Metanoia

By chocoxltes

113K 7.1K 2K

|| s e q u e l of Married Enemy Ini tentang bagaimana aku melupakanmu, tentang aku yang hidup di hantui mas... More

// tentang bagaimana tanpamu
// the boy who i hate
// the boy
// be friend
// again
// one fun day
// sebuah cerita
// keluh kesah
// what a day
// what a day (2)
// rasa
// the old side
// kencan?
// kencan? (2)
// membuka hati
// pengungkapan rasa
// takut
// nikah muda?
// masa lalu
// double date
// deep talk
// promise
// our future
// bertukar cerita
// pergi lagi
// lost control
// berubah lagi
// the boy who i hate (2)
// keera bet
// penjelasan
// the day
// drunk
// malika side
// khalid
// safe place?
// a party
// pesan singkat
// mine
// a cold boyfriend
// lika
// satu bulan berharga
// yellow
// break up
// him

// cerita lama

3K 164 50
By chocoxltes

Bau khas rumah sakit tercium jelas di hidungku bau yang sangat aku benci beberapa tahun kemarin karena aku sering ke rumah sakit entah masuk UGD, check up, bahkan di rawat seperti saat ini. Kali ini pemandangan pertama aku bangun adalah Bunda yang tengah mengupas buah pir kesukaannya, aku tersenyum melihat wajah serius Bunda dari samping. Saat seperti inipun Bunda tetap terlihat cantik tak heran cerita Bunda bagaimana Ayah mengejar Bunda sebegitu getolnya. "Heh, kok gak bilang udah bangun!" ujar Bunda sadar aku tatap dari jauh dan berjalan mendekati ranjangku.

Aku menghela berat, tersenyum menatap Bunda. "Kali ini parah banget ya, Bun?"

Bunda hanya tersenyum simpul lalu menyodorlan pir potongan Bunda padaku, "Nih, kesukaanmu." Ujar Bunda mengalihkan topik, oh ya buah pir juga salah satu buah kedua dari nanas yang kusuka. "Bang Drico sama Ayah kemana?" tanyaku menyadari hanya Bunda di ruanganku.

"Drico lagi ketemu kliennya, Ayah lagi cari makan di luar. Kamu pusing gak mau Bunda panggilin suster?"

Aku menggeleng, mengambil buah pir di piring Bunda, "Nggak kok gak sakit, biasa aja,"

Bunda menaruh piring berisi buah pir itu padaku, "Dah, nih makan aja Bunda mau minum jus aja," aku menyengir mengetahui bahwa Bunda mengerti maksudku.

"Oh, iya itu temenmu mau kesini entar. Nomor Keera gak aktif jadi Drico yang nelpon temenmu, siapa ya? Gafbriel ya? Itu lah ah susah-susah amat sekarang nama anak-anak, dulu Ismaul aja udah bagus banget," komentar Bunda padahal memang Bunda susah menghafal nama orang baru begitupun Bang Drico. "Gaffriel? Yaampun Bun, gampang itu tuh," kataku tidak terima.

"Ih, nama orang spanyol begitu,"

Aku tertawa mendengar ucapan Bunda yang sangat netral. Bunda pintar sekali menutupi rasa khawatirnya. "Terus Gaffriel udah kesini?"

"Belum, kayaknya entar sama abangmu,"

"Aaahh, kenapa dia sih,"

"Heh? Kok gitu ih kamu,"

"Aturan mah si Arden gituu, ahelah Bang Drico..." Bunda geleng-geleng kepala mendengar komentarku yang tidak tau diri. Percayalah aku hanya bercanda tapi dalam lubuk hatiku aku memang berpikir kalau akan ada Arden karena aku jujur soal perasaanku pada Bang Drico.

"Eh, tapi Bunda senang loh kamu bisa buka hati lagi, kali ini pasti cowoknya bener-bener baik dong, yaa?"

Aku berdeham tiba-tiba tenggerokanku terasa kering. Akupun tidak tau apa pilihanku kali ini benar-benar baik atau tidak, tapi aku tetap harus mencoba bukan untuk mengetahui jawabannya? Modalku hanya percaya dan selalu berpikir positif karena bila aku masih berisikeras untuk takut memulai tanpa mencoba, aku akan tetap jalan ditempat saja tidak ada kemajuan. Semuanya proses dan harus di jalani mau tidak mau. "Semoga, ya, bun..."

Pintu kamar terbuka menampilkan sosok Bang Drico dengan setelan baju formalnya yang membuat Bang Drico terlihat gagah, dan juga disana ada Gaffriel dengan kaos oblong hitam dan celana robeknya. Berandal berdarah dingin. "Ehh, princess udah bangun..." sapa Bang Drico terdengar menyebalkan.

Bunda nampak terkekeh, "Iseng banget kamu Co," di balas tawa kecil Gaffriel. "Bun, ini ada gorengan," ujar Bang Drico menyodorkan kantong pelastik berisi makanan surga itu.

"Ngapa lo bego," tanya Gaffriel sudah di sebelah ranjangku. Baru saja ingin membalas ucapan Gaffriel Bang Drico sudah berjalan ke ranjangku dan menyambar ucapan Gaffriel. "Ngos-ngosan dia ngehaluin Cameron lagi,"

Aku mendengus kesal, "Mau gorengan gak?" tawar Bang Drico sudah menyodorkan cireng padaku. "Mau." aku merampas cireng yang mengiurkan itu dan memilih memakannya dengan penuh dendam pada Bang Drico. tanpa membalas ucapan menyebalkannya. "Biasa kali gigitnya, udah kayak beruk nyari mangsa," timpal Gaffriel di balas pukulan kecil. "Diem lo jelek."

"Gue gak tau nomor Ardito, gue gak tau passcode lo jadi gue kabarin Gaffriel aja," jelas Bang Drico tanpa kutanyai.

Gaffriel tampak terkekeh, "Sumpah Na sampe sekarang gue gak tau yang bener yang mana,"

"Arden Bang, Arden astaga ngehafal segampang itu aja udah kaya bacain bocah paud ih,"

"Anna Bunda mau ke kantin dulu, Gafbriel mau nitip gak? Drico?" tanya Bunda sebelum beranjak ke kantin untuk mengisi perutnya yang entah kapan terakhir Bunda makan. "Drico ikut aja, Gaf? Mau nitip?"

Gaffriel menggeleng, "Gak usah, makasih Tan,"

Bunda mengangguk meninggalkan kamar, "Gaf jagain adek gue, lagi sakit jangan di bokepin,"

"ABANG!"

Bang Drico tertawa lalu mengicir pergi menyusuli Bunda. "Kata Drico lo begini karna Cam?" tanya Gaffriel memulai pembicaraan, ya mungkin Gaffriel juga bingung apa yang terjadi padaku dan sudah kupastikan Bang Drico tidak banyak menjelaskan detail tentangku. "Iya, terparah gue sih tahun awal, kesini gue udah kekontrol lah eh gak tau tiba-tiba muncul lagi." jelasku.

Gaffriel menghela, menarik tempat duduk dan membenarkan duduknya. "Dampaknya parah juga," komentarnya.

Aku meringis, "Dampak lo dulu gimana emang?"

"Cuma jadi cuek, ya kaya kemarin aja,"

"Mimpi buruk nggak?"

"Ya, biasa aja,"

"Tapi tetap parahan lo sih, sampe lo jadi berubah parah banget itumah kacau,"

"Mimpi lo sampe kaya gimana?"

"Sampe masuk UGD, dan terparahnya ya begini,"

"Kok bisa?"

"Iya, gue jadi sesak nafas, kayak oksigen tuh gak bisa gue hirup dan kejang-kejang kecil sampe keringat berlebih. Gak tau gue kenapa selebay ini,"

"Belom sampe mati kan?"

Aku menatap Gaffriel datar, "Dendam lo sama gue, ya?!"

Lelaki itu terkekeh. "Coba buat ikhlas Na, kalo begini terus lo kacau banget. Lo berhak buat dicintai lagi walaupun bukan sama Cameron, ini yang Cam mau juga kan?"

Aku mengangguk. Mungkin ini saatnya aku tau semuanya. Ini saatnya aku tahu semuanya tentang masalalu Cameron, semua tentang Cameron, mencerna semuanya dan mengikhlaskan Cameron. Ini saatnya, sudah cukup aku berharap kepada orang yang bahkan sudah tidak lagi di dunia, sudah cukup aku juga menyakiti diriku sendiri. Aku tidak bisa terus begini, aku bisa gila. "Gaf, seberapa dekat lo sama Cameron?"

"Kenapa?"

"Gue mau tau semuanya Gaf, gue mau udahin ini semua benar-benar kali ini gue mau ikhlas. Gue gak bisa terus-terusan begini kan? Bahkan gue juga mau ngeharapin apa? Hantu Cameron datengin gue? Cameron turun dari langit buat kembali memulai dari nol? Cameronpun udah gak ada di dunia, apa yang gue harapin gak akan ada."

Gaffriel mengangguk, "Gue tau semuanya tentang Cam," jawabnya.

"Sedekat itu?"

"Iya, sampai Shanon meninggal gue berubah, gue tinggalin teman-teman gue dan berlarut sama kesedihan gue sampai Cameron kena pukulan gue, padahal dia mau bantu gue. Darisitu hubungan gue gak baik banget, karna gue juga butuh waktu,"

Aku mengangguk, mengerti bagaimana perasaan Gaffriel saat itu. Apa yang Gaffriel rasakan ia sudah rasakan. Sakitnya, rasa kesal, kecewa, semuanya. "Kalau gitu ceritain semuanya Gaf, dari gimana dia suka sama gue sampai jadian sama Ivana."

"Lo yakin?"

"Yakin."

🖤🖤🖤

Jakarta, 22 Oktober 2015

Cameron berjalan ke kantin di sebelahnya ada Raffel yang tengah menggodai beberapa siswi selagi berjalan, entah mengedipkan mata atau memanggil namanya dari papan nama di seragam. Di tengah kantin sudah ada Darrel dengan gitarnya menyanyi di antara para siswa mengisi perut. Sudah hal biasa. "Ashekk! Ada babang sadboi, nyanyi dulu dong nyanyii," teriak Darrel disana setelah melihat Cameron memasuki kantin.

Raffel terkekeh, menyenggol lengan Cameron. "Kasih tau Cam!" 

Cameron geleng-geleng kepala seraya menyengir, "Entar makin banyak yang demen ama gue lagi,"

"Gapapa, kasih tauu Camm!" ujar Darrel sudah menyerahkan gitarnya pada Cameron.

Cameron menghela, meraih gitar hitam tersebut dan menaiki meja kantin. Matanya tertuju pada salah satu gadis yang tengah mengambil makanan ke mejanya. "Akuu sakit... aku sakit hatiiii... kau suapinn akuu di kantinn, lalu jatuhkan ke dasar juranggg... akuu sakittt dan ku takk mengertii... kau berikan makanan enakk, namunn kenyataan kau suapinn orangg lainn jugaa... sadar kini cinta tak berbalass..."

Darrel menarik Cameron ke bawah, memeluk Cameron seraya menepuk punggung Cameron. "Udah Cam cukup, Cam cukup dia gak peduli," katanya perihatin di balas anggukan Cameron yang pura-pura menangis.

"Bah, ada Gaffriel?" kata Cameron sadar Gaffriel tengah memakan batagor di samping Raffel entah datang dari mana. "Cabut gue ah, males kolah si Darrel nyuruh gue kesini katanya mau cabut kita," jelas Gaffriel di balas anggukan. Cameron mengicir ke tempat duduk Gaffriel menyempil, mendorong pinggulnya ke arah Raffel niat menghusir sohibnya itu. "Awas lu, gue mau pacaran aja sama Gaf," di balas tatapan sinis Raffel. "Deh bangke, untung bakso gue gak tumpah jing,"

"Heheh, sono apa babi lama banget lu jadi babu,"

Raffel mengeplak kepala Cameron kesal dan duduk di sebelah Darrel yang masih sibuk menyanyi. "Mau batagor?" tanya Gaffriel di sela makan. "Mauu dong suapin akuu," Gaffriel menggidik jijik memberikan piringya pada Cameron. "Makan dewek tai."

Cameron mendengus, memakan batagor Gaffriel. "Ngapa lo sadboy? Siapa, siapa yang bikin abang gue patah hati," tanya Gaffriel ingin tahu karena momen Cameron sedih apalagi urusan perempuan adalah momen langka.

"Cari yang paling imut dah," Cameron mengunyah batagornya seraya menatap salah satu meja disana diikuti tatapan Gaffriel. "Yang mana, yang mana?" tanya Gaffriel lagi. "Itu yang rambutnya di kuncir sendiri, yang bajunya gondrong sendiri," ujar Cameron lalu kembali menyuapkan dirinya sebelum memberikan piring Gaffriel.

Gaffriel ber-oh ria mengangguk, "Oh, sekarang selera lo cewek bener,"

Cameron menyengir, "Enggak gitu anjing. Dia beda aja, lucu juga dan paling beda sendiri lah. Dimana temen-temennya pada dandan, baju di kecilin, span, dia sendiri yang beda," 

Gaffriel menyengir, "Bukannya lo demen yang berulah, lebih hot kata lo,"

"Eh, iya sih tapi bosen juga abisan banyakan cewek begitu pada agresif anjir, manaan tiap jalan banyak mau yang bayar kan gue, bukannya perhitungan tapi yang di beli skincare suami dia bukan, yang pusing bayar skincare gue,"

Gaffriel tertawa mendengar keluh kesah Cameron, "Ya kan kalo dia cakep yang makin demen elo, dongo,"

"Ah, tapi kan gak gitu juga anjir, dikata gue boker duit. Maksudnya kalo beliin kayak boneka, apa kek yang lucu-lucu yang bisa jadi kenangan mah gapapa sumpah,"

Gaffriel mengangguk, ia menghisap sedotannya meminum minuman pesannya dan kembali menatap gadis yang tengah Cameron sukai. "Terus menurut lo dia beda?" tanya Gaffriel.

"Hooh, tapi gue gak mentingin itu dulu dah. Yang gue liat dari dia, dia lucu walaupun sering ngomel-ngomel kayak emak gue tapi tetep aja dapet itu lucunya."

Bel masuk berbunyi, Darrel memasukan gitatnya ke tas, "Eh ayo cabut mumpung lagi rame,"

"Lah tas lu pada?" tanya Gaffriel heran.

"Ngapain bawa isi buku satu sama pulpen betakan doang, ayo ah," kata Cameron sudah mengicir ke parkiran belakang untuk para guru yang gedungnya membelakangi warung kopi, tempat yang sudah menjadi tempat mereka kabur selama ini begitupun cara Gaffriel memasuki kantin sekolah Cameron.

Pukul 12.30 mereka sudah berada di rumah Darrel tempat mereka biasa bolos sekolah karena rumah Darrel yang sepi. Orangtua Darrel berkerja, karena Darrel anak tunggal jadi rumahnya sepi hanya ada Mbak Atih pekerja dirumah Darrel yang sudah biasa juga akan kebandelan Darrel selama ini. Rumah Darrel cukup nyaman karena Darrel mempunyai loteng tempat Darrel mengisi waktu luangnya untuk bermain alat musik dan beberapa bola futsal. Di loteng juga ada tempat tidur kecil, sofa dan tempat duduk gantung di dekat kaca persis yang mengarah ke kebun tetangga Darrel yang sangat dirawat.

Cameron duduk di sofa, memetik korek api lalu menghisap batang rokoknya. "Nih cemilan," Darrel melempar cemilan ke paha Cameron asal, "Anjing lagi ngerokok juga,"

"Udah apa Cam lo sadboy banget ah, banyak cewek juga kasih apa Gaf ciwi-ciwi kolah lo ahelah," kata Raffel disana seraya memainkan bola.

Cameron menyengir sinis, "Nggak nyangka aja gue..."

"Ngapa sih, gue belom di ceritain dia galau anjing. Ngapa si cewe apain Cam?" tanya Gaffriel masih belum mengerti keadaan Cameron saat itu. "Ituu si Aldo nikung, emang bangsat disuruh anterin malah centilan bocah," sahut Darrel kesal mengingat kejadian itu.

Cameron mengepulkan asap rokoknya, "Terus sekarang dia cabut dari futsal ke basket, bangsat." ujar Cameron.

"Lah, Aldo emang tau Cam suka sama tuh cewek?" Tanya Gaffriel lagi.

"Iya, gue sebenernya udah mulai main peran gue. Gue bakal anterin nih cewek pulang karna gue juga mau minta maaf gak enak lah ngerjain dia sampe dia jadi benci banget sama gue gitu, eh gue gak bisa gue mau minta tolong bocah juga pada gak bisa, yaudah gue minta tolong Aldo lagi juga Aldo udah gue anggap cs bangetlah jadi percaya, taunya malah berengsek." Jelas Cameron menjelaskan bagimana asal mulanya.

"Dih, terus sekarang pacaran mereka?"

"Iya anjing, udah seminggu gak lama itu berantem ama Cameron adu jotos, eh baper kali Aldo jadinya keluar futsal," sahut Raffel.

Gaffriel geleng kepala tidak percaya pasalnya Gaffriel mengenal Aldo walaupun tidak terlalu dekat karena beda sekolah dan mereka hanya bertemu saat sparing futsal saja. "Kacau sih, gak minta maaf si babi?" tanya Gaffriel lagi.

Cameron tertawa hambar, "Mana ada itu, dia malah nyalahin ceweknya, goblok. Kalo gak di godain mana ada cewek baper bangsat."

"Udah dah, udah, ayo kita ngeband aja udah lama nih bass gue nganggur," ujar Darrel mencairkan suasana panas kala itu. Cameron memang masih memanas.

Pukul 17.12 Gaffriel memarkirkan motornya di sebuah kafe disusul dengan Cameron, Raffel dan Ben sementara Darrel memilih untuk dirumahnya saja untuk leha-leha. "Serius ini enak kafenya? Adak adek-adek imut kagak?" celutuk Gaffriel di balas kekehan Ben. "Beneran anjing, gue sering dapet kontak cewek disini, sumpah mantep-mantep," jawab Ben.

"Si bodoh udah ada Naura juga, katanye mau setia lu alah kentut burung," cibir Cameron seraya melepas helm fullfacenya.

"Buset burung lu bisa kentut Ben?" sahut Gaffriel di balas tawa dari Raffel dan Cameron. "Bajingan, gue paling tua disini ngapa di buli mulu, hormat ama gua kek bangsat,"

"Ogah," ujar Raffel cepat.

"Udah ah ayo masuk, bacot lu pada," kata Gaffriel sudah lebih dulu memasuki kafe. Bau kopi menyeruak di dalam ruangan, di sapa oleh para siswi yang tengah tertawa, berfoto ria disana. "Anjay, banyak mangsa nih gua," kata Raffel sudah memilih siapa saja yang akan jadi sasarannya.

Gaffriel mengacak rambutnya asal seraya menatap sekeliling kafe untuk tebar pesona, sementara Cameron sibuk menatap menu di depannya. "Ben, gue mau softcake dong sama minuman yang enak apaan?"

"Cookies and cream enak sumpah," jawab Ben.

"Nah, boleh, boleh,"

"Lu dua mau apa jingan, malah tebar pesona," kesal Ben menatap Gaffriel dan Raffel tengah tertawa sendiri entah menertawai apa. "Minum aja gue ama Gaf, pesenin yang enak Ben," sahut Raffel lalu melanjutkan pembicaraan rahasianya pada Gaffriel.

"Ben, mintain nomor Mbaknya Ben, ama wifi apaan wifi kuota gue tinggal seratus megabyte," ujar Gaffriel asal di balas tepukan kepala dari Ben. "Yang bener aja babi."

Setelah memesan mereka memilih ke rooftop untuk menongkrong karena satu-satunya tempat yang bisa untuk merokok, mereka duduk di pinggir agar bisa melihat pemandangan jalanan sore itu yang ramai. "Gaf, gue mau ke toilet tebar pesona, ikut kagak?" ajak Raffel.

Gaffriel tertawa. "Gak ah, males gue, lo aja kalo dapet banyak kasih atu kek,"

"Usaha jingan, yaudah ah, dadah gais doakan sohibmu dapet jodoh yak!" ujar Raffel sudah mengicir pergi.

Cameron dan Ben geleng-geleng kepala akan tingkah Raffel yang sangat centil entah dimanapun tempatnya tapi walau begitu ada saja nomor yang ngangkut di kontak Raffel dan ujungnya tetap saja akan Raffel tinggal saat mereka sudah mulai menyukai Raffel. Memang kurang ajar. "Lah, Aldo tuh Cam," kata Ben disana menunjuk ke meja tengah.

Disana sosok gadis manis tengah tertawa menampilkan gigi rapihnya, rambut yang ia gerai tertiup oleh angin, matanya yang menyipit karena tawa lebarnya. Dan disanalah gadis itu tertawa dengan lelaki berkulit cokelat yang tengah mengacak rambut gadis itu gemas, lalu beralih ke pipi gadis itu ia cubit kecil. "Ouchh..." ringis Gaffriel membuat Cameron tersadar dan menoleh ke arah Gaffriel.

"Jadi gini rasanya di tikung temen. Cuih." Cameron meludah, wajahnya merah padam.

Ben berdeham, "Gaf jagain Cam. gue mau minta wifi dulu bakal lo pada," alibinya karena yang bisa menenangkan hati Cameron hanyalah Gaffriel. Ben, Darrel dan Raffel sudah berusaha keras tapi ujungnya tetap saja Cameron akan berlari kencang ke arah Aldo dan menjotosnya kencang walau terkadang berhasil merendam amarah Cameron tapi tetap saja sudah beberapa kali Cameron tidak kekontrol. Bahkan lelaki itu sudah memukul kaca toilet sekolahnya hingga tangannya berdarah bila hanya melihat Aldo saja. "Udah, Cam, tahan coba jangan gini terus sumpah kasihan badan lo."

Cameron geleng-geleng kepala, "Sakit Gaf, gak tau ini sakit banget padahal gue gak ada momen romantisan sama dia tapi gue bisa sesakit ini,"

"Lo juga kerasukan jin apasih sampe begini, sumpah lo kan pk kenapa jadi softboy gini,"

Cameron menggeleng kepala, percayalah Cameron meneteskan air matanya tapi ia usap cepat. "Gue suka sama dia Gaf, suka banget. Dia beda." Tegas Cameron.

"Siapa sih namanya?"

"Anna, namanya Anna."

"Anna aja? Kagak ada nama panjangnya?"

"Ada goblok, ahelah lagi serius juga," Cameron terkekeh kecil disana akan pertanyaan bodoh Gaffriel dengan wajah polosnya Gaffriel bertanya. "Eeeh, kirain gak ada,"

"Anna Derulia namanya."

Jakarta, 27 Desember 2015

Malam itu mereka sedang berada dirumah Cameron untuk berkumpul, disana ada beberapa makanan, cemilan hingga minuman menemani acara kumpul mereka. "Athalaaaa!" Teriak Cameron disela ricuh bermain playstation. Disanalah tampak sosok gadis SMP memakai kaos oblong kebesaran dan celana pendek membuat gadis itu terlihat seakan tidak memakai celana karena bajunya. "Apaansih Bang?!" kata gadis itu di depan pintu kamar Cameron.

"Itu bawain softdrink di kulkas tolongin," pjnta Cameron.

"Dih, punya kaki di pake gue lagi maskeran tau!"

"Yaampun itu masker gak bakal ketiup angin juga cuma ambil minuman di kulkas,"

"Ih, lagi vidio call,"

"Aciee Athala punya pacar, kalah lu Cam sama bocah ingusan hih," sahut Gaffriel disana.

"Eh iya tau, masa si Bang Cam ngomel-ngomel gak jelas di kamar kalo sendirian, nyetel lagi galau, idih," cibir Athala di balas pelototam dari Cameron. "Eh, lo ya bocah ingusan!" Cameron menaruh ps nya dan berlari mengejar Athala yang sudah mengicir pergi.

"Itu Cameron masih sedih?" tanya Ben.

Gaffriel menggidik, "Gak tau, kayaknya sih gitu dah,"

"Jodohin kek temen lo sama cewek," kata Ben lagi di sela fokusnya pada game di depan. "Lo bilang sama Raffel noh, simpenan banyak gak ngasih-ngasih,"

Raffel tertawa, "Lah, lo kan udah ada Shanon ngapain lagi gue kasih,"

Bulan kemarin Gaffriel akhirnya berpacaran dengan gadis bernama Shanon, yang selama ini ia perjuangkan dari awal tahun sampai akhrinu bulan November kemarin mereka baru resmi berpacaran. Gaffriel memang tebar pesona layaknya Raffel tetapi hatinya akan tetap jatuh kepada Shanon, entah mengapa Shanon adalah perempuan cantik dan sempurna baginya, bahkan untuk sekedar chattingan iseng pada gadis lain saja rasanya sesal sekali yang berakhir para gadis itu ditinggal begitu saja. "Bukan buat gue, buat Cam pinter,"

"AAAH, ABANGGG MASKER GUE RETAKK!!! ABANG MAHHH MAHAL TAUU INII ALAHH MALES AH UDAH!" Teriak Athala dari bawah membuat tawa di kamar Cameron tak lama lelaki itupun datang segera mengunci pintu dan duduk ngos-ngosan di ranjangnya. "Anjir, di kejar kudanil ngamuk," celutuknya membuat tawa Gaffriel.

"OH! GUE TAUUU!" Teriak Ben tiba-tiba membuat Raffel dan Darrel terkejut. "Bangsat gue offside jingan," kesal Darrel lalu memukul Ben kesal. "Maaf, maaf gue refleks,"

"Ngapa?" tanya Cameron sibuk menuangkan minumnya di gelas. "Malem tahun baru sewa Villa lah di puncak, bawa temen doi lo Gaff, gue juga bawa Naura," usulnya.

"Ogah liat lo pada pacaran," timpal Raffel.

"Dih, bukan masalah gitu nanti gue suruh Naura sama Shanon bawa temen, kan mantep buat lo tiga, setidaknya kalo gak sreg ada temen lah lumayan naikin followers sosmed," usul Ben.

"Gak ah." Tolak Cameron mentah setelah meminum minumannya. "Oh, iya, Shanon juga ngajak begitu ada temennya ngajak,"

"Gak mau puncak ah, biasa, bandung aja bandung," usul Darrel disana.

"Nah, yaudah ayo mau kagak? Gue cari tau villa nih,"

"Join aja dah gue mayan kontak rame lagi," ujar Raffel masih sibuk dengan psnya.

"Rel?" tanya Ben disana.

"Join aje, ramein kita,"

"Cam?"

"Males sumpah dah,"

Gaffriel berdecak, ia melemparkan dirinya pada Cameron lalu menarik leher Cameron, "IKUT GAK LO NYET?!"

"Males..."

"MENDING IKUT DARIPADA SADBOY DI RUMAH YA NYET. LO MALEM TAHUN BARUAN GABUT CUMA ISENGIN ATHALA KESIAN GAK ADA SALAH, KITA DI BANDUNG... YAKINN?!"

"Apansih, gak duli,"

Gaffriel berdecak, menatap Raffel disana memberi kode di balas anggukan, "Cam...?" Tanya Gaffriel memastikan.

"Serius dah, lo pada aja dah gapapa,"

Gaffriel mengangguk pada Raffel, segera lelaki itu menarik lengan Cameron ke belakang dan Gaffriel menahan kaki Cameron erat, Ben yang mengerti langsung saja mencubit-cubit dada Cameron, "ANJING TETE GUE BANGSATTT SAKITTT, WOII AHAHAH, PENTILL GUEE BABII NTAR MANCUNG WOIII, UDAHANNN!!!"

Darrel pun tidak tinggal diam, dia menaruh psnya dan menjatuhkan dirinya pada Cameron diikuti Gaffriel, lalu Raffel, "MASIH NOLAK?!" tanya Gaffriel lagi.

"Sumphh—-pha gak bisha...naa..ffhasss..."

"Hitungan ketiga lo masih nolak Ben siap tempur nih," sahut Raffel. "Cepet bego terima, anjing mati gue ini beratt Camm!" timpal Darrel sudah merasakan sesak.

"Ah, anjing pemaksaan najis," cibir Cameron.

"Apaaaa Camm? Gak dengerr? Gak mauuu?" tanya Gaffriel lagi masih memaksa. "Ayo Ben itung Ben,"

"Saatuuuuu!!!" teriak Ben mulai menghitung.

"Iya, bego cepet iya," Suruh Darrel disana.

"Duaaaaaa!!!!" teriak Raffel ikut menghitung.

"Tii—"

"IYAAA IKUTTTT GUE IKUTTT!!!!" teriak Cameron pasrah.

"Nah eta dong daritadiii!"

🖤🖤🖤

Cameron menyalam punggung tangam Alma lalu mencium pipi Mamanya itu, "Cam pergi ya Mah," pamit Cameron.

"Hati-hati kamu, yang bawa mobil siapa?" Tanya Alma

Ben menyalam punggung tangan Alma, "Saya Tante, pasti siap terkendali sama Ben mah,"

Alma terkekeh disana akan tingkah laku anak muda sekarang ini, "Yaudah, hati-hati ya kalian, jangan lupa makan juga nanti sakit perutnya, jangan bandel yang ngerokok jangan banyak-banyak!" Tegas Alma memberi tahu di balas anggukan serentak. "Siaaap kapteennn!"

Mobil Ben berjalan menjauh dari karangan rumah Cameron, sekarang pukul 8 pagi dimana memang mereka sengaja berangkat pagi bila sampai tidak terlalu malam dan bisa mempersiapkan bakar-bakaran mereka. Gaffriel berbeda mobil dengan Cameron, lelaki itu satu mobil dengan Shanon dan beberapa temannya. Sementara Naura berada di sebelah Ben duduk membuat vidio vlog mereka. "Jadi gaiss, sekarang kita udah jalan ke bandung, nih ada yang lagi pacaran uwuu entar mereka satu kamar gaiss, omaigat," ujar Raffel mengambil alih kamera Naura.

"Belom pacaran ih!" kata Naura cepat membenarkan ucapan asal Raffel. "Belom gais ternyata, ucuupp kasiann babang Ben," kata Cameron ikut mengambil alih kamera dan menyorot wajah merah Ben yang sibuk menyetir disana.

"Diem gak lu pada, gue tabrakin nih ke kebon," sahut Ben di balas tawa. "Gais kalo misalnya kita mati kalian jadi saksi ya kalau Ben pembunuhan berencana, kita ikhlas kok Ben di penjara," kata Raffel disana langsung di ambil alih kembali oleh Cameron. "Jangan dong, Ben kan sayang Naura jadi gak bakal biarin Naura lecet sedikitpun jadi pasti kita selamat karena cita-cita Ben kita jadi saksi pernikahan Ben sama Nauraa, acieeee!!!" ujar Cameron disana membuat Naura, Darrel yang sibuk dengan gitarnya ikut tertawa akan tingkah laku Cameron dan Raffel yang usil.

Bandung, 31 Desember 2015

Jam menunjukan pukul 3 sore, mereka baru saja sampai di Villa dan sudah sibuk membereskan bawaan mereka tak lupa persiapan bakar-bakaran mereka. Mobil Gaffriel sudah sampai duluan jadi Villa sudah bersih dan tinggal ditempati. Cameron yang sibuk menyetel gitar di balkon Villa tidak sempat berkenalan dengan beberapa teman Shanon karena dirinya juga tidak berniat untuk mencari jodoh layaknya Raffel dan Darrel. "Woi! Sibuk banget bos,"

Cameron mendongak mendapati Shanon dengan gelas di tangannya, "Mau dong," pinta Cameron.

Shanon memberikan minumnya pada Cameron, "Ambil di dapur banyak tuh,"

Cameron menggeleng, "Gak ah, segeran minuman dari pacar temen," celutuknya bercanda di balas gelengan kepala Shanon. "Kata Gaf lo niatnya gak mau ikut, lagi sadboy tiga bulan lo? Gila setia juga,"

Cameron menyengir, "Gak ngerti juga deh gue, mungkin belom dapet yang pas juga kali, Shan,"

Shanon mengangguk, "Temen lo si Raffel sama Darrel udah gercep banget anjir minta username temen-temen gue, pada gila dah emang," katanya di akhiri tawa.

Cameron terkekeh tidak terkejut akan kelakukan kedua sohibnya. "Centil mereka, emak bapaknya ngidam anak cewek yang lahir malah batangan, begitu dah," candanya.

"Dosa lu bego," sahut Shanon tertawa akan ucapan konyol Cameron.

"Astagaaa, astagaa dicariin malah selingkuh kamu Shan, teganya gue dapetin lo capek-capek ditikung sama temen," celutuk Gaffriel bercanda. "Tenang Gaf, caranya gak kayak tetangga sebelah," cibirnya.

"Aduh, Cameron julid juga," kata Shanon tertawa mendengar ucapan menusuk Cameron. Tentu Shanon tau cerita Cameron karena Gaffriel digantung lama sama Shanon jadi mereka banyak bercerita sampai akhirnya Shanon merasakan hal yang sama dari Gaffriel, juga impress dengan sifat sabar dan setia Gafffiel.

"Emang Shan, makanya paling bener sama gue. Cameron pagi-pagi jadi cowok, malemnya ikut arisan dia sama temen emaknya," canda Gaffriel di balas jitakan dari Cameron. "Goblok,"

"Woi, sini apaa kita makan siang duluu. Ingat kata Mama Alma kita gak boleh telat makan!" Ujar Raffel disana membuat Cameron berlari meninju Raffel yang membawa nama Alma. "Nama emak gue jangan dibawa bangke!"

Semua orang yang mendengar pertengkaran mereka tertawa akan tingkah laku Cameron dan Raffel yang tidak ada ujungnya. Raffel memang pintar membuat keadaan menjadi harmonis dan ramai, begitu juga Cameron yang terkadang menjadi bahan sasaran, sementara Gaffriel yang provokasi.

Sore hari menjelang beberapa dari mereka sibuk menusuk daging, sosis dan jagung disana, sementara ada yang membuka lapak karoke dan gitar tentu saja Darrel yang bermain gitar sementara Raffel merecoki beberapa lagu yang dinyanyikan.

Cameron memilih untuk membakar-bakar daripada ikut menghabisi suaranya seperti Raffel, sementara Gaffriel sibuk memainkan terompet dan Ben mempersiapkan petasan dan juga kembang api untuk dinyalakan saat jam 12 tepat. "Ini mau jagung apa sosis dulu yang di bakar?"

Cameron mengalihkan tatapannya kepada sosok gadis berambut panjang disana, ia menatap Cameron dengan mata belo berwarna hitam pekat dan senyum tipis miliknya. "Buset ngomong sama candi kali," ujar gadis itu lagi menyadarkan Cameron. "Eh, iya? Jagung dulu aja, sosis sama daging gampang,"

Gadis itu mengangguk, "Gue ambil jagung dulu tandanya,"

"Iya," sahut Cameron masih terpaku. Entahlah dari cara gadis itu menyadarkan Cameron juga persis seperti Anna.

"Nih jangungnya," gadis itu menaruh jagung tersebut secara telaten membuat Cameron menelan ludahnya susah payah. "Gak usah deg-degan gitu, gue tau gue cakep," ujarnya bercanda membuat lelaki jangkung di sebelah gadis itu tertawa. "Apasih, geeran," sahut Cameron cepat.

Gadis itu terkekeh, "Eh, kirain kan terpana sama kecantikan gue sampe ngeces gitu,"

Cameron tersentak kaget segera mengusap bibirnya hanya saja kering tidak ada tanda dirinya mengeces. Gadis itu sontak tertawa hebat akan refleks Cameron. "Gampang di culik lo!" kata gadis itu.

Cameron tertawa tidak percaya akan perlakuan gadis di sebelahnya, "Nyari ribut lo ya, open war nih?"

Ia menggeleng cepat, "Gak ah, takut sama gangster,"

Cameron menggeleng seraya tersenyum. "Gue ke dalem ah, kasihan lo nya jadi gak fokus," ujar gadis itu dan berlalu meninggalkan Cameron yang masih tersenyum tidak percaya.

Suara terompet mulai meriah, jam sepertinya sudah mau menunjukan pukul 12. Cameron sudah selesai membakar makanan dan ikut membaur dengan yang lain. "Nih kembang api ambil atu," ujar Gaffriel disana langsung saja Cameron ambil.

Cameron menatap sekeliling teras Villa mencari gadis yang tadi membuatnya terpana seperti awal pertemuannya dengan Anna. Walaupun dengan cara yang berbeda tetapi cara membuat dirinya terpaku sama seperti Anna saat itu, saat dirinya memergoki Anna kabur dari kelas. Sama persis rasanya. "Ayoo hitungan ke tiga gue nyalain petasannya, hitung bareng-bareng yakk!!" perintah Ben sudah memulai aksinya.

"SATUUU!!!"

"Gue ke Shanon ya Cam, mau pacaran," ujar Gaffriel di balas anggukan dari Cameron.

"DUAAAA!!!"

"Cie nyariin,"

"TIGAAAA!!!"

DUARRRR!!!

"Selamat tahun baru! Gue Ivana."

Continue Reading

You'll Also Like

1M 14K 34
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
718K 140K 46
Reputation [ rep·u·ta·tion /ˌrepyəˈtāSH(ə)n/ noun, meaning; the beliefs or opinions that are generally held about someone or something. ] -- Demi me...
481K 45.9K 28
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
16.3M 638K 37
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...