PROLOG

3.3K 198 1
                                    

Di tengah-tengah padatnya ibu kota, dua pria dan seorang wanita tengah duduk di ruangan yang terdapat pada satu dari ribuan gedung pencakar langit. Ketiganya menatap sebuah map yang berada di tengah-tengah mereka.

“Di mana kita harus melakukan uji coba bom pertama kita? Kita tidak mungkin meledakkan ini di sembarang tempat. Itu akan menarik perhatian publik.” Satu-satunya wanita di antara ketiga orang tersebut mengambil map berwarna putih di hadapan mereka.

“Mungkinkah kita harus meledakkan rumah lama kita untuk uji coba?” tanya salah satu pria.

“Rumah lama mana yang kau maksud Arkan?”

“Adrian, ini baru delapan tahun dan kau sudah melupakan tempat kita berasal?”

Mendengar penuturan Arkan, Alyssa satu-satunya wanita di sana terbelalak.

“Kau gila, Arkan! Kau akan menghabisi mereka semua?”

“Aku rasa Arkan ada benarnya. Lagipula mereka memperlakukan kita berbeda. Mengingat ejekan anak-anak itu membuat kepalaku mendidih.”

“Apakah kau bercanda? Mereka hanya anak-anak, Adrian.”

“Ayolah, Alyssa, kau yang paling banyak mendapat cacian dari mereka semua.”

Tubuh Alyssa seolah tertarik ke kejadian beberapa tahun lalu. Tiga orang anak duduk di sudut ruangan sembari menutup kedua telinganya. Sekitar delapan anak mengerubungi mereka dengan ucapan-ucapan jahatnya.

“Hahahaha Alyssa buta. Tidak bisa melihat!”

“Jalannya nubruk-nubruk!”

“Alyssa buta!”

“Alyssa buta!”

“Jangan ejek Alyssa!”

“Kenapa ngurusin orang lain, kata Bu Panti, kamu dibuang karena kamu anak haram, ya?”

“Kamu itu anak kotor, jadi jangan bicara sama kami begitu.”

“Rata-rata kami anak jalanan yang miskin, tapi kalian bertiga?”

“Sudah yang satu anak haram, yang satu buta, yang satu lagi kakinya lumpuh!”

“Anak laki-laki kok jalannya ngesot kaya suster ngesot!”

“Katanya kakak-kakak, tapi kok malah jadi beban adik-adiknya?”

“Anak buta! Anak lumpuh! Anak haram!”

“Sudahlah, kau terlalu baik, Alyssa. Untung aku memberanikan diri untuk membawa kalian pergi dari neraka itu.” Adrian berdiri, lalu berjalan menuju kaca transparan yang menampilkan suasana ibu kota. “Jika bukan karena mendiang Obama yang mengenalkan kita pada dunia ini, mungkin Alyssa masih buta, dan Arkan masih lumpuh.”

“Adrian, kau terlalu dendam dengan mereka. Biarkan saja mereka tenang di sana. Bukankah kau tahu rasanya diusik?” bujuk Alyssa.

“Justru karena aku tahu rasanya diusik, Al, aku ingin mereka juga merasakan hal yang sama dengan kita.”

“Sudahlah, apa salahnya sedikit bermain-main dengan mereka. Lagipula kita tidak akan mencelakai mereka semua. Hanya beberapa,” ujar Arkan.

“Beberapa?” Adrian berbalik, menatap Arkan dan Alyssa yang juga menatapnya.

“Ya, aku dengar ada sekitar 12 bayi baru yang datang setahun setelah kita pergi. Mereka tidak ada urusannya, kita bisa menyelamatkan mereka,” papar Arkan.

“Siapa yang akan mengurus 12 bayi itu? Tangisan mereka akan menggangguku.”

“Aku bisa mengurus mereka. Kau hanya perlu membuatkan ruangan kedap suara, agar suara mereka tidak mengganggumu.”

“Alyssa bisa menjaga mereka. Lagipula mereka bayi tujuh tahun lalu. Sekarang tentu saja usianya sudah tujuh tahun. Mereka akan segera masuk sekolah dasar.”

“Terserah!”

Diam-diam Alyssa tersenyum, setidaknya mereka tidak merenggut nyawa orang yang tidak bersalah. Jujur, Alyssa sakit hati dengan hinaan masa kecilnya, hanya saja masih ada sisi manusiawi dalam dirinya yang belum hilang sepenuhnya. Berbeda dengan kedua saudaranya yang sepertinya benar-benar sudah kehilangan sisi manusiawi mereka.

THE KING'S AND QUEEN'S [ OPEN PRE ORDER ]Where stories live. Discover now