Sekalipun ia seorang Rasul tak akan lepas dari ujian yang Allah akan berikan kepadanya.

Rasulullah pun memiliki cara sendiri untuk bisa move on dari kesedihan-nya tersebut. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dijelaskan bahwa doa yang sering Rasulullah amalkan untuk menghapus kesedihannya.

" Dari Anas bin Malik : Aku melayani Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saat beliau singgah dan aku selalu mendengar beliau banyak berdo'a: "Allahumma Inni A'uudzu Bika Minal 'Ajzi Wal Kasali Wal Bukhli Wal Jubni Wa Dhal'i ad-Daini Wa Ghalabatir Rijaal" (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari (sifat) gelisah, sedih, lemah, malas, kikir, pengecut, terlilit hutang dan dari kekuasaan " ( HR Bukhari )

Ada sebuah do'a dinukil dari 1001 Asma Allah yang terangkum dalam Jawsyan Kabir sebagai penawar kesedihan.

"Wahai Yang Mengetahui semua keghaiban, wahai Yang Mengampuni dosa-dosa, wahai Yang Menutupi aib-aib, wahai Yang Menghilangkan beban-derita, wahai Yang Membolak-balikkan hati, wahai Sang dokter semua hati, wahai Yang Menerangi semua hati, wahai Yang Melembutkan semua hati, wahai Yang Menyingkapkan semua kesedihan, wahai Yang membuka tabir kegelapan."

NIKAH AJA DULU, JALAN PINTAS KAYA RAYAWhere stories live. Discover now