JAYDEN

By chachaprima

198K 12.3K 10.4K

Je Me SERIES 2 DARK ROMANCE, MAFIA'S STORY __________________________________________________ Gara-gara tua b... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
BBITM Cetak Ulang
Pre Order Jayden

Chapter 9

4.5K 286 203
By chachaprima

Selamat datang di chapter 9

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tolong tandai jika ada typo

Thanks

Well, happy reading everyone

Hope you like it

WARNING 18+
ANAK-ANAK TIDAK BOLEH BACA CHAPTER INI
ADA ADEGAN EKHEM-EKEHM
KALAU TETEP MAKSA DAN KEJANG-KEJANG, JANGAN SALAHKAN SAYA YA

❤❤❤

______________________________________________

You Only Live Once by Suicide Silent

______________________________________________

Harusnya biarkan saja aku mati
Tidak perlu menyelamatkan dan memintaku bangun
Itu lebih baik, dari pada aku harus bangun dan menghadapi kenyataan

Jayden Wilder
______________________________________________

Musim dingin
Summertown, 16 Desember
11.22 a.m.

“J-Jayden,” bisik Melody terbata. Suaranya sangat lirih dengan senyum yang semula dipasang kini sudah surut.

Rasanya hatiku campur aduk. Ada perasaan senang, sedih, tetapi ketika sekali lagi menyadari kenyataan bahwa ia sekarang adalah tunangan orang bernama Umar Al-Khareem, dadaku bergemuruh seolah-olah seseorang baru saja menyiram paru-paruku dengan air panas. Otakku pun menegang, dengan darah mendidih, dan tangan-tangan yang sontak mengepal erat seakan siap meninju apa saja yang ada di hadapanku.

Bagaimana bisa Berlian Melody berada di sini? Lalu bertunangan dengan pria lain padahal secara logika kami belum putus?

Aku tahu ini kekanakan. Namun, oh ayolah! Aku butuh penjelasan!

“Berlian Melody.” Aku menemukan diriku menukas dengan suara jauh lebih rendah dari biasanya. Sambil membawa kedua langkah kaki yang menyangga tubuhku secara perlahan untuk masuk, lalu menutup pintu tanpa melihat. Sebab fokus menyita pandangan pada sepasang mata milik wanita di hadapanku.

Aku memasang senyum getir untuk bertanya, “Can you tell me what the hell is going on?”

Raut wajah Melody tidak terbaca. Berikutnya ia menunduk. Dan ketika mendongak untuk melayangkan pandangannya mengikutiku yang berjalan perlahan menuju kursi kerja yang ia duduki, ia tersenyum dengan tenang. “Duduklah. Aku akan menjelaskannya,” titahnya menggunakan bahasa dan aksen British sempurna sembari menunjuk kursi depan mejanya.

Terpikat oleh omongan itu, aku pun menghentikan langkah dan memutar tubuh untuk duduk di kursi tersebut. Kupikir, Melody akan menjelaskan tentang alasannya menghilang dariku selama ini. Rupanya bukan. Ia malah menerangkan, “Dokter Meggy Force pasti sudah menjelaskannya. Sebulan lalu kau mengalami kecela—”

“Apa-apaan? Kamu pikir aku butuh penjelasan itu?” potongku.

“Kalau begitu, kalau tidak ada yang ingin kau bahas mengenai kesehatanmu, silakan meninggalkan ruangan ini,” pungkas Melody dan amarahku serasa meledak. Aku bangkit, dengan cepat memutari meja kerja untuk mencapai kursinya.

Aku menarik lengan kurus wanita itu hingga ia mengernyit kesakitan dan bangkit. Dengan kedua tangan berada di pundaknya, aku menunduk, menembus pandanganku pada iris gelapnya lalu menuntut, “Jangan bertingkah kayak orang lain! Jelasin pakai bahasa Indonesia aja! Kenapa kamu ini ngilang selama ini?”

Melody mencoba melepaskan tangan-tanganku yang mengguncang pundaknya. Namun, seperti halnya yang kami berdua ketahui, ia tidak akan bisa melakukannya. “Tolong lepaskan. Ini rumah sakit. Tidak baik seperti ini. Atau kupanggil keamanan.”

“Oh, panggil. Ayo panggil. Aku cuma pengin tahu alasan kamu ngilang! Kalau kamu jelasin, kita juga nggak bakal ribut-ribut.”

“Lepaskan aku!” desisnya, masih rajin berusaha melepas tangan-tanganku yang kutekan kuat pada pundaknya.

Dadaku kembang-kempis menunggunya bicara. Namun, selama beberapa saat, ia sama sekali tidak membuka mulut untuk membicarakan hal yang semestinya kami bicarakan. Melainkan terus merintih kesakitan. Aku pun tercengang, tidak menyangka akan sesulit ini untuk membuatnya bicara soal alasan itu.

“Kalau kau ngingingatkan kita sedang berada di rumah sakit untuk membahas ini, oke ayo keluar dari sini!” Aku mengikutinya menggunakan bahasa Inggris.

Kulepas kedua tanganku di pundaknya untuk beralih mengcekal pergelangan tangannya. Kuseret Melody supaya mengikutiku. Keluar dari ruangan dokter, aku mengabaikan tatapan orang-orang di sekelilingku. Sementara Melody terus meronta, aku membawanya ke parkiran mobil.

“Lepaskan! Jangan bertindak seenaknya!”

Jangan bertindak seenaknya? Bukankah aku yang seharusnya menanyakan hal itu padanya? Ia yang seenaknya pergi!

Kupererat cengkraman tanganku, hingga ia benar-benar meronta kesakitan. Aku tidak peduli. Sudah terlalu lama kutahan semua emosi ini. Sebenarnya ia hanya perlu memberiku satu penjelasan paling logis, dan semuanya selesai. Mungkin aku bisa menerima alasan itu untuk menentukan langkah selanjutnya. Namun, kenapa ia tidak memberikannya? Jadi, jangan salahkan aku kalau bersikap seperti ini. Ia sendiri yang memilih jalan ini.

Dengan langkah tersendat-sendat mengikutiku, kami pun tiba di parkiran. Di sana ada Tito yang sedang bersandar di samping pintu mobil sambil merokok. Begitu melihat kedatangan kami, ia memelotot, berdiri tegak dan membuang rokoknya ke bawah serta menginjakknya sampai padam.

“Mana kuncinya?” todongku pada Tito yang melihatku dan Melody secara bergantian. Sekarang wanita itu berwajah kacau, tetapi sudah tidak lagi merengek.

“Mana kuncinya?” Sekali lagi kutodong pria bertato itu. Saat ia ingin membuka mulut, aku segera membentak, “KUNCI!”

Terhenyak tetapi dengan segera menormalkan diri, Tito akhirnya merogoh saku jinnya dan memberikan kunci itu padaku.

Aku meraih benda itu dengan cepat lalu kembali menyeret Melody untuk menuju pintu samping kanan mobil. Kubuka pintu tersebut dan kudorong wanita itu supaya duduk. Kupakaikan seatbelt sebelum kututup pintu kembali dan memutari bagian depan mobil menuju kursi kemudi.

Aku menyalakan kendaraan dan pemanas dengan cepat, lalu melepas kopling, dibarengi persneling supaya bisa melajukannya dengan kecepatan sedang menuju penthouse-ku yang berada di daerah sekitar sini. For your information, aku memiliki beberapa penthouse di daerah-daerah yang ada bangunan The Black Casino and Pub supaya bisa mengecek tiap-tiap kasino dengan mudah dan bisa beristirahat dengan nyaman. Walau kata ‘nyaman’ jarang kutemukan beberapa tahun belakangan ini.

Kulirik Melody melalui spion tengah. Pandangan matanya redup dan kosong. Menatap ke luar jendela yang putih karena jalanan dan semua komponennya sudah dipenuhi salju. Ia bahkan tidak merespons ketika aku melepaskan cengkraman tanganku tadi.

Apa yang kira-kira dipikirkannya sekarang? Her fucking fiance named Umar Al-Khareem? What a bloody hell sweet, righ?

Tidak lama kemudian mobilku memasuki bangunan bertingkat banyak. Aku menurunkannya di basemaent, lalu dengan cekatan kuseret Melody menuju lift khusus menuju penthouse-ku di lantai paling atas. Aksesnya menggunakan sidik jari. Dan selama proses naik itu berlansung, kami sama-sama menciptakan keheningan. Tidak lama kemudian, dentingan kotak besi ini membawaku melangkah keluar.

Sama seperti tadi, Melody tertatih-tatih mengikuti langkahku yang cepat dan lebar menuju penthouse-ku. Sekali lagi kutempelkan sidik jari dan suara mesin penjawab otomatis segera bergema.

Welcome home Mr. Wilder.”

Membiarkan sistem penghangat aktif, aku mendorong Melody supaya duduk di sofa abu-abu tua ruang tamuku.

“Sekarang udah nggak di rumah sakit,” Aku mulai berbicara. Masih dengan suara rendah dan serak yang di luar kebiasaan. Namun, kupastikan Melody hafal setiap perubahan kecil seperti ini sebab ia mengenalku dengan baik.

Aku berkacak pinggang dan menodongnya, “Jelasin, apa maksud kamu tiba-tiba ngilang kayak gitu?”

Ketika aku masih berusaha meredam amarah yang sempat memuncak tadi, berusaha bersabar walau sekujur tubuhku rasanya ingin meledak, hanya wajah menunduknyalah yang kudapatkan darinya.

Aku berjongkok di hadapannya dan mengguncang kedua pundaknya. “Look at me! I’m fucking talking to you right now!tambahku. Namun, ia masih enggan bersuara atau melihatku.

Aku melepas kedua pundak wanita itu lalu duduk di sofa tunggal berlengan seberang mejanya. Menunggunya bicara. Namun, lagi-lagi ia memilih bungkam.

Tubuhku beranjak dari sofa menuju kamarku. Berhubung sebelum kecelakaan aku sempat menginap di sini, jadi aku mengambil selembar dari sisa dua lembar Melody’s Magic Card yang sempat kusimpan di laci kamar ini dan selalu kubawa ke mana pun saat menginap di penthouse-ku yang lain. Aku pun lantas kembali ke ruang tamu dan masih mendapati Melody menunduk.

“Ini, kamu ingat ini ‘kan? Aku mau pakai satu kartu yang katamu sakti ini buat minta penjelasan.” Aku mendesis. Walau sudah melihat kartu itu, tetapi ia masih belum menjawab.

Aku melempar kartu itu sembarang dan bangkit untuk berjalan mondar-mandir sambil menjambak rambut gondrongku. Demi Neptunus! Apa sesusah itu memberiku alasan tentang kepergiannya? Aku bukan cenayang yang bisa menebak jalan pikirannya atau wanita mana pun!

Aku berhenti dan menyusuri arah pandangan Melody yang tertuju pada jari manis tangan kirinya. Tato note balok yang melambangkan namanya yang kutati dulu sudah hilang digantikan cincin bertahta water drop. Betapa hatiku seperti disayat-sayat dan amarahku memuncak kembali.

Apakah itu cincin pertunangannya? Dan benar Melody akan menikahi Umar dalam waktu tiga bulan ke depan? Luar biasa!

Kepalaku yang sudah tegang bertambah nyut-nyutan. Emosiku pun semakin tidak terkendali. Aku menariknya supaya berdiri hanya untuk menyeretnya ke kamarku. Tidak adil rasanya kalau aku menderita sendirian selama ini sementara Melody dengan tenang akan menikah dengan pria lain yang seharusnya adalah aku.

“Jadi cowok sialan itu alasan kamu ninggalin aku?” tanyaku tidak lagi penuh penekanan seperti seharusnya menahan emosi. Kemarahan membuatku mencengkram rahangnya kuat. Ia tidak bisa kabur kemana pun karena aku sudah membantingnya di kasur dan menindih badan mungil itu hingga tidak berdaya. Kakinya juga sudah kukunci.

Aku tidak tahu kalau cara ini rupanya bisa efektif membuatnya berbicara. “A-aku,” ucapnya terbata-bata dan dengan sekujur tubuh gemetar. Aku bahkan bisa merasakan tangannya yang meraihku tanganku begitu dingin. Namun, tidak lantas membuatku merasa iba sedikit pun, amarahku malah semakin naik.

“Tell me, do you love him? So, because of it, you left me, right?” bentakku tepat di hadapannya.

Tidak ada jawaban darinyalah yang membuatku menyimpulkan demikian. Dengan kalap, aku meraih sweter kuning cerah yang ia kenakan dan melepaskannya. Sambil meronta, Melody memekik, “What are you doing jerk!”

“Menurutmu?” Aku menantangnya. “Aku nggak bakal ngerancap kamu lagi. Kita udah sama-sama dewasa. Jadi, aku bakal ngelakuin lebih.” Kali ini, emosiku sudah mencapai ambang batasnya. Setan yang telah lama tidur dalam diriku bangkit kembali.

“Lepasin aku, berengse—hmp!”

Aku membungkam mulutnya dengan mulutku. Kupaksa ia menyambutku dengan menggigit bibir bahwanya. Dalam erangnnya, kugunakan kesempatan itu untuk menjelajahi indra pengecap wanita itu secara brutal, kasar dan tanpa ampun. Tanpa memedulikan seluruh badan Melody yang terus memberontak. Seharusnya ia belajar dari dulu bahwa kekuatanku selalu tidak sebanding dengannya. Jadi, yang ia lakukan pada akhirnya sia-sia.

Tanganku yang satu mengambil tangan-tangan Melody yang berusaha menekan dadaku supaya aku menjauh. Namun, gagal sebab tangan-tangan itu kini sudah kukumpulkan di atas kepalanya supaya aku lebih leluasa menciumi bibir manis yang selalu kurindukan selama bertahun-tahun ini.

Aku melepaskan diri untuk menyisik penutup tubuh bagian atasnya lalu menekan salah satunya menggunakan tanganku yang bebas sambil mengisap kulit lehernya yang dingin. Tak lupa meninggalkan banyak jejak di sana.

“Lepasin aku, berengsek!” teriaknya.

“Tell me, do you love him? So, because of it, you left me, right?” Aku mengulang pertanyaanku dengan harapan jawaban yang sesungguhnya. Lalu mungkin aku akan melepaskannya.

Tanganku yang semula bertengger di salah satu keindahan tubuh bagian atasnya pun kini meremasnya kuat sampai ia merintih. Sekali lagi, sebab tidak mendapat jawaban itu, jadi kau menyimpulkan semuanya benar. Karena pria bernama Umar itu, Melody meninggalkanku.

Sudah kukatakan bahwa aku tidak rela Melody bahagia bersamanya. Jadi, aku menggelamkan salah satu puncak merah muda itu dalam rongga mulutku. Kuisap kuat dan kugigit. Lalu mengulangnya pada bagian yang lain. Sementara itu Melody mengeluarkan erangan erotis walau singkat.

“Ah! Kamu berengsek! Kamu beneran berengsek, Jayden!”

Aku tidak peduli dan melanjutkan kegiatanku, dengan tanganku yang turun ke bawah dan membelai lipatan di antara paha Melody yang dibalut rok kulit hitam selutut dan legging hitam mengilat. Berhubung penasaran, tanganku pun menyisik kedua lapisan itu untuk melesak dan menyapa lipatan tersebut yang rupanya sudah basah.

Aku menjulang di atas Melody untuk menatapnya. “Lihat? Kamu masih nikmatin apa yang aku lakuin. Gimana kira-kira reaksi tunabganmu kalau tahu?”

“Don’t you dare to fucking touch me!” Melody yang berteriak, membuat tanganku semakin menekan di bawah sana. “Argh! Berengsek! Kamu bener-bener, berengsek!"

“Akan aku tunjukkin seberapa berengseknya aku.” Walau seluruh urat-uratku sudah menegang, tetapi kali ini aku menyuarakannya dalam bentuk bisikan.

Aku kembali berkutat dengan rok itu, lalu mengambil legging hitam tersebut dan memelorotkannya hingga pergelangan kaki yang tertahan botnya.

“I will make you never forget about me, Baby.” Aku melepas ikat pinggang dan menggunakan benda itu untuk menali tangan-tangannya.

“Lepasin aku berengsek!” Ia masih setia memberontak. Namun, terlambat. Aku sudah meloloskan mantel, turtle neck hitamku dan menarik lepas bot dari kedua kaki Melody supaya legging itu bisa menghuni lantai.

Namun, kurasakan ada yang aneh. Tidak ada lagi gerakan-gerakan pemberontakan dari Melody. Ketika aku melihat wajahnya yang berantakan ditutupi anak-anak rambut, ia tersenyum.

Then do it, Jayden. Aku tahu kamu udah pengin ngelakuin ini dari dulu ‘kan?” tanyanya. Senyun masih melekuk di bibir Melody, tetapi matanya berkaca-kaca dan mengeluarkan berbutir-butir air.

Di saat berpikir ulang dengan apa yang akan kulakukan pada Melody, teriakan Jameka melengking dari depan kamar ini.

“Jay!”

Aku pun menoleh ke arah pintu kamar yang rupanya belum kututup. Lalu mendapati Jameka melihat posisiku yang menjulang di atas Melody. Ia pun cepat-cepat memerintah, “Tito, Alfred, jangan ke sini dulu!” Setelahnya berlari ke arahku dan menarikku yang tak bisa melawan. “MAU NGAPAIN LO?” teriaknya sembari mengambil selimut dan menutupi seluruh tubuh wanita itu yang kini sudah menangis sesenggukan.

Jameka juga membantu Melody melepas ikat pinggang yang melilit di pergelangan tangannya, lalu mengambili pakaian wanita yang tercecer di karpet kamar sambil memaki-makiku. “Lo udah gila ya? Apa bedanya lo sama si berengsek anaknya Gamelita itu kalau kelakuan lo sama kayak dia?”

Teriakkan kakakku bergema di seluruh ruangan. Sambil memakaikan seluruh pakaian Melody dan melapisi tubuh itu dengan selimut lagi. “Dear, are you oke? I’m sorry. I’m so sorry,” bisik Jameka. Kemudian membawanya pergi. Mereka berdua sama-sama tidak melihatku lagi.

Sedangkan aku, hanya bisa diam mematung. Menatap kosong ke sembarang arah. Merenungkan kalimat Jameka barusan.

Apa yang telah kuperbuat pada Melody? Bagaimana kalau ia sangat membenciku sekarang? Bagaimana kalau ia tidak ingin bertemu denganku lagi, menghindariku atau yang lebih parahnya akan menghilang seperti dulu? Padahal aku baru saja menemukannya.

Aku tidak mau ....

Tanpa sadar aku meringkuk di atas karpet dengan tangan-tangan memegang lutut. Sekujur badanku gemetar. Aku mengigit bibir bawahku keras-keras, lalu menumpah air mata dalam diam. Hal termustahil yang baru aku lakukan sekarang ; menangisi seorang wanita dari masa lalu yang kuanggap belum rampung hingga kini. Mentalku rasanya sangat kacau.

Aku tidak menyadari kalau Tito bersama Alfred sudah masuk kamar. Mereka bertanya dengan nada khawatir.

“Boss, lo nggak apa-apa?”

“Are you okey, Boss?”

“I need a space,” jawabku. Suaraku berdengung sebab wajahku masih membenam di lengan-lenganku yang memeluk lutut. Jadi, mereka tidak perlu meluhatku menangis, memalukan.

Syukurlah, Tito dan Alfred pun memahami kata-kataku. Sebelum mereka pergi, Tito berkata, “Boss, kalau butuh apa-apa, gue di apartemen bawah penthouse lo ya. Entar malem atau besok gue ke sini lagi. Sekarang, tenangin diri lo.”

Setelah mereka pergi, aku justru berencana untuk mati.

___________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang uda vote dan komen atau benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto abang Jay

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻

Post : 17 Oktober 2019

Repost : 6 Oktober 2021

Continue Reading

You'll Also Like

Blue By caa

Fanfiction

20.5K 2.4K 15
Di pesta lajang yang seharusnya menjadi malam membahagiakan untuk Jongin malah membawanya ke dalam kejadian yang tak pernah terbayangkan. Membuat pen...
279K 11.3K 51
[Marriage Life Series #2] ||Spin-off Devil Husband|| • • Karena kesalahan satu malam yang mengharuskan Salsa mengandung benih dari orang yang dia cin...
5M 295K 52
[21+ ] Seanna pernah berjuang begitu keras demi penuntasan obsesinya pada sosok Jonathan ...Sebelum akhirnya menyerah kala lelaki itu menghancurkan h...
6.2K 521 20
"Mungkin udah saatnya bagi kita untuk break. Entah itu break sementara atau break selamanya," ujar Putri seraya menatap manik mata cowok dihadapannya...