Pemberhentian Terakhir [Publi...

By penacandramawa

293K 28K 3K

[BUKU PERTAMA DWILOGI RIHLAH CINTA | SUDAH DITERBITKAN, PEMESANAN LANGSUNG KE PENERBIT REX PUBLISHING] Bagi R... More

Buku Pertama - Pemberhentian Terakhir
Prolog
Bab 1 - Gerbong Kereta Nomor Delapan
Bab 2 - Mimpi Raelesha dan Permintaan Asma
Bab 3 - Pencarian Virtual
Bab 4 - Bus Kota dan Pertemuan Kedua
Bab 5 - Notifikasi yang Dinanti
Bab 6 - Bukan Makan Biasa
Bab 7 - Mengembalikan Pembatas Buku
Bab 8 - Oke
Bab 9 - Yang Sudah Allah Gariskan
CV | Raf
CV | Rae
Bab 10 - Pertemuan Pertama
Bab 11 - Akad
Bab 12 - 'Berbuka Puasa'
Bab 13 - Titik Awal Rihlah Cinta
Bab 14 - Mewujudkan 'Seperti'
Bab 15 - Keluh-Kesah di Yogyakarta
Bab 16 - Keinginan Asma
Bab 17 - Menjemput Impian
Bab 18 - Obat Sedih Raelesha
Bab 19 - Tentang Takdir yang Sudah Allah Tuliskan
Bab 20 - Tempat Ternyaman
Bab 21 - Pelesir Turki
Bab 22 - Makna Setia dan Peluang Mendua
Bab 23 - Kabar Kehadiran Al-Fatih Kedua
Bab 24 - Kebahagiaan Raelesha
Bab 25 - Berita Duka
Bab 26 - Kesalahan Terbesar Raf
Bab 27 - Tangis Raf dan Rae
Bab 28 - Semua Yang Tidak Baik-Baik Saja
Bab 30 - Jarak dan Luka Yang Terobati Pelan-Pelan
Bab 31 - Melepas Rindu
Bab 32 - Kecelakaan dan Pertemuan Tak Terduga
Bab 33 - Raf dan Lubna
Bab 34 - Perasaan Bersalah yang Tak Kenal Lelah
Bab 35 - Perdebatan dan Isak Tangis
Bab 36 - Menunaikan yang Pernah Diucapkan
Bab 37 - Mendefinisikan Setia
Bab 38 - Ketidakikhlasan Kita
Bab 39 - Mengulur Waktu, Memahat Luka Baru
Bab 40 - Berjuang, Bersama-sama
Bab 41 - Memaknai Ujian yang Allah Berikan
Bab 42 - Mari Kita Mengeluh
Bab 43 - Cara Bijaksana untuk Menorehkan Luka
Bab 44 - Membangun 'Rumah' Baru
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Epilog
Catatan
Tanya Jawab Pemain
Info Penerbitan (Vote Kover, Info PO, dll.)
Info Pre Order
Info Pre Order (2)
Buku Kedua - Persinggahan Sementara
Info Pre Order PT 2.0

Bab 29 - Menata Ulang Segalanya

3.7K 446 14
By penacandramawa

Usai memasukkan beberapa pakaian dan berkas-berkas penting ke dalam koper yang akan ia bawa ke Jerman besok sore, Raf meletakkan benda kotak berukuran sedang itu ke pojok kamar, tepat di sebelah rak besar berisi buku-buku milik Rae. Laki-laki itu menatap Rae yang sudah tertidur. Selepas makan dan shalat isya, Rae langsung masuk ke kamar dan tidur. Tidak biasanya Rae tidur secepat ini.

Sejak obrolannya dengan Rae kemarin, Raf yang kini banyak diam. Ia tidak pernah membicarakan apa-apa lagi kepada Rae. Baik tentang kepulangan ke Jerman, rencananya untuk mencari pengobatan atas masalah kehamilan Rae, atau bahkan sekedar mengobrol biasa dengan perempuan itu. Raf tidak lagi melakukannya. Mereka sama-sama tidak saling berkomunikasi. Rae juga terlihat menghindari Raf dengan berbagai cara. Mulai dari tidur lebih awal, bangun sebelum Raf pergi ke masjid, menyibukkan aktivitas di rumah seperti menyapu dan menyiram tanaman, atau sengaja menyendiri ke ruang shalat di rumahnya sampai tertidur di sana.

Raf bukannya tidak ingin memperbaiki masalah ini. Hanya saja, ia kehilangan cara membujuk Rae. Istrinya itu sangat sensitif. Raf takut jika kata-kata yang keluar dari mulutnya akan menyakiti hati Rae dan menimbulkan masalah baru. Oleh sebab itulah Raf memilih diam. Mencari cara bagaimana semua masalahnya dengan Rae dapat segera teratasi.

Raf menghampiri Rae yang sudah tertidur pulas. Ditatapnya wajah lelah Rae juga matanya yang masih sembab. Laki-laki itu menghela napas seraya menyelipkan rambut Rae ke belakang telinganya. "Maaf aku belum bisa jadi imam yang baik, Ra."

Setelahnya Raf bangkit dan keluar kamar. Raf berjalan keluar rumah. Niatnya, Raf ingin mengunjungi Naresh di tempat kosnya. Namun langkah Raf terhenti saat Tio yang sedang duduk di kursi beranda depan memanggilnya.

"Kemari, Nak." Tio memanggil Raf seraya menggerakkan tanga. Meminta Raf untuk duduk di sampingnya. Raf berjalan ke arah Tio dan segera duduk.

Orangtua Raf—Ima dan Tio—memang masih berada di Bandung. Mereka bilang, mereka juga ingin menemani menantunya di masa-masa sulit seperti ini. Selain itu, Ima berkata bahwa ia ingin membantu membereskan rumah ini, mengingat saat ini tidak ada perempuan yang tinggal di dalamnya.

"Kopi?" Tio menawarkan kopi itu kepada Raf sambil mengangkat gelasnya. Raf menggeleng. Tio meminum kopi itu beberapa teguk. "Ah, Bapak lupa kamu ndak suka kopi. Mengandung apa itu, Raf? Kafein? Yang katamu nggak sehat?"

Raf tersenyum kecil. "Nggak sehat kalau porsinya kebanyakan. Tapi kalau hanya sesekali ya tidak masalah, Pak," balas Raf. "Ibu mana, Pak?"

"Wis tidur," balas Tio. "Katanya Bandung dingin sekali. Makanya Ibumu itu nggak kuat nahan rasa ngantuknya."

Raf terkekeh pelan.

"Ayah di mana, Pak?" tanya Raf.

"Ini ayah ada di depanmu kok pakai ditanya?"

"Maksud Raf ayahnya Rae. Pak Yusuf."

"Oh, Pak Yusuf tadi bilang akan keluar karena ada keperluan. Bapak ndak tanya keperluan apa. Tapi sepertinya penting sekali karena tadi beliau terburu-buru."

Raf mengangguk tanpa banyak bicara. Laki-laki itu menyandarkan badannya di kursi. Ia menarik napas berat.

"Kamu jadi berangkat besok, Raf?" tanya Tio.

Raf hanya mengangguk.

"Rae bagaimana?" tanya Tio lagi.

Raf membuang napas kemudian menggeleng kecil. Dari percakapannya kemarin dengan Rae, Raf sudah dapat menarik kesimpulan bahwa Rae tidak ingin ikut ke Jerman. Dan Raf merasa bahwa keinginan sementara Rae untuk tinggal di rumah ini tidak hanya untuk jangka waktu yang pendek. Sepertinya, Rae benar-benar perlu menata hatinya kembali di sini.

"Raf bingung bagaimana harus bicara dengan Rae, Pak," keluh Raf. Selama ini dia selalu berusaha menyimpan masalahnya dengan Rae sendirian. Sekali pun Raf tidak pernah menceritakan apapun kepada orangtua Rae atau orangtuanya. "Raf nggak mau menekan Rae. Raf paham bagaimana sulitnya Rae menerima keadaannya yang sekarang. Raf ingin menanggung juga beban Rae, menenangkannya, dan meyakinkan Rae bahwa semuanya akan baik-baik saja kalau kita mau mencoba bersama-sama. Tapi, Rae berkata kalau Raf nggak paham apa yang dia rasakan dan Rae malah meminta waktu untuk sendiri."

Tio mengamati putranya itu sambil mengangguk-ngangguk kecil.

"Kadang, Raf seperti nggak mengenali sosok istri Raf sendiri, Pak," ujar Raf setengah putus asa.

"Di waktu-waktu tertentu, Bapak juga kadang-kadang nggak mengenal sosok ibumu, Raf," aku Tio. Raf langsung menatap ayahnya. Dilihatnya ekspresi wajah Tio yang juga seperti menanggung beban. "Ikatan pernikahan nggak menjamin kita benar-benar mengenal orang yang berada satu atap dengan kita, Raf. Butuh waktu yang cukup lama sampai kita mengenal pasangan kita seperti halnya kita mengenal diri kita sendiri."

Raf mengangguk setuju. Ia mulai berpikir bahwa mungkin ia memang belum mengenal Rae karena pernikahan mereka yang bahkan usianya belum genap dua tahun. Masih banyak sisi dari Rae yang belum ia ketahui seperti halnya sisi dari dirinya sendiri yang belum ia tunjukkan.

"Sejatinya, yang paham dengan perasaan kita hanyalah diri kita sendiri, Raf. Termasuk keluarga, sahabat, bahkan istri atau suami kita." Tio berkata dengan nada yang santun serta bijaksana. Raf selalu senang mendengar Tio yang jarang berbicara, namun mampu mengeluarkan kata-kata yang menenangkan saat suasana di sekitarnya sedang membutuhkan. "Orang lain hanya berempati. Keadaan di mana ia merasa atau mengindentifikasi dirinya dalam keadaan yang sama seperti orang yang dilihat atau dikenalnya. Tapi, apakah perasaannya benar-bentar sama? Tentu berbeda, Raf. Jika kamu melihat orang terkena api, tentu kamu merasa ngeri sekaligus merasa bahwa rasanya pasti panas dan akan mengakibatkan lepuhan yang menyakitkan. Tapi yang benar-benar panas dan terkena lepuhan itu adalah orang yang terkena api tadi. Kita hanya melihat, ikut merasakan, tapi nggak benar-benar paham bagaimana rasa yang sebenarnya."

Raf mengangguk. Ia paham apa maksud ucapan Tio.

"Itu juga yang terjadi dengan Rae. Rasa sakit yang istrimu rasakan karena kematian Ibunya, keguguran, serta pernyataan dokter bahwa ia tidak bisa hamil lagi tentu berbeda dengan rasa sakit yang kamu rasakan. Dalam hal ini, Rae yang lebih merasa sakit. Ditambah, ia adalah seorang perempuan. Tentu cara dia menyikapi permasalahan ini berbeda dengan kamu yang laki-laki."

"Raf harus gimana, Pak?"

"Komunikasi, Raf," jawab Tio. "Coba kamu komunikasikan lagi dengan Rae. Dengar apa yang dia inginkan. Utarakan juga apa yang kamu inginkan. Cari alternatif jalan atas permasalahan kalian berdua. Jangan pernah sepelekan komunikasi, Raf. Rumah tangga yang baik adalah yang dibangun oleh komunikasi yang baik."

Raf mengangguk pelan. Setidaknya, ia menjadi tahu apa yang harus ia lakukan.

Keesokan harinya selepas sarapan bersama, sama seperti hari-hari sebelumnya, Rae langsung masuk ke kamar. Raf berkali-kali menenangkan dirinya. Ia harus berbicara dengan Rae sekali lagi. Sejak semalam, Raf sudah memilih diksi yang akan ia pakai untuk berkomunikasi dengan Rae.

Baik. Dengarkan apa yang Rae inginkan kemudian utarakan apa yang aku inginkan. Setelah itu, kita sama-sama sepakat pada hal-hal yang sebenarnya kami butuhkan. Raf mengulang kalimat itu berkali-kali di dalam hati.

Menarik napas, Raf memasuki kamar. Raf terlihat sedang membereskan pakaian di lemari. Ketika ia melihat Raf masuk, Rae hanya menoleh sejenak kemudian melanjutkan aktivitasnya.

Raf menghampiri istrinya. "Mau aku bantu?" tanya Raf lembut.

"Nggak usah, Mas," jawabnya pelan.

Raf mengangguk kemudian duduk di tepi kasur. Ia tidak ingin memaksa. Mungkin Rae juga masih sulit berkomunikasi dengannya. Lima menit, Raf hanya melihat punggung Rae. Perempuan itu masih memasukkan baju-baju ke dalam lemari.

Setelah selesai, Rae berjalan ke arah rak buku tanpa melirik Raf.

Laki-laki itu menghela napas. "Ra," panggilnya pelan. "Kita harus bicara."

Gerakan tangan Rae terhenti. "Soal apa? Jerman?" tanya perempuan itu tanpa berbalik.

"Bisa kamu duduk dulu?"

Rae terdiam beberapa saat kemudian membalikkan badan. Ia berjalan dan duduk di samping Raf.

"Kalau ini tentang Jerman, jawabanku masih—"

"Bukan, Ra." Raf memotong kalimat Rae. "Ini tentang kita."

Raf mengambil jemari Rae kemudian menggenggamnya dengan lembut. "Aku mau dengar apa yang kamu inginkan," ujar Raf.

Rae terdiam. Matanya memandang Raf dengan sorot terluka. Beberapa detik setelahnya, mata perempuan itu berkaca.

"Hei, Ra? Kenapa kamu malah menangis?"

Rae mengusap air mata yang menetes di pipinya. Perempuan itu menggeleng lemah. "Keinginanku setelah menikah sama kamu cuma satu, Mas. Punya keturunan yang akan menjadi generasi penakluk. Dan sekarang aku tahu bahwa aku nggak pernah bisa. Aku sudah nggak punya keinginan apa-apa lagi, Mas."

Raf mengeratkan genggamannya. "Ra, dengar. Aku udah sering bilang sama kamu kalau nggak masalah buat aku. Kita—"

"Tapi itu masalah buat aku, Mas!" potong Rae. Nadanya meninggi dan Raf tahu bahwa pembicaraan ini tidak akan sesuai dengan ekspektasinya. "Dan sebenarnya ini juga masalah buat kamu. Masalah buat kita. Ingat apa visi pernikahan kita? Punya keturunan yang bisa menjadi generasi penakluk. Dan karena kondisi aku yang sekarang, visi itu nggak akan pernah berhasil! Jangan pernah bilang kalau ini sama sekali bukan masalah besar karena dari mata kamu, aku tahu kamu sangat kecewa dengan kondisiku yang sekarang!"

Raf menghela napas berat. "Aku kecewa? Iya, itu benar. Aku akui! Tapi aku nggak pernah sedikitpun menyalahkan kamu dan kondisi kita yang sekarang. Aku belajar ikhlas, Ra. Aku selalu berusaha berprasangka baik. Masih banyak jalan keluar lain soal masalah ini. Bukankah kamu sering membaca surat Maryam di masa kehamilan kamu sebelumnya? Harusnya kamu selami juga makna di dalamnya. Betapa ada kisah hebat Nabi Zakariya di sana. Saat kondisinya yang sudah tua, beruban, lemah, ditambah lagi istrinya yang mandul, ia nggak pernah kecewa dalam berdoa dan selalu percaya bahwa Allah akan memberinya keturunan. Dan apa yang Allah berikan? Allah karuniakan Nabi Yahya menjadi putranya. Semuanya akan lebih indah kalau kita pandai bersyukur...."

Rae menunduk. "Tapi aku belum bisa sesabar itu, Mas."

"Aku juga belum bisa," ujar Raf dengan tenang. "Maka dari itu aku butuh kamu. Kita saling belajar menerima."

Rae menatap Raf. Ia tahu Raf sudah lelah dengan keadaan mereka yang sekarang. Baru kali ini juga Rae melihat Raf tanpa senyuman.

"Tolong, Ra. Ikut aku ke Jerman."

Mendengar itu, Rae menggeleng.

"Kenapa? Karena Ibu? Karena—"

"Karena Jerman bukan rumahku, Mas! Dan aku menjadi orang asing di sana!" balas Rae dengan suara parau. Ada rasa sesak yang tiba-tiba hadir dalam hati perempuan itu. "Orang-orang di Jerman punya stigmatisasi yang sangat kejam kepada perempuan bercadar seperti aku! Aku sering dicibir, diperlakukan tidak adil saat bebelanja, dituduh teroris, satu dua kali petugas keamanan mengusirku secara kasar! Kadang-kadang aku sampai menetap seharian di kamar hanya karena aku nggak mau bertemu dengan orang-orang. Aku nggak mau balik ke sana, Mas...."

Raf tergagu. Ia baru mengetahui hal ini. "Kapan kamu diperlakukan begitu? Kenapa aku nggak tahu apa-apa soal ini?"

"Gimana Mas tahu keadaanku kalau Mas sehari-hari sibuk di kampus dan perusahaan?"

Raf merasa ditampar. Ingatannya kembali pada masa-masa ketika ia di Jerman bersama Raf. Ia baru sadar bahwa ia memang sesibuk itu hingga jarang sekali meluangkan waktu untuk Rae. Entah sudah berapa kali istrinya itu mungkin merasa terluka di sana. Dan Raf tidak pernah menanyakan apa-apa. Raf melepaskan genggaman tangan Rae. Laki-laki itu membawa kedua telapak tangannya mengusap wajahnya dengan gusar.

Raf bangkit dari posisi duduknya, lantas keluar tanpa mengucapkan kata-kata. Untuk kesekian kalinya, Raf merasa gagal menjadi seorang imam. Perasaan itu semakin terasa saat Raf akan meninggalkan Rae dalam jangka waktu yang cukup lama—empat bulan.

"Hati-hati, Nak. Kabari kami kalau kamu sudah sampai di Jerman." Ima berpesan kepada Raf setelah Raf berpamatin dan memeluk orangtuanya secara bergantian.

Mendengar pesan Ima, Raf hanya mengangguk. Setelah itu ia mencium punggung tangan Yusuf. "Raf tahu nggak pantas kalau Raf mengatakan ini, tapi ... tolong jaga Rae, Yah," ujar Raf lirih.

Yusuf menepuk pundak Raf sambil mengangguk. Memberi semangat kepada menantunya. Setelah itu Raf menatap Rae. Masih jelas dalam benaknya percakapan dengan Rae pagi tadi. Raf maju satu langkah. Laki-laki itu langsung memeluk Rae. Dieratkannya pelukan itu seolah itu adalah pelukan terakhir bagi mereka.

"Aku minta ma—"

"Jangan minta maaf, Mas," potong Rae. "Kamu nggak salah."

Raf mengangguk pelan. Ia menatap wajah Rae. Beberapa detik setelahnya, Raf mencium kening Rae. Laki-laki itu menutup matanya seraya menahan tangis yang mulai pecah. Raf melepaskan pelukannya. "Hubungi aku kapanpun kamu siap ke Jerman," katanya lembut. "Insya Allah, empat bulan lagi aku pulang."

Rae mengangguk.

"Maaf nggak bisa menemani," lirih perempuan itu.

Raf menggeleng. "Kamu selalu di sini," kata Raf sambil meletakkan telunjuk pada dadanya. "Ana uhibbuki, Ra."

Rae hanya membalas dengan satu senyum getir dengan gerak bibir yang bisa Raf tangkap. Ana uhibbuka. Itulah balasan Rae yang meski tanpa suara, sangat terdengar jelas bagi Raf. Raf menyeret kopernya pergi. Laki-laki itu tidak menoleh lagi. Bukan karena tidak ingin melihat wajah istrinya. Namun, lebih karena ia tidak ingin Rae melihat air matanya.

Semoga empat bulan waktu yang cukup untuk menyembuhkan hati kamu, Ra.

Continue Reading