SMA🍁 Derita Jadi Anak Baru

307 47 2
                                    

"Itu anak baru yang katanya songong yaaa?"

"Iyaa. Padahal kelihatannya kalem looh. Nggak ada tampang-tampang songong."

"Parah sihh, hari pertama aja berani ngelawan sama panitia OSIS. Terus katanya hari kedua sengaja nggak ngerjain waktu dikasih sanksi."

Entah berapa menit gosip itu berlangsung, Arumi bahkan tidak sadar disebelahnya sudah duduk seorang perempuan dengan gaya cukup nyentrik. Tak hanya jam tangan sport pria army, beberapa gelang yang menurut Arumi tak lazim dikenakan seorang pelajar juga terpasang disana. Gelang dengan hiasan taring, entah taring apa.

Seorang guru dengan kepala depan botak plontos, lalu disamping dan belakangnya masih tumbuh rambut yang mulai putih masuk tampa membawa buku ataupun apapun.

Arumi menoleh sekilas, ternyata semua kursi sudah terisi. Beberapa siswa terlihat mencuri lirik ke arahnya.

Arumi menatap ke depan, guru yang sekarang sudah duduk itu sedang membuka tablet ditangannya dengan mata begitu serius.

"Dikelas ini ada anak baru yaa?" Tanya guru itu lalu mengedarkan pandangan keseluruh isi kelas dan berhenti tepat pada Arumi.

"Kamu yaa? Bapak soalnya kemarin wali kelas dikelas sini juga, jadi tinggal cari mukanya yang beda hehe." Kata Bapak itu tertawa ramah.

Arumi tersenyum tipis sambil mengangguk. Ia tidak tahu harus melakukan apa.

"Kok semuanya pada diam? Masih setengah tahun lagi yaaa kalian baru UN. Jadi jangan terbawa suasana serius begini hehe..." Bapak itu berbicara pada semua siswa lalu diakhiri lagi dengan tawa. "Ini sudah kenalan semuanya?" Tanyanya lagi. Tidak ada yang menyahut, mata bapak itu kembali ke arah Arumi.

"Belum Pak." Sahut Arumi jujur tanpa menghiraukan bisik-bisik warga kelas yang sampai ditelinganya. Dari beberapa bisikan itu, Arumi mendengar nama Bayu si ketua OSIS. Itu berarti laki-laki yang ia tabrak itu ada dikelas ini.

"Lo pikir dengan minta maaf benjolan di kepala gue langsung ngilang kayak setan! Makanya kalau jalan itu liat-liat! Telat ya telat! Nggak usah maksain masuk ke barisan!"

Arumi refleks menggelengkan kepalanya ketika jawaban Bayu beberapa hari lalu terlintas dikepalanya. Laki-laki itu tidak memaafkannya. Tapi itu bukan urusan Arumi lagi. Bukankah ia sudah lepas tanggung jawab karena sudah berani meminta maaf, meski secara logis itu bukan sepenuhnya salah Arumi.

Jika saja waktu itu Bayu tak mendadak menghalangi langkahnya, Arumi tidak akan menabrak siapapun.

"Nggak denger disuruh maju sama bapak!"

Arumi spontan menoleh ke belakang, menatap seorang perempuan dengan maskara tebal menghiasi matanya yang bulat besar. Baru berdiri, Arumi dikejutkan ketika perempuan disebelahnya itu menggebrak meja.

"Lo kalau ngomong volumenya dikecilin dong! Kayak hidup dihutan aja!" Omel perempuan itu tanpa menoleh. Arumi paham bentakan itu diarahkan pada perempuan yang tadi menegurnya.

Setelah perempuan dengan gelang beragam itu berdiri dan memberikan jalan lewat, Arumi melangkah maju dengan perasaan was-was. Didetik pertama masuk kelas ia sudah digosipkan macam-macam, lalu sekarang teman disebelahnya tampak seperti sedang ada sengketa dengan perempuan cantik yang tadi dibelakang kursinya.

"Barly dan Putri tolong jangan bikin ribut yaa. Kalian tidak malu ada anak baru bersikap seperti itu." Tegur bapak yang Arumi tidak tahu siapa namanya itu. Kemarin dia memang mendapat beberapa buku saat selesai mengikuti MOS, namun Arumi tidak membukanya satupun.

𝗔 𝗱𝗮𝗻 𝗕 (✔) Where stories live. Discover now