Metanoia

By chocoxltes

113K 7.1K 2K

|| s e q u e l of Married Enemy Ini tentang bagaimana aku melupakanmu, tentang aku yang hidup di hantui mas... More

// tentang bagaimana tanpamu
// the boy who i hate
// be friend
// again
// one fun day
// sebuah cerita
// keluh kesah
// what a day
// what a day (2)
// rasa
// the old side
// kencan?
// kencan? (2)
// membuka hati
// cerita lama
// pengungkapan rasa
// takut
// nikah muda?
// masa lalu
// double date
// deep talk
// promise
// our future
// bertukar cerita
// pergi lagi
// lost control
// berubah lagi
// the boy who i hate (2)
// keera bet
// penjelasan
// the day
// drunk
// malika side
// khalid
// safe place?
// a party
// pesan singkat
// mine
// a cold boyfriend
// lika
// satu bulan berharga
// yellow
// break up
// him

// the boy

7.5K 355 49
By chocoxltes

Suasana kampus kala sore hari semakin membuat kantuk semakin berat untukku, di tambah lagi pohon terus bergoyang membuat angin sebagai support untuk tidur. Aku menatap dosenku yang sibuk menjelaskan tanpa peduli aku yang hanya melongo karena cara menjelaskan nya seperti menjelaskan materi pada Insinyur. "Anna, Anna lo ngerti nggak sih sama tuh Dosen?" Tanya Intan teman satu kelasku hari itu.

Aku menyengir bersama gelengan kepala. Aku lagi mengerti, pikiranku saja memberi intruksi kepada kelopak mataku untuk tetap terbuka dengan mantap, boro-boro mikirin ocehan rapping Young Lex di depan. "Lo nyatet tapi?"

Ini sefruit modus yang aku temui tiap kelas dan inilah yang aku bilang teman sekelas saja, mereka mendekatiku karena sebuah benefit jadi jangan heran bila kala aku susah mereka tidak akan menolongku. Mungkin akan di tolong oleh semua alasan etis hingga konyol yang mereka ucapkan. "Enggak, dengerin aja nggak," alibiku.

Aku menyatat walau tau catatan entah dari ucapan Dosen yang sedikit nyantol atau sebuah imajinasi buatanku saja. Konyol. Jam kelas ke empat selesai, kini aku bisa kembali tertidur di atas ranjangku yang sudah menunggu. Sinar matahari sore menyapaku saat keluar kampus, disana aku melihat sosok Keera berdiri di sela sinar matahari berpose di depan kamera ponsel. Aku mencoba mendekat melihat apa yang Keera lakukan. "Eh kodok! Woy Anna lama-lama lo kok jadi hantu ya," teriakny kesal karena aku tiba-tiba di sebelah nya.

Aku menyengir, "Selfie lo?" Tanyaku walau tau jawabannya apa nanti. "Enggak, gue lagi nyusuin bayi tua. Ish, kesel dah sama lo," cercanya.

Aku mendengus dan tidak menanggapi. "Sebentar satu cekrek lagi, jadi selebgram, tuh, emang susah,"

Keera memang selebgram dengan followers 35 ribu, jadi wajar saja bila dia harus foto di tempat yang menurutnya bagus walau suasana tempat foto banyak orang. Dia sangat pede, hingga sebuah tatapan tajam di balas kembali tajam olehnya. "Enggak susah, emang lo nya aja narsis, bambang. Udah ah, gue tunggu di mobil lo,"

Keera mengangguk memberikan kunci mobil padaku. Sela beberapa menit Keera datang sesambil tersenyum, aku tidak berniat bertanya karena aku sibuk membenarkan rambutku yang mulai kusut. "Annaaaaa!!!" Jerit Keera di duduk pengemudi. Aku menoleh kesal pada Keera. "Apa, sih, Ra?"

"Tau gak, Alan ngajak gue makan malam gituu. Omg, pertama kali nya Alan romantis tau nggak?"

Alan adalah cowok tidak terlalu peka dan melakukan semuanya dengan porsi yang ia tentukan. Walau begitu hubungan mereka tampak asik karena tidak terlalu berlebih dan cuek. "Lo mau belanja baju?" Tebakku pada Keera di balas gelengan kepala.

"Makan aja, Alan ngajak makan dulu di tempat biasa soalnya makan malamnya jam sembilanan,"

"Oh, yaudah, gue juga lagi kanker jadi nyamuk gapapa deh,"

Keera menjitak kepalaku, "Untung sayang sama lo."

🌿🌿🌿

Aku duduk di sebelah Keera dan di samping Alan ada teman nya yang ikut makan. Mungkin teman Alan senasib denganku karena tanggal tua yang melanda. "Udah mesen lo, Na?" Tanya Alan.

Alan kekasih Keera tetapi aku selayak Adik bagi Alan. Entahlah Alan sangat peduli denganku karena dia mengerti bagaimana hidupku, juga Alan berumur 25 tahun dimana pemikiran nya sangatlah dewasa jadi aku tidak terlalu mempersalahkan sikap manis Alan. "Udah kok, malah gue mesen banyak," ujarku.

"Gapapa mesen aja banyak, temen gue juga lebih gak tau diri," ujarnya bercanda. Aku terkekeh.

"Eh, Arden lo diem aja ngomong apa biasanya bacot lo," celutuk Keera melihat teman Alan yang diam mendengar pembicaraan di antara kita tanpa menimpali sedikitpun. Dia menyengir disana, "Battre nya lagi abis, Ra makanya lagi mau ngisi," sahut lelaki itu.

Alan menepuk jidatnya tiba-tiba, "Eh, Na kenalin nih temen balapan gue Arden, lagi miskin makanya minta gue beliin makanan,"

Aku memberi senyum pada laki-laki bernama Arden itu, "Halo, gue Anna," kataku memperkenalkan diriku.

"Dia juga masih ngampus, di UI fakultas ekonomi," timpal Alan memperjelas tentang Arden. "Oh, ya? Terus lagi skripsi atau gimana?"

"Iya lagi skripsi," jawabnya.

"Arden bonyok nya di Bandung, sok mau mandiri gitu padahal dia bisa masuk ITB waktu itu," timpal Keera kali ini.

"Oh, gue juga di terima ITB cuman gue lagi masa sulit enggak bisa ninggalin Jakarta gitu aja, jadi gue kuliah di Jakarta tapi Atma Jaya karena enggak keterima di UI,"

"Heran gue dua orang nolak ITB anjir," kata Alan di sahut tawa olehku. "Ya si Arden nolak ITB masuk UI disini, Anna? nolak ITB enggak masuk UI, how sad," ejek Keera di balas sikut olehku.

Lagi pula aku tidak menyesal menolak masuk ITB dan juga aku ingin masuk falkutas hukum melanjuti kuliah lamaku. "Gue kan mau hukum juga, kalo ITB gue bisa di bisnis cuma lebih mau hukum jadi kenapa enggak, lagian kalo gue masuk UI lo gak bakal ketemu gue temen terunyu lo, Ra,"

"Najis, pedean lo ya."

Aku menuruni motor besar Arden karena Keera dan Alan akan bersiap untuk makan malam perdana mereka, aku tidak ingin juga merusak dan mungkin guna Arden disana bisa mengantarkan aku pulang. Aku memberi senyum pada Arden, "Mau mampir dulu?" Tanyaku basa-basi.

Dia menggeleng cepat, "Enggak usah, Na,"

"Kostan lo daerah sini?" Tanyaku kali ini tidak basa-basi karena tidak enak saja pulang bersamanya padahal arah rumahku sangat jauh darinya. "Enggak, dekat kampus di Depok,"

"Hah? Jauh banget dong di Depok? Kok lo main nya sudirman?"

"Lagi ada perlu di kantor Alan, gue kayaknya mau ngantor karena bentar lagi kan mau lulus,"

"Oh gitu, yaudah lo pulang gih jauh kan Depok sama Jakarta, mesti ngurus skripsi juga,"

"Enggak, ini lagi mau ngumpul sama temen daerah sini bareng-bareng ngerjain skripsi,"

"Oke deh, makasih tumpangan nya,"

"Iya sama-sama,"

Motornya berjalan meninggalkan daerah apartemenku saat dirinya tersenyum padaku. Tentu aku menanggapi nya biasa saja karena ini awal pertemuanku dengannya.

Ponselku berdering tertara nama Kak Ben disana. "Kenapa, Kak?"

"Elo ngeluyur kemane, hah? Gue depan kamar lo nih,"

Aku segera berlari memasuki tower, "Iya, iya ini lagi mau masuk,"

Lift terbuka dan disana sudah ada Kak Ben menunggu di depan lift. Aku menyengir kuda menyapa Kak Ben. "Ada apa lo kesini jauh-jauh?" Tanyaku.

"Ini Tante Alma belum bisa nengokin kesini lagi sibuk sama urusan kantor, ada makanan juga," Kak Ben memberikan paper bag padaku.

"Duh Mama segala ngirim ginian. Makasih Kak Ben,"

"Iya, lo nggak ada niatan ngasih gue makan atau minum apa? Jauh-jauh dari Kemang kesini,"

Aku menyengir kuda dan mempersilahkan Kak Ben masuk, ini sudah biasa karena Kak Ben selalu di minta Mama Alma mengirim barang atau makan. Mama Alma sibuk mengurus kantor karena Kak Drico yang pindah ke Bandung, sementara kantor Ayahku kembali di pegang oleh Ayah karena beliau sudah sehat lagi pula Ayah tidak punya orang kepercayaan lagi dan yang pasti setelah aku lulus, aku akan mengurus perusahaan Ayah.

"Kak Ben mau makan apa? Anna cuma ada nugget, mi sama telor doang," Ujarku dari dapur sementara Kak Ben sibuk menonton.

"Telor aja tapi setengah mateng,"

"Punya Istri di gunain apa, Kak," kataku di sela memasak makanan untuk Kak Ben.

"Naura masak di rumah, tapi gue laper lagi,"

"Halah, emang perut Kak Ben bisa nampung seribu makanan kali,"

"Heh, perut gue ajaib gini-gini masih kotak-kotak,"

Aku menaruh piring itu di atas meja dan duduk di sebelah Kak Ben. "Kak Ben udah ke makam?" Tanyaku.

"Udah, kenapa?"

"Anna besok mau ke makam,"

"Sendiri?"

"Iya, kalo bisa sih naik kudanil, Kak."

Kak Ben terkekeh, "Yaudah, jangan sedih tapi janji sama gue,"

Aku mendengus kesal, "Yang nangis gue, elo yang pelit air mata,"

Kak Ben menelan makanan nya dan menatapku, "Kapan lo bisa mulai cari yang baru kalo lo masih nangis, Anna. Percaya banyak laki-laki di sana yang menunggu lo, tapi lo masih disini dengan perasaan lo yang sudah seharusnya kosong untuk orang baru,"

"Anna udah move on, tapi belum ngerasa ada yang tepat,"

"Ada Anna tapi lo menutup diri,"

"Terus gue harus gimana?"

"Elo harus nanggepin semua laki-laki yang deketin lo, maksudnya pendekatan aja dulu nanti pasti ada yang buat lo nyaman,"

"Kalo gak ada cowok yang buat gue nyaman?"

"Ya itu terserah lo, apa lo akan jadi sosok Anna Derulia yang mengharapkan Cameron datang dari langit ngulurin tangan ke lo ngajak kawin di sono,"

Aku mendesis mendorong tubuh Kak Ben kasar, terkadang Kak Ben sangat sensitif soal aku yang belum mendapatkan kekasih baru. Maksudku, dia sensitif karena Kak Ben ingin melihatku kembali tertawa dengan lelaki lain yang benar-benar akan menjagaku.

✨✨✨

Aku terbangun dari tidur dan menatap layar ponselku, disana ada nama yang tak asing buatku. "Arden?"

G. Arden: Halo Anna maaf gue lancang ngechat lo begini. Gue dapet kontak lo dari Alan

G. Arden: Hari ini lo ada kelas? Gue butuh temen refreshing buat skripsi, mau temenin?

Aku menatap pesan itu memikirkan planku hari ini. Apa ini waktunya untuk membuka hati? Eh, tapi kenapa kesanku geer sekali lagi pula Arden hanya mengajakku menemani dia nyusun skripsi bukan?

Anna Derulia: Hari ini ada kelas tapi guru nya batalin, gue mau ke makam aja sih

Hari ini aku akan mampir ke makam Cameron berhubung sudah dua bulan tidak mampir sebentar. Lalu satu notif kembali terdengar.

G. Arden: Oke gue anterin

Anna Derulia: Lo mau jam berapa ke sini?

G. Arden: Sesuai lo aja, gue ikutin jadwal lo

Anna Derulia: Jam 11 lo kosong?

G. Arden: Hari ini kosong kok. Entar gue jemput jam 11, see u

Aku segera mengecharge ponselku dan membersihkan diriku untuk awal pertemuan oleh Arden. Aku harap ini awalku untuk melupakan Cameron karena aku tidak mungkin masih mengeraskan hatiku untuk Cameron. Dia masa laluku, dan aku harus berjalan ke masa depanku.

✨✨✨

Jam menunjukan pukul 11.02 dimana aku berjalan menemui Arden di atas motornya. Aku memberi senyum, disana ia mengenakan kaos oblong putih disertai jaket jeans dan celana bermodel robek sekitar paha dan dengkul. Ini pakaian Cameron sekali.

"Pagi Anna," sapanya.

"Pagi menjelang siang Arden," Sapaku balik.

Ia memberikan helm yang berada di lengannya padaku, "Pakai helm biar safety, btw maaf gak pake mobil soalnya entar kena macet Jakarta,"

"Gapapa kok, lagi pula gue enggak terlalu mempermasalahin kendaraan," aku menaiki motor besar milik Arden dan mendekatkan diriku ke arah telinga nya. "Ke makam dulu, ya?"

Motor Arden memasuki pekarangan makam Cameron. Aku menuruni motor Arden, di tanganku ada bunga beserta air untuk menghiasi makam Cameron. Aku berdiri menatap nama Cameron disana, air mataku turun tanpa pamrih. Masih seperti itu.

Arden di sebelahku menatap makam yang entah siapa di dalamnya. "Udah lama, ya, Cam? Maaf ya, baru sempet sekarang."

Air mataku semakin deras, "Kamu baik-baik aja kan disana? Seto baik juga? Dia pasti nemenin kamu ngejahilin orang-orang,"

Aku berjongkok, "Aku kangen kamu, tapi aku nggak bisa meluk kamu. Aku kangen, tapi aku nggak bisa liat kamu, tapi kamu bisa liat aku .... "

Aku mengusap air mataku yang masih turun deras, "Ini saat nya aku lupain kamu, Cam, waktu berjalan dan aku nggak bisa terus menunggu suatu keajaiban datang kalau kamu baik-baik aja dan masih hidup. Aku pamit, ya."

Aku menatap makammu, dan berjalan meninggalkan kamu yang entah mungkin melihat punggungku. "Lo pasti deket banget sama Cameron?"

Aku mendongak menatap Arden lupa bahwa laki-laki itu ikut bersamaku. "Oh, iya dia suami gue," kataku terus terang seperti biasa.

Aku terus menatap wajah Arden, tetapi lelaki itu tidak menampilkan wajah terkejutnya seperti laki-laki lain saat tau bahwa aku seorang janda. Mungkin Alan atau Keera menceritakan tentangku padanya, tak lama juga Arden akan meninggalkanku. "Oh, lo nikah muda? Atau paling jodohin gitu, ya?"

Aku melongo menatap Arden tidak percaya. Cukup respon yang berbeda dari semua lelaki yang mendekatiku. "Iya, di jodohin. Lo nggak di ceritain Keera atau Alan?"

Dia menggeleng dengan polosnya, "Enggak, gue cuma minta kontak terus udah dikasih,"

"Kok lo gak kaget?"

"Emang harus? Lagi pula apa masalah nya kalo lo udah nikah?"

"Elo nggak mikir kalo gue nikah karena hamil di luar?"

"Oh lo di jodohin karena udah hamil juga?"

Demi jenggot Hagrid yang lebat, respon Arden biasa saja. Apa dia berdarah dingin layak Gaffriel? Tapi sepertinya tidak karena dia cenderung selalu merespon. "Hah? Enggak, cuma di jodohin,"

"Kata lo hamil?"

Aku menghela, bukan Arden. Aku enggak hamil, karena itu dia meninggalkanku. "Gue di jodohin, banyak cowok yang tau pas gue janda mereka respon nya langsung beda. Ya, gue ngerti sih kenapa,"

Dia tertawa disana menatapku, apa kataku sebuah lelucon? "Kenapa harus di masalahin lo janda atau bukan, lagian itu kan masa lalu lo dan yang sekarang lagi di jalanjn masa depan, jadi kenapa masa lalu di jadikan alasan?"

Tidak tau, tapi senyumku mengembang disana. Seperti rasanya berbeda. "Gue enggak masalahin masa lalu lo kok, Anna. Gue cuma orang baru di hidup lo dan gak punya hak banyak,"

"Oke, mungkin gue shock kali ya, karena respon lo beda sendiri. Sekarang gue nemenin lo buat skripsi, mau dimana?"

"Ada deh, liat aja nanti,"

Aku mengangguk dan berjalan ke arah motor Arden. Di sela aku berjalan, aku menoleh ke belakang mendapati sosok lelaki berdiri di depan makam Cameron. Aku mengernyit disana merasa bahwa sedari tadi hanya aku dan Arden di blok pemakaman Cameron. "Arden, itu ada orang nggak sih di makam Cameron?" tanyaku untuk memastikan pengelihatanku benar apa tidak.

Arden menoleh ke arah makam lalu menatapku, "Iya, kenapa? Palingan temen nya," jawabnya enteng.

Apa itu Raffel? Tapi mengapa punggung itu seperti punggung ... Apa itu Cameron? Apa itu hantunya? Tapi kenapa Arden bisa liat?

"Arden, lo duluan deh gue mau samperin," kataku. "Oke, gue tunggu,"

Aku berlari mendekat ke sosok lelaki yang semakin jelas seperti Cameron. Aku mencoba menatap kaki nya dan lelaki itu napak di tanah. "Lo siapa?"

Satu detik ...

Dua detik ...

Tiga detik ...

Aku menatapnya terus, lelaki itu tidak menoleh sedikitpun ke arahku. "Loo—"

Dia berlari yang segera aku ikuti. Kenapa dia berlari? Apa dia merasa aku yang hantu? Lari nya cepat, Arden tampak tidak ikut berlari karena mungkin tidak menyadari. Punggung itu kian menjauh, aku mengatur nafasku terlebih dahulu, aku tidak bisa mengejarnya begitu cepat. "Anna lo kenapa disini?"

Aku segera menoleh mendapati Arden menatapku heran. Aku segera menunjuk punggung yang mulai jauh disana, "To-tolong kejar, Den," pintaku terbata-bata karena nafasku.

Arden mengangguk dan mengejar lelaki itu.

"WOY!"

Aku mendongak mendengar teriakan Arden. Aku menghela kasar dan melanjutkan lariku, disana aku bisa melihat Arden memegangi kupluk jaket hitam lelaki itu. Aku mempercepat lariku. Arden memutar tubuh nya, begitu juga lelaki yang kukejar dan betapa terkejutnya aku menatap lelaki itu.

"Elo?"

🌿✨🌿

jangan lupa votes dan voment nya! 😭

gimana chapter kali ini?

Continue Reading

You'll Also Like

1M 48.4K 38
Kalluna Ciara Hermawan memutuskan untuk pulang ke kampung Ibu nya dan meninggalkan hiruk pikuk gemerlap kota metropolitan yang sudah berteman dengan...
2.4M 266K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
4.8M 177K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
2.2M 18.9K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...