Ia menatap bayangannya di cermin. Tidak pernah menyangka bahwa warna rambutnya yang kini ia ubah menjadi golden blonde atas dasar rekomendasi Airu memang cocok dengan rambutnya yang sudah memanjang. Ia terlihat lebih feminim dan santai. Terakhir kali ia memiliki rambut panjang ketika ia masih di bangku SMP dan memutuskan untuk kembali ke gaya rambut pendeknya ketika SMA dan tidak banyak perubahan sejak saat itu hingga sekarang ia cukup terkejut dengan dirinya yang terlihat benar-benar feminim. Mungkin ia akan bertahan dengan gaya rambut panjang ini meskipun biaya mengurus rambutnya pun harus naik.
Tubuhnya sudah membaik dan berat badannya tidak sekecil saat ia sedang mental breakdown, ia kini sudah di perbolehkan untuk berolahraga ringan dan kini tangannya pun sudah terlihat berisi. Tahap penyembuhan yang luar biasa cepat dan membingungkan dokter yang mengawasinya. Caranya berbicara pun sudah mulai membaik. Ia kehilangan sebagian kemampuan untuk berbicara namun beruntung kemampuan bahasa yang ia miliki tidak hilang sepenuhnya. Ia hanya cukup diingatkan mengenai bahasa yang harus ia kuasai dan dalam waktu yang cepat ia sudah mulai bisa menyusun kalimat dan berbicara ringan menggunakan bahasa yang pernah ia kuasai.
Jujur saja, rasa percaya dirinya sudah mulai kembali berkembang.
Mungkin dengan tahap penyembuhan yang cepat ini Pak Tsunemori tak perlu menunggu lama untuk lengser dari posisinya.
Dila sekali lagi menyisir rambut nya dengan hati-hati. Tersenyum geli dengan segala perubahan yang sudah ia lakukan pada tubuhnya sendiri .
"Maulin?"
"Aku di kamar."
Lihat? Ia bisa berbicara normal sekarang.
"Aku membawakanmu blueberry muffin."
Ia mengangkat kedua alisnya dengan ceria dan keluar dari kamar, menemukan Fadli di ruang makan dengan muffin yang ia janjikan di tangan.
"Terima kasih."
Fadli tak berhenti menatap Dila yang kini menyantap muffin dengan lahap dan tersenyum riang. Ia menyadari perubahan besar yang terjadi pada penampilan Dila.
"Kamu mengikuti saran Airu?"
Dila berhenti sejenak dan menyentuh rambutnya. Tak perlu berbicara lagi ia kembali tersenyum dan lagi-lagi menyantap muffin kedua. Tak habis pikir bagaimana bisa Dila menyantap muffin secepat itu membuat Fadli menggelengkan kepalanya.
"Kulitmu cocok dengan warna itu. Oh ya, di luar dingin sekali. Angin sudah mulai kencang jadi gunakan mantel abu mu itu."
Fadli memberikan rekomendasi spesifik untuk Dila karena setahunya mantel paling tebal yang Dila punya adalah mantel berwarna abu yang diberikan oleh Pak Tsunemori ketika Dila kembali ke Jepang. Ia mengatakan itu adalah hadiah kepulangan yang secara khusus dipesan untuk Dila.
"Kau akan mengantarku?"
"Tentu saja, aku kebetulan harus pergi ke Universitas."
Dila mengangguk dan secara jelas menyatakan bahwa ia tak terlalu mendengar apa yang baru saja Fadli katakan melihat ia yang kini sangat terikat oleh muffin di tangan. Fadli hanya mengembuskan napas dan tersenyum sembari mengacak rambut Dila.
"Kita harus pergi sekarang."
Dengan begitu Dila membulatkan matanya dan terlihat panik. Tak perlu ditanya pun Fadli tahu bahwa Dila panik karena belum mempersiapkan penampilannya yang kini hanya menggunakan sweater rajut yang longgar dan celana santai yang sopan. Rambutnya pun masih terurai meskipun make up sudah sempurna.
"Tenang saja, Airu mengatakan bahwa hari ini tidak ada klien. Ia mengatakan kau bisa menggunakan pakaian kasual."
"Begitu? Bisakah ambilkan mantel dan tas di kamar?"
Mungkin untuk beberapa aspek, permintaan Dila ini pasti akan terdengar canggung karena bagaimanapun ia bukanlah siapapun melainkan teman Dila saja. Namun dengan santai perempuan itu meminta ia masuk kedalam kamar seorang perempuan yang notabenenya sudah dewasa. Tetapi jangan salah paham, kamar Dila selalu aman dari hal-hal ambigu yang akan membuat pria dewasa mungkin terpancing.
Kamar Dila selalu rapi dan hal-hal semacam itu tidak akan bisa di temukan jika ia hanya berjalan selewat untuk mengambil barang yang Dila minta. Kecuali jika ia harus mencari hingga ke laci-laci di dalam walk in closet, itu akan menjadi kasus yang berbeda.
Fadli berjalan dengan santai menuju kamar dan menemukan mantel yang tergantung rapi di salah satu hanger beserta tas yang disimpan di ujung ranjang. Seperti yang ia harapkan kamar yang rapi tanpa ada debu yang terlihat di permukaan. Apartemen yang sudah cukup lama Dila tinggalkan pun kini mulai terasa hangat kembali.
Ia meraih mantel dan bergegas membawa tas di atas ranjang, namun sesuatu mengehentikannya. Matanya yang semula fokus pada tas kini beralih pada sesuatu yang ia anggap sebagai figura di ujung nakas dalam posisi tergeletak. Dila tak seharusnya menyimpan figura seperti itu maka tanpa pikir panjang ia mengangkat figura tersebut dan menyimpan sebagaimana mestinya.
Perubahan ekspresinya sangat terlihat dan itu membuat Fadli harus berhenti sejenak sebelum ia keluar dari kamar. Setidaknya Dila harus melihatnya baik-baik saja walaupun kini ia merasa sudah tersisih.
"Ayo kita berangkat."
Suara di luar membuat Fadli mau tak mau harus mengangkat ekspresinya. Mengangkat kedua sisi bibirnya dan membuat semuanya baik-baik saja. Yang ia lihat di kamar ini, biarlah ia tinggalkan di kamar ini. Karena ia yakin bahwa Dila tak akan pernah bisa kembali padanya.
Bahwa ia bukanlah tempat kembalinya seorang Dila Maulin Sucipto.
***
"Apa Fadli mengantarmu?"
"Yap."
Airu menghampiri Dila dan memberikannya sebuah pelukan hangat seperti biasa dan menyimpan color pallete yang menjadi tema musim ini. Pekerjaan Dila kali ini adalah memastikan warna yang Airu pilih cocok dengan kain yang tersedia. Juga ia akan membantu Airu untuk membuat prototipe pakaian yang minggu lalu Airu desain.
Tanpa menunggu waktu lama, ia mulai menyampirkan kain pada manekin dan menusukkan jarum untuk membiarkan kain itu diam di tempat. Airu sendiri sibuk untuk membaca keterangan yang ia tulis dalam selembar kertas.
"Warnanya tidak berbeda, kan?"
Airu mengangkat pandangannya dan diam untuk beberapa saat. Dila tak melanjutkan pekerjaannya dan hanya menatap Airu yang sedang fokus. Tak lama Airu memberikan tanda persetujuan dan Dila mulai membuat prototipe pakaian yang desainnya kini berada di tangannya.
"Kau tahu? Desain ini sesungguhnya aku buat untukmu."
"Oh ya? Kenapa?"
Airu mengendikkan bahunya dan mulai membantu Dila untuk menusukkan jarum di bagian belakang.
"Tidak tahu. Yang terpikirkan olehku saat membuat pakaian ini adalah gaya yang sering kau pakai. Jadi aku yakin ini akan cocok dan pas untukmu."
Dila mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum miring.
"Tapi apa Fadli malam ini sibuk?"
"Aku pikir ia hanya akan ke Universitas saja."
"Aku baru saja mengirimkan pesan untuk makan malam bersama tapi ia menolak."
Itu baru membuat Dila tertarik. Fadli tidak pernah mengatakan tidak pada Airu dan kini ia pun sedang tidak sibuk karena ia baru saja akan memulai penelitian. Ini tidak seperti Fadli yang ia kenal.
"Aneh bukan? Dan pesannya pun terasa berbeda."
"Apa jangan-jangan ia memiliki perempuan?"
Perkiraan Dila membuat Airu terlonjak dan tertawa seketika. Siapa yang tahu jika Fadli ternyata memiliki kekasih di Jepang? Ia hanya mengendikkan bahu dan ikut terkekeh.
"Yang benar saja. Tidak mungkin. Aku tahu apa saja yang ia lakukan di sini."
Dila memberikannya tatapan tajam penuh tuduhan.
"Maksudku Ayah yang melakukan itu. Aku tidak akan pernah membuntuti dia."
Itu baru lebih masuk akal.
"Yah, kalaupun ternyata ia memiliki kekasih, tentu saja itu berita bagus."
Tentunya berita bagus, ya?
Dila hanya tersenyum dan kembali bekerja. Ia tak memiliki waktu untuk berputar-putar di area itu. Ia harus kembali maju karena tanggung jawab lebih besar sudah menunggunya di depan mata.