Metanoia

By chocoxltes

113K 7.1K 2K

|| s e q u e l of Married Enemy Ini tentang bagaimana aku melupakanmu, tentang aku yang hidup di hantui mas... More

// tentang bagaimana tanpamu
// the boy who i hate
// the boy
// be friend
// again
// one fun day
// sebuah cerita
// keluh kesah
// what a day
// what a day (2)
// rasa
// the old side
// kencan?
// kencan? (2)
// cerita lama
// pengungkapan rasa
// takut
// nikah muda?
// masa lalu
// double date
// deep talk
// promise
// our future
// bertukar cerita
// pergi lagi
// lost control
// berubah lagi
// the boy who i hate (2)
// keera bet
// penjelasan
// the day
// drunk
// malika side
// khalid
// safe place?
// a party
// pesan singkat
// mine
// a cold boyfriend
// lika
// satu bulan berharga
// yellow
// break up
// him

// membuka hati

2.9K 167 56
By chocoxltes

mohon maaf bila ada typo ya, nanti akan aku revisi kok :)
selamat membaca! 🦋

🖤🖤🖤

Aku menaiki mobil Gaffriel dengan cepat dan nafas terengap-engap karna kelakuan Bang Drico yang menyebalkan kalau bukan Abangku sudah kujepit mulutnya pakai jepitan jemuran dirumah. Gaffriel nampak terkekeh disana seraya menyalakan mobilnya membuatku mengernyit heran apa yang membuatnya tertawa. "Apa?" tanyanya menyadari aku menatap dirinya dengan sinis.

"Ketawain apa lo?!"

Gaffriel menggidik kembali dengan tawa, "Gak."

Lihat, lihat, bisa-bisanya dia bersikap dingin seperti itu. "Heh, jelek! Ditanya jawab enggak, gak nyambung lo,"

"Bodonanan. Pake seat beltnya,"

"Ogah,"

"Ntar kalo lo mati repot gue,"

"Mampus,"

"Serius pake Na."

"Gak."

"Anna... "

"Apa?"

"Pake seat beltnya budeg."

"Orang gak mau maksa dih,"

Gaffriel berdecak disana dan mendekat diri kepadaku membuat refleks mataku untuk menutup tapi itu refleks yang bodoh, sungguh. "Kenapa? Gue gak nyium lo, mesum lo Na agresif kalo di mobil," ujarnya seraya memakaikan seat beltku. Aku menelan ludahku susah payah, oh memang Anna bodoh.

Aku mencubit tangan Gaffriel kencang membuat lelaki itu meringis sakit disana tetapi aku sangat menikmati ringisan itu, melihat Gaffriel sengsara adalah sebuah hobi baruku sepertinya. "Heh! Gue merem karena gue kaget ya lagian lo apaan banget tiba-tiba deket ke gue gitu. Kalo gue agresif gue bakal majuin kepala gue,"

"Anna agresif... gue kira Cameron bohong," gumamnya sengaja dengan suara besar agar terdengar olehku. Aku menoleh cepat terkejut dengan apa yang Gaffriel ucapkan. "Hah?"

"Gue kira boong soalnya dia yang pk taunya Anna agresif, gila Cam gue gak nyangka dunia kebalik,"

"Apaan? Lo ngomong apa?!"

Percayalah sudah sepuluh menit lebih berlalu mobil Gaffriel masih saja di depan rumahku, kami seperti orang bodoh dilihat oleh tetanggaku. "Friel! Ih, apaan lo ngomong?!"

TOKK... TOKKK!

Aku menatap kaca Gaffriel disana sudah ada Bang Drico dengan lengan dilipat dan kepala menggeleng menatap kaca. Rasanya ingin sekali memecahkan kaga Gaffriel dan melempar barang apa saja yang berada di mobil Gaffriel untuk memukul wajah Bang Drico yang menyebalkan. Gaffriel membuka kaca, "Apa?" tanya Gaffriel singkat.

"Lo berdua kalo mau aneh-aneh jangan di depan rumah gue, jingan."

Aku menatap Bang Drico tidak percaya seakan dirinya memperbolehkanku melakukan hal aneh dengan Gaffriel. "Heh, mongki! Lo kalau ngomong makin gak ada adabnya ya." cercaku disana.

"Anna agresif banget, Co gue kan kaget jadinya," tambah Gaffriel disana membuatku semakin tidak percaya.

"Hah, apaan dia ngapain Friel," tanya Bang Drico sampai memasukan kepalanya ke dalam mobil dari kaca mobil. "Dia sengaja gak mau pake seat belt biar gue pakein, pas gue pakein dia malah tutup mata, kacau banget adek lo Co,"

Bang Drico nampak tertawa disana, "Gak ada sumpah ih, Bang sumpah gue gak gitu tauuu, gue kan kaget makanya tutup mata bukan ngarepin di cium ahelah,"

"Lah kok lo bilang gitu, emang Gaffriel bilang kalo lo ngarepin dicium dia? Nah tandanya emang lo nya juga mau kan dia cuma bilang elo agresif,"

Aku menggeleng tak menyangka bahwa Abangku sendiri tidak membelaku, sangat kejam sungguh dunia ini. "Udah bego kasihan, gue jalan ya," ujar Gaffriel merasa tidak enak padaku, syukurlah dia menyadari perubahan wajahku.

"Oke, hati-hati bawa adek gue lo,"

"Siap!"

Mobil Gaffriel sudah meninggalkan lingkungan rumahku, disana Gaffriel melirikku yang tengah kesal padanya seraya menatap jalanan dan cengiran di bibirnya. "Ampun deh, gue minta maaf," Gaffriel menyodorkan kelingkingnya padaku yang dengan cepat kutepis. "Maaf ih, keterlaluan ya? Bercanda gue,"

Aku meliriknya sinis sementara Gaffriel memberi wajah konyol padaku membuat aku tersenyum tetapi kutahan walau tidak ada gunanya kutahan karena Gaffriel sudah melihatnya. "Ketawaa... abis ngambek ketawa makan gula aren," katanya lagi membuat aku berdeham menahan tawa. "Buset kering tuh tenggerokan,"

Segera kujewer kuping Gaffriel kesal dengan tawaku disana, "AAAAH NYEBELIN BANGET SIH LO MONYEEETTTT!!!" Gaffriel tertawa disana walau kutahu telinganya sakit. "Gitu dong tawa tapi gak usah pake jewer juga, sakit atuh,"

Aku melepas jeweranku dan menatap kembali Gaffriel sinis. "Gue gak ngarep dicium loo!" tegasku.

"Iyaa Anna, iyaa percaya gue percaya kok," jawabnya cepat walau kutahu dia menjawab itu biar aku menyudahi keadaan panas ini. "Lo mau bawa gue kemana sih," tanyaku mengalihkan topik untuk mencairkan suasana.

Gaffriel nampak membelokan setirnya ke sebuah tempat kopi yang terkenal enak di kalangan rumahku bahkan tempat ini sering dijadikan tempat aku dan Aldo nongkrong berdua bila bosan di rumahku. Oh ya apa kabar ya Aldo aku sudah lama tidak berhubungan dengan Shenna apalagi Aldo, tapi syukurlah sekarang Aldo sudah tidak lagi merayuku bahkan dia sudah benar-benar bisa menerima Shenna dan menjadi Ayah yang hebat buat anaknya. Aku cukup bangga dengan Aldo. "Ih ini kan tempat dulu gue bucin," kataku disana dibalas tawa kecil Gaffriel, "Tempat Cameron sakit hati juga," katanya disana.

Aku menautkan alis heran, sepertinya banyak hal yang Gaffriel dan Cameron lakukan semasa SMA bahkan aku tidak tau bahwa mereka ternyata dekat sekali karena selama aku bertemu Gaffriel nampak bersikap biasa saja dengan Cameron begitupun Cameron kepada Gaffriel. "Hah, gimana?" Baru saja kutanya Gaffriel sudah keluar dari mobil dan menungguku di pintu masuk membuatku mau tidak mau mengikuti Gaffriel dengan rasa kesal karena pertanyaanku ia hindari.

Selesai memesan aku menatap sekeliling rooftop kafe sudah lama sekali aku tidak kesini bahkan sekarang sudah lumayan banyak yang berubah dari tempat ini, rooftopnya jadi lebih banyak dedaunan membuat panasnya matahari tidak terlalu terasa. Aku mengalihkan tatapanku pada Gaffriel, mendekatkan dudukku dan menatap Gaffriel intens. "Jadi ada apa lo ajak gue jalan?"

Gaffriel menatapku sama intens hingga detik ke tiga ia menyengir, wajahnya merah padam disana membuatku semakin dibuat ingin tahu apa yang terjadi dengannya. "Apaan ih, apaan bagi-bagi apa kalo lagi seneng,"

Gaffriel mengusap wajahnya dan berdeham sebentar sebelum membuka suara, ia kembali menyengir dan menatapku. "Jadi gini... kayaknya gue jatuh cinta lagi,"

Aku membulat mata tidak percaya, apa? Bagaimana? Gaffriel jatuh cinta? Siapa perempuan berani itu yang bisa menghancurkan benteng Gaffriel setelah beberapa tahun menutup hati? "HAH? SAMA SIAPA WOY?" tanyaku begitu terkejut dengan apa yang kudengar.

"Ada fakultas dokter di UI," jelasnya singkat membuatku kesal dengan penjelasan Gaffriel yang tidak jelas. "Lo mah gak jelas males gue, serius apa dongo!"

"Yaudah gitu,"

Aku menatap Gaffriel datar. "Terus lo udah ada pendekatan? Lo udah tukeran nomor? Sosmed? Udah ngobrol?" tanyaku bertubi-tubi membuat Gaffriel menggaruk kepalanya. Sudah kutebak dari wajahnya yang kaku, dasar manusia kulkas.

BRAKK!!

"JADI INI URUSAN HIDUP MATI LO."

Gaffriel terkejut disana akan pukulan meja dariku dan teriakku disana, ia menatap sekeliling rooftop malu dengan tingkahku yang mengejutkan. Percayalah aku sangat gemas dengan tingkah Gaffriel layaknya bocah SD bahkan bocah SDpun kalah sudah panggil ayah bunda. Gaffriel meringis, menarik tanganku agar duduk dan mengecilkan suaraku. "Biasa aja," katanya disana.

Aku menggeleng-geleng menatap Gaffriel tidak percaya. "Kenapa lo belom mulai apa-apa?! Aduh keburu di pincut om-om dah itu crush lo Friel, Friel," omelku kesal.

"Gue takut Na,"

"Apa? Takut apaan? Dia ngisep ubun-ubun orang emang?!"

"Ya enggak gitu,"

"Terus?!"

"Takut aja,"

BRAKK!!!

"Eh! Anna tahan Na, tahan," kata Gaffriel cepat memegang lenganku lagi menahanku untuk berdiri kembali. "Lenjeh lo ya jadi cowok! Takut, yang ditakutin gatau apa. Mau sampe kapan lo bego, lebaran kudanil? Sampe gue kawin sama Lee Min Ho?"

"Gue takut di tolak Na, udah lama gue gak deketin perempuan, gue juga takut nyakitin dia,"

"Ya kalo lo takut nyakitin, elo jangan berulah lah!"

"Masalahnya gue kalo udah sayang gak bisa di ganggu gugat,"

"Lah terus, disini yang lo takutin diri lo sendiri dong?!"

"Sama takut juga dia sakit lah karena tingkah gue yang over mungkin? Gak tau."

Aku menggeleng kepala, Gaffriel sudah kusimpulkan bahwa dia orang yang pesimis. Bahkan diapun belum melakukan sesuatu hal tapi dia sudah menyakinkan dirinya kalau dia akan menyakiti atau disakiti. "Dalam hubungan pasti ada aja lah masalah tapi masalah itu juga yang bisa bikin nguji seberapa setia, dewasanya seseorang menyelesaikan masalah, Friel. Lo jangan takut nyakitin kalo dari dalam diri lo sendiri gak ada niat buat nyakitin, dan lo jangan takut disakitin kalo lo belum kenal dia lebih dalam. Itulah yang namanya dibutuhun pendekatan, kita bisa nilai gimana orang yang kita suka," ujarku memberi penjelasan untuk Gaffriel.

"Masalahnya namanya pendekatan apa yang dilihatin yang baiknya Anna. Bohong kalau masa pendekatan lo ngasi buruknya lo yang ada dia milih mundur,"

Gaffriel mendapatkan pointnya, tapi itu bukanlah sebuah masalah, tujuan pendekatan memanglah seperti itu. "Ya memang, makanya itu dibutuhkannya pendekatan yang lama, pendekatan gue paling lama dua bulan buat gue benar-benar ngelihat semua jelek baiknya seseorang. Mau sepintarnya manusia nutupin kejelekannya, seiring berjalannya waktu akan kelihatan busuknya kok, itu dari kepekaan juga, dari cara segi menilai lo gimana, kadang lo harus bisa mancing dan nguji sendiri. Namanya mau menjalin hubungan pasti begitu, ribet, kalau lo belum siap gak usah." tegasku. Gampang juga ya sekedar memberi saran kepada seseorang, bila diriku yang diposisi Gaffriel pasti aku juga akan bingung.

Terkadang apa yang di ucapkan seperti saat membalikan telapak tangan, mudah, tapi untuk menerapinya kadang manusia belum siap untuk menerima kenyataan selanjutnya. Itulah mengapa aku belajar untuk tidak menaruh ekspektasi tinggi pada seseorang, dan itu juga alasanku untuk memikirkan lebih dalam bagaimana perasaanku terhadap Arden. Rumit, seperti yang kubilang bahwa semakin dewasa terkadang banyak yang dulu saat remaja bahkan saat kecil terlihat gampang sampai bisa di sepelekan, tapi ketika dewasa semuanya akan berubah jauh. Pola pikir semakin dibuat berpikir keras untuk menentukan pilihan apa yang akan kita jalankan untuk kedepannya, bila salah? Waktu tidak bisa di ulang, dan mau tidak mau kita kembali harus menerima kenyataan pahit.

Untukku, kenyataan pahit cukup di masalalu aku tidak mau kembali menerima pahitnya hidup lagi walau kutahu hidup tidak selalu lurus dan pasti ada celahnya, tapi urusan hati aku cukup kehilangan seseorang yang kusayangi dua kali, tidak untuk ketiga kalinya. "Kalau gak di coba gue jadi perjaka tua juga sih Na,"

Oh, ingin sekali kutertawa mendengar ucapan Gaffriel. "Ngapa? Mau ketawa? Serius gue belum pernah aneh-aneh, mau test?"

Aku menggeleng cepat, "Gak, gue percaya kok,"

Gaffriel menatapku kesal. "Sebenarnya temen gue bilang dia suka sama gue, teman gue pada dukung banget karena dia bisa dibilang paling cantik lah di fakultas dia,"

Aku menautkan alis, "Oh! Gue tau lo takut dia cewek gak bener kan apalagi dia cantik pasti pemikiran lo bercabang deh tuh,"

Gaffriel menggidik bahu, "Gue suka sama dia karena senyumnya kayak Shanon,"

"Sebegitunya Shanon ya buat lo?"

"Dia first love gue,"

Aku menghela, "Gue gak tau Friel kalo udah bahas yang lalu, gue pun masih mikirin Cameron,"

"Na... selama lo udah dapet yang lebih baik kenapa nggak? Kalo posisi gue, gue belum dapet yang baik Na,"

"Bukan soal itu, gue juga kayak lo. Gue takut kayak dulu lagi, di tinggalin..."

"Manusia gak ada yang abadi, Shanon sama Cameron emang udah takdir dari atas sana,"

Aku menghela panjang... "Udahlah, pokoknya ya lo harus mulai besok! Gue gak mau tau lo harus nyapa dia, lo ajakin date!"

"Hmm... Lo gimana sama Ardito?"

"Hah?"

"Ardito?"

"Itu siapa?"

"Gak tau kata Drico, emang siapa?"

"ABANGGG!!!!"

Kira-kira begitulah, aku cukup banyak bertukar pikiran dan cerita dengan Gaffriel. Aku dan Gaffriel memilih untuk berhubungan baik bahkan kami sama-sama untuk saling membuka hati dan saling mengingati bila salah satu dari kami kembali sedih mengingat Shanon ataupun Cameron. Aku cukup terbantu dengan adanya Gaffriel, sosoknya yang sekarang juga tidak semenyebalkan dulu dan tidak sedingin dulu ia sudah lumayan berbeda dan menunjukan sosok aslinya, aku cukup bangga dengan diriku karena bisa mengubah sosok Gaffriel yang seperti kulkas berjalan. Aku senang dengan sikap Gaffriel yang bertingkah, bila dilihat lagi cukup mirip dengan Cameron mungkin karena kekonyolannya dulu Gaffriel dan Cameron dekat. Aku belum terlalu mengerti bagimana cerita Gaffriel dan Cameron, mungkin suatu saat Gaffriel akan menceritakannya.

Tapi untuk sekarang akupun memilih untuk tidak tahu dulu lebih jelas karena sudah kupastikan aku akan kembali menangisinya.

🖤🖤🖤

"Makasih Friel, sumpah hari ini gue seneng banget bisa keluh kesah sama lo," kataku mengakhiri hari itu.

Jam menunjukan pukul 7 malam, iya selama itu aku di kafe dan bercerita banyak tentang Arden dan perempuan yang tengah Gaffriel sukai karena senyumnya yang mirip sekali dengan Shanon. "Iya, salam buat Drico sama orang tua lo maaf gak bisa mampir,"

Aku mengangguk senyum, "Iya, hati-hati lo!"

Mobil Gaffriel berjalan menjauhi rumahku. Baru saja berbalik disana sudah ada Bang Drico dengan senyum menyelidiknya disana. "Apa sih Bang." Kataku melewati Bang Drico di pintu masuk.

"Jadi Gaffriel apa Arjuna?" tanyanya.

"Arden Abang! Kasihan tau gak nama orang bagus-bagus lo ganti?!" cercaku kesal akan Bang Drico.

"Ih, ih ngambek. Oooh, jadi Arden nih?"

"Gak tauuu!!!"

"Dikasih pelet apa sama Arden Na?"

"Cacing!"

"Bah, nangkep ikan kali,"

"Nangkep mulut lo berisik kayak ikan koi ngomul! Udah ah, gue mau tidur capek!"  Aku menutup pintu kamar kesal dan memilih untuk berbaring di ranjang dan menghela. "ANNA WANT TO BE FAKGIRL, ANNA MAO JADI FAKGIRLL, ANNA SI FAKGIRLL KECYIL, OUOOUOO, FAKGIRL ANNA MAU JADI FAKGIRL, MAU SAMA ARMAUR, SAMA GAFFRIEL JUGAA..."

Aku tertawa akan nyanyian Bang Drico yang tidak nyambung, sungguh makin kesini Bang Drico layaknya remaja SMA bukanlah seperti sosok Ayah yang gagah. Kupastikan tiap malam Bang Drico selalu meminta Kak Syira untuk mengeloninya, dahlah pemikiranku semakin kacau. "BERISIK JELEK!"

🖤🖤🖤

"WOI!"

Aku menoleh menatap Keera di tengah taman berlari kearahku yang tengah mengerjakan tulisan tugas. "Gimana nih cerita Arden? Lo kemarin ngedate katanya? Gimana tuh?"

Aku menyengir memilih untuk mengetik di atas laptopku tanpa memberi jawaban Keera karena kutahu dia sedang berada di level maksimal ingin tau bagaimana hubunganku dengan Arden. "Anna! Budeg kali, ya," kesal Keera sudah duduk disebelahku menggoyangkan bahuku. "Na! Ih gue kepo anjir,"

Aku menyodorkan lenganku disana membuat Keera bingung lalu berdecak kesal. Dia tau maksudku bila sudah menyodorkan lenganku padanya. "Ah, rese banget. Iya, gue pijit nih cepet cerita,"

"Mau pijit lima menit, du—"

"Sejam deh, pokoknya sampe abis," potongnya cepat sudah memulai memijit lenganku disana. "Jadi... date gue lucu gitu deh dia bawa ke resto yang atraksi gitu, sayangnya gue gak kenyang dan diapun juga karena kayak isian menu nya lebih ke cemilan, yaudah kita makan angkringan gitu. Seru lah," ujarku bercerita bagaimana acaraku dengan Arden.

"Terus, terus lo gimana ke Arden? Kayak ada... cemiwiw-cemiwiw gituu?" tanya Keera mulai menyelidik kembali. "Hmm... gak tau gue masih harus mikir mateng dulu, sabar ya, Ra,"

Keera mendengus dan mengangguk mencoba mengerti bagaimana keadaanku juga sekarang. "Oh iya! Nanti malam kerumah gue yuk? Udah lama kita enggak main bareng lo lagi di rumah lo, ya? Nginep aja dirumah gue gimana?"

Aku berpikir sejenak ajakan Keera karena memang belakangan ini kami sibuk dengan urusan masing-masing lagi pula aku sedang malas dengan Bang Drico dirumah, "Boleh, entar gue kerumah lo aja gak usah jemput gue,"

Keera mengangguk, "Oke! Yaudah gue mau ngantin dulu, mau ikut apa nitip?"

"Batagor aja beliin."

Jam menunjukan pukul 6 sore keadaan rumah sangatlah ramai karena ada Ayah, Bunda dan Bang Drico. Bang Drico berkerja santai disini karena sore atau malam ia sudah sampai dirumah bahkan sudah di depan teras menungguku pulang dan berlari ke depan rumah melihat dengan siapa kupulang, begitulah keadaanku saat ini. "Asiikk mandiri naik taksi pulang," sapa Bang Drico di depan pagar menatapku tengah menutup pintu taksi.

"Berisik lo, orang mah anter jemput gue gitu,"

"Kan tadi pagi gue ada meeting dadakan sama pak boss, besok gue anterin deh,"

Aku memasuki rumah tanpa menanggapi ucapan Bang Drico disana, menyalam Ayah dan Bunda. "Ehh, lagi ada kelas banyak, Na?" tanya Ayah di tengah membaca berita di ponselnya.

"Iya, Yah, Anna izin juga nanti kerumah Keera sekalian nginep,"

"Lho? Kan lagi ada Abang kamu," tegur Bunda.

"Tauu, besok kan gue mau anterin lo ngampus," lanjut Bang Drico mencoba memanas-manasi suasana.

Aku memutar bola mata malas, "Emang lo bisa anterin gue ngampus jam sepuluh? Kelas gue aja siang lo lagi mau anterin, boro-boro jam lima aja udah bangun lo siap-siap," cibirku kesal.

"Ish! Berantem mulu kayak anak kecil. Terus kamu kerumah Keera naik apa udah malem loh, Bunda gak mau kamu naik motor ya, apalagi mobil sendirian,"

"Sama Drico aja Bun," tawar Bang Drico yang sudah kupastikan ia ingin melakukan aksi dektektifnya padaku. "Ogah! Lo nyebelin!" kataku cepat.

"Terus lo mau sama siapa?"

TOK! TOK!

Aku menoleh ke arah pintu rumah lalu menatap Bunda disana, "Oh, buka aja Na," kata Bang Drico disana tapi bisa kulihat wajahnya berubah datar dan dingin, begitupun Bunda dan Ayah tetapi mereka lebih terlihat dengan wajah sedih. Aku tidak tau apa yang terjadi dan siapa orang yang mengetuk itu tapi kupastikan bahwa keluargaku tau itu siapa. Tanpa basa-basi aku berjalan menuju pintu dan membuka perlahan, dan apa yang kulihat?

"Aku bisa jelasin semuanya Na..."

Percayalah kakiku lemas, semua oksigen dirumahku seperti di hirup abis oleh monster besar sampai dadaku naik turun tidak karuan. Keringatku mulai bercucuran dari pelipisku, apalagi ini... kenapa aku dapat mimpi ini lagi... "Ini bukan mimpi Na, biar aku jelasin..." suara paniknya yang sudah lama tidak kudengar. Aku juga bisa melihat wajah pucatnya.

Ia meraih tanganku, tangannya dingin karna keringat. Oh Tuhan aku bisa merasakan begitu jelas pegangannya pada kulitku. "Kita keluar ya...? Ayo aku tuntun..." ia meraih pundakku, hatiku hancur disana.

Dimobil ia mencoba menyalakan radio dan menyalakan mobil, ia menjalani mobilnya dan aku bisa melihat jelas mobilnya membawaku jauh dari rumah. Aku menatap Cameron tidak percaya, dadaku masih naik turun berusaha bernapas dengan benar. "Aku tau ini gila, sabar ya biar aku cari tempat dulu."

Aku menggeleng, ini tidak benar. Ini mimpi. Aku mencoba memberanikan diri memegang pipi Cameron yang sangat tirus, sudah tidak makan berapa lama dia? Apakah dia mati suri? Masa iya? Aku mengelus pipinya, tanganku beranjak ke rambut gondrongnya yang tebal hitam. "Cam...? In...ini benar kamu?"

Cameron menoleh meraih tanganku yang berada dirambutnya, ia mencium tanganku, "Iya... iya sayang..."

Aku kembali menggeleng, air mataku menetes sedikit demi sedikit hingga mobil Cameron berhenti di sebuah kios yang belum berpenghuni di daerah komplek rumahku, ia mengecilkan volume mobil dan menatapku tajam. "Anna... aku tau ini mungkin mimpi buat kamu..."

Aku menatap manik mata itu, mata yang kini sangatlah sayu. "Anna aku sayang sama kam—- ANNA!"

Aku keluar dari mobil, aku berjongkok menangis kejar di antara kios gelap tersebut. Mungkin orang yang melihatku disana menatapku seperti orang gila yang baru melarikan diri dari rumah sakit jiwa, disana aku menangis kejar bahkan aku berteriak menutup telingaku. Aku tidak tahan, tidak tahan mendengar suara Cameron yang lagi-lagi bilang bahwa ia sayang padaku. Tidak, aku tidak kuat mendengar pernyataan itu lagi. Ini semua mimpi.

"Anna? Anna, hey, jangan kayak gini Na..." Cameron mencoba merengkuhku tapi kudorong kencang hingga ia terhempas di aspal. "Anna... tolong aku mau jelasin!"

"Gakk!! Enggak kamu itu mimpi Cam, udah cukup udah aku bisa gila, udah aku udah coba ikhlas tapi kalo gini terus aku bisa gila Cam!" teriakku disana. Aku bisa melihat dari celah lenganku ia menangis, matanya menatapku kecewa disana. "Anna aku minta maaf..."

"Udah Cam, udah aku capek, aku sakit Cam ngeliat senyummu, semua kata sayang kamu aku sakit! Rasanya sakit Cam..."

Cameron kembali merengkuhku, aku bisa mencium bau ciri khasnya disana. Ia mencoba melepaskanku dari lenganku yang menutupi wajah, ia mencoba mengangkat wajahku agar bisa melihat wajahnya. "Anna, dengerin... dengerin aku..."

"Apa lagi? Apa? Kamu sayang? Iya aku tau, udah Cam cukup..."

"Enggak Anna... bukan.."

"Apa? Apalagi?!" Teriakku pasrah.

"Aku mau bilang kalau Arden gak baik buat kamu Na! Denger—" Aku tertawa, tertawa dengan apa yang kudengar malam itu. Apa? Arden jahat? Kalau Arden jahat lantas dirinya apa? Monsterkah?

"Kamu siapa Cam? Kamu tiba-tiba pergi dan balik ke dunia ini bilang bahwa Arden jahat? Terus? Kamu apa? KAMU APA CAM?! PERGI NINGGALIN AKU GITU AJA TANPA PERPISAHAN, PERGI DENGAN JANJI KAMU KEMBALI LAGI TAPI KAMU MALAH PERGI SELAMANYA ITU APA? BAIK KAMU? MENURUTMU ITU BAIK?! HAH." Aku menghela nafas berat.

"Apa yang aku lakuin ke kamu itu ada artinya Na, aku mau kamu bahagia,"

"Iya sekarang Arden bisa buat aku bahagia, terus apalagi?! Apa? Itukan yang kamu mau?!"

"Iya, tapi dia jahat Anna!"

"Kamu tau apa?!"

"Aku tau!"

Aku tertawa kecewa, sebenarnya aku tidak tau ini mimpi atau bukan tapi dari semua yang kulihat aku bisa merasakan rasa sesal Cameron disana, dari mata sayunya menatapku percayalah ingin rasanya aku memeluknya erat dan mencium pipinya. "Udah, Cam. Bahkan kamu gak nyata buat aku. Ini semua mimpi."

"Siapa? Kata siapa ini mimpi?"

"Kata aku, siapa lagi daritadi yang ngomong? Onta?"

Cameron meraih tanganku, ia taruh di pipi tirusnya dan menatapku dalam. "Aku nyata Na, aku disini sama kamu."

"Enggak, kamu gak nyata Cam..."

"Aku harus gimana buat bikin kamu percaya kalo aku disini, di dunia sekarang sama kamu Anna?" dia menangis disana, menangis bingung dan menyesal. Aku bisa merasakan rasa sakit dari tangisannya.

"Anna, aku disini... disini sama kamu... percaya ya?" Ia menatapku disana mencoba menyakinkanku bahkan ia memegang tanganku, menciumnya beberapa kali. "Kita mulai dari nol, ya? Biar aku jelasin dulu gimana awal mulanya..."

"Enggak... kamu gak nyata Cam."

"Naa... ini aku Cameron, aku gak tau gimana caranya ngeyakinin kamu Na tolong..."

Aku menggeleng, ini bukan Cameron, ini enggak nyata. Ini semua terjadi karena aku masih belum mengikhlaskan Cameron... iya... tidak mungkin ini nyata. "Oke, oke kalau kamu gak percaya," aku menatap Cameron, ia berjalan ke mobilnya entah apa yang ia lakukan tapi aku bisa mendengar jelas desakan tangisnya.

Ia kembali dengan pisau disana aku tidak mengerti mengapa ada pisau di mobilnya tapi aku bisa melihat jelas wajah putus asa Cameron. Matanya merah seakan sudah berhari-hari ia menangis dan kurang tidur bahkan cara berpakaian dan rambutnya sangatlah kacau, benarkah ini semua nyata? "Aku buktiin kalau aku nyata." Tegasnya.

Dadaku kembali naik turun, bingung aku bingung tidak mengerti apa yang terjadi. Ini sebuah ketidak mungkinan bukan bahwa Cameron hidup? Sudah bertahun-tahun lamanya dan tiba-tiba kembali tidak jelas bagaimana caranya dan kabarnya. Darah aku melihat darah jatuh dari tangannya, darah... darah itu jelas dari telapak tangannya. "Masih gak percaya, iya?"

Aku menangis semakin besar tidak tahu apa yang sedang aku lakukan. "Oke."

Cameron menusuk pisau itu ke perutnya entah dengan keberanian apa tapi aku bisa merasakan jelas bagaimana darah itu mengalir ke arahku bahkan Cameron terduduk lemas masih menatapku. "Tolong... tolong kalau ini mimpi udahin ini... udah cukup..." kataku mencoba memohon tetapi waktu terus berjalan. Aku bisa melihat Cameron terbatuk disana... dan tidak, ini tidak mimpi. "In—ini nyata Na..."

Aku menangis kejar, oh Tuhan apa yang sudah kulakukan. Segera aku memeluk Cameron yang sudah berlumuran darah, aku mencoba menari ponselku di tas hanya saja entah kemana perginya benda pipih itu. "Anna...?" katanya getar. Aku menangis dengan apa yang sudah kulakukan kepada Cameron. "Aku sayang kam..kamu... Arden gak baik... sakit Na..." ujarnya mulai melemas.

"Tahan dulu Cam, maaf... maaf aku nggak percaya sama kamu... aku capek sama mimpi ini Cam, capek semuanya hanya mimpi... maafin aku..." tangisku terisak melihat Cameron menangis dalam senyum. "Setidaknya kali ini aku bisa ngucapin perpisahan sama kamu Na..."

"Enggak!!! Enggak, gak boleh pergi lagi udah cukup..."

"Aku nyesel pergi gitu aj—- ANNNAAAAAA!!! ANNAAA STOP IT!"

"ANNA UDAH BANGUNN! ANNA GAK BAIKKK!!!"

Aku membuka mataku keringatku sudah membasahi sekujur tubuhku bahkan nafasku tidak teratur, aku bisa melihat Bunda menangis disana menatapku, Ayah di sebelahku memegangi tanganku dan Bang Drico memegangi pundakku dan berteriak padaku. "Anna cukup, bangun nggak baik!!! Annaaaaa!!!"

"Ayah panggil ambulan aja, yah!" Teriak Bunda dalam isakan, aku bisa mendengar jelas suara Bunda disana. "Ab...abang Anna gak mau kehilangan Cam... Cameron lagi..."

"Enggak Anna, Cameron udah gak ada, udah tenang..." Bang Drico memelukku disana, ia menangis. "Jangan gini lagi Anna cukup..." ujarnya dengan isakan.

Ayah berlari keluar kamarku mengambil ponsel menghubungi ambulan, sementara Bang Drico sudah menaruhku di dalam dekapannya. Hangat. "Adek... udah... harus ikhlas ya? Anna harus buka hati, udah cukup... Abang sayang Anna..."

"Ab—abang... Anna gak bisa nafas..." kataku mencoba menetralkan nafasku hanya saja rasanya sesak. "Iya... tahan yaa ambulannya lagi kesini... udah jangan dipikirin lagi, ikhlas yaa dek... ikhlasin Cameron..."

Iya, inilah puncak terparahku selama beberapa tahun ini. Ini semua terjadi dari awal kehilangan Cameron hingga tahun kedua keadaanku membaik walau beberapa kali saja aku mendapatkan mimpi dan aku hanya bergurau, dan kali ini kali pertamaku di tahun kedua kembali seperti tahun pertama kehilangan Cameron. Sebenarnya aku mengonsumsi obat dan mendatangi ke psikolog juga dokter tapi saat aku terlihat sudah baikan aku sudah tidak lagi mendatangi psikolog dan dokter karena tugasku sisanya adalah tinggal mencoba menerima dan menjalankan hidupku dengan baik dan menyingkirkan pemikiran-pemikiran bodoh tentang Cameron.

Tapi entahlah mengapa ini kembali lagi. Padahal aku sudah berhasil mengalihkan diriku pada Arden.

"Abang..."

"Iya... iya kenapa Na?"

"Anna beneran mau janji,"

"Janji apa? Anna mau janji apa ke Bang Drico?"

"Janji mau buka hati,"

"Sama siapa?"

"Arden."

Malam itu keputusanku sudah bulat bahwa aku akan membuka hati buat Arden hingga akhirnya semuanya hitam dan terakhir yang kudengar adalah suara ambulan dari jauh.

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 130K 28
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
16.3M 637K 37
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
2.4M 266K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.1M 54.1K 48
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...