11 - Alasan

579 69 310
                                    

Paginya, Bi Asri sudah menyiapkan sarapan untuk Flo dan Austin.

Flo bangun dari tidurnya, ia mencari ponselnya. Setelah itu ia ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Sedangkan Austin, ia sudah siap dengan setelan jasnya yang berwarna hitam. "Bik, Flo belum bangun?" tanya Austin kepada Bi Asri.

"Tadi sih pas Bibi kesana Non Flo belum bangun, Den. Coba Den Austin cek lagi, mungkin udah bangun."

Austin berjalan menuju kamar Flo. Ia membuka kenop pintunya, ternyata tidak dikunci. Austin memandangi kamar milik istrinya itu, begitu rapi dan wangi.

Austin berjalan menuju meja belajar Flo, sekedar melihat-lihat buku pelajaran Flo untuk dirinya mengenang masa-masa SMA-nya.

Flo keluar dari kamar mandi dengan mencepol asal rambutnya. "Loh, Bapak ngapain di kamar saya?"

Austin berdecak, "Sudah saya bilang sama kamu, jangan panggil saya 'Bapak'."

"Iya m-maaf, Pak. Eh, Kak."

"Nah, gitu kan enak di dengarnya."

"Terus Bapak eh Kakak ngapain di kamar saya? Mau ngintipin saya mandi, ya?"

"Sembarangan kalau ngomong. Saya kesini itu mau bangunin kamu, takutnya masih molor lagi."

"Enak aja, saya ngga seperti itu ya, Kak. Udah sana, saya mau ganti baju. Nanti naksir lagi liatin saya terus," usir Flo kepada Austin.

"Emang salah seorang suami naksir sama istrinya sendiri?"

"Ihh udah sana keluar, saya teriak nih," ancam Flo.

"Teriak aja, lagipula mereka semua tau kalau saya itu suami kamu."

Flo berjalan mendekat ke arah Austin, ia membawa Austin keluar dari kamarnya dan segera mengunci pintu kamarnya.

"Ngeselin banget sih tu orang," gerutu Flo.

• • •

Di ruang makan, Lydia dari tadi hanya mengaduk-aduk nasinya tanpa berniat untuk memakannya.

"Ma, Mama itu kenapa sih? Dari tadi Clara liatin cuma mainin nasi, bahkan ngga ada yang masuk ke mulut Mama."

"Mama bingung, Clara. Gimana ini, Akbar meninggal."

"Innalilahi, kok bisa, Ma? Terus Mama batal nikah dong?"

"Ya iyalah. Orangnya aja udah meninggal, mau nikah sama siapa coba kalau orangnya udah meninggal?"

"Terus, Mama ngapain resah gitu?"

"Gimana Mama ngga resah, Clar. Harusnya Mama nikah dulu sama dia, baru dia meninggal. Kan Mama bisa alihkan semua aset perusahaannya menjadi milik Mama. Kalau gini gimana coba? Akbar udah ngga ada, bahkan sepeserpun uang belum Akbar kasih ke Mama."

"Yaudah si, Ma. Kan Mama sekretaris di perusahaan itu, bisalah Mama cari semua berkas-berkas aset kepemilikannya."

"Ide bagus, Clar. Kalau gitu Mama ke kantor dulu. Assalamualaikum." Lydia menyalimi anaknya sebelum akhirnya ia pergi ke perusahaan milik Akbar.

Sedangkan Clara, anak itu melanjutkan sarapannya yang tertunda karena cerita mamanya.

Sesampainya di kantor, Clara melihat banyak garis polisi yang dipasang di luar maupun dalam perusahaan.

Floeurenziita [End]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt