Bab 6 - Bukan Makan Biasa

5.8K 679 20
                                    

Raf tidak pernah menyangka bahwa hari pertamanya di Yogyakarta dihabiskan untuk menyambut kedatangan keluarga Ayu untuk makan siang bersama di rumahnya. Semalam, Raf tiba di Yogyakarta pukul sebelas. Ia tidak banyak mengobrol dengan Ima. Ia juga tidak tahu bahwa Ima masih merencakan pertemuan keluarga mereka saat Raf tiba di Yogyakarta. Namun, pagi tadi Ima sudah memintta Raf untuk bersiap-siap dan membantunya memasak di dapur. Ima berkata bahwa keluarga Ayu akan datang. Raf tidak diberikan kesempatan untuk mengelak. "Demi sopan santun, Raf. Ibu sudah terlanjur mengundang keluarga Ayu ke rumah kita. Lagipula, ini akan jadi acara makan-makan biasa."

Kenyataannya ini bukan acara makan-makan biasa. Sejak duduk di kursi makan lima belas menit yang lalu, Raf sudah tahu akan ke mana pembicaraan kedua keluarga ini akan berlanjut.

"Wisudamu kapan, Raf?" tanya Galih—ayah dari Ayu.

"Kalau semuanya lancar dan tidak ada hambatan, insya Allah Oktober tahun ini, Pak."

Galih mengangguk kecil. "Bapak dengar kamu tahun lalu ikut lomba di Jepang dan menang? Bawa mendali emas?"

"Alhamdulillah, Pak."

"Ini menantu idaman, Pak," timpal Puri—ibu Ayu—sambil memandang Raf. Ayu ikutan tersenyum dan pipinya yang merona terlihat jelas. "Jadi kapan kamu mau menikah dengan Ayu?" tembak Puri yang membuat Raf hampir tersedak.

Raf meneguk air minumnya. Laki-laki itu menghela napas. Mau tidak mau ia harus menjelaskannya secara langsung kepada keluarga Ayu. Raf tidak tahu apa yang sudah direncakan oleh kedua orangtua yang saat ini satu meja dengannya, tapi Raf harus memberitahu keluarga Ayu bahwa ia tidak bisa menjanjikan apa-apa.

"Raf—"

"Biar Raf yang menjelaskan, Bu," potong Raf. Ima terdiam. Keluarga Ayu juga ikut memperhatikan. "Raf tidak bisa menikahi Ayu."

Satu kalimat tanpa basa-basi itu membuat Puri, Galih, dan Ayu terdiam. Ketiganya merasa kaget dan bingung. Bagaimana bisa? Bukankah kedua keluarga itu telah merencanakan pernikahan putra putri mereka?

"Raf sudah punya calon istri yang akan Raf kenalkan kepada Ibu dan Bapak bulan ini," kata Raf penuh percaya diri. "Kalau waktunya sudah tepat, Raf akan mengajak Bapak dan Ibu ke Bandung untuk bertemu calon istri Raf dan keluarganya."

Ima menatap Raf kaget. Bagaimana bisa? Secepat itu? Siapa? Kurang lebih itulah yang ada di benak Ima saat Raf mengatakan bahwa dia telah memiliki calon istri.

"Kenapa Bu Ima tidak berkata kepada saya bahwa Raf sudah memiliki calon istri?" Galih bertanya dengan suara parau.

"Ibu memang tidak tahu, Pak Galih," balas Raf pelan. Bagaimana pun, ia tidak akan mempermalukan ibunya sendiri. "Raf memang belum memberi tahu Ibu karena waktunya belum tepat. Maka dari itu Raf berkata sekarang. Di hadapan Bu Puri Pak Galih, dan juga Ayu. Raf tidak ingin ada kesalahpahaman."

Suasana di ruang makan lengang beberapa saat. Semua orang kehabisan kata-kata.

"Kenapa Mas Raf tidak ingin menikah dengan Ayu?" tanya Ayu yang sejak tadi diam dan memperhatikan. Satu pertanyaan itu membuat Raf berpikir keras. Otaknya langsung merangkai kata-kata jujur terbaik yang tidak menyinggung perasaan Ayu.

"Karena Ayu tidak cukup shalihah?" Ayu bertanya lagi. Suaranya lirih. Raf bisa bahu perempuan itu sedikit bergetar. "Ayu bisa berubah, Mas Raf. Lagipula, Mas Raf bisa menuntun Ayu. Bukankah itu tugas seorang imam keluarga?"

Raf menggeleng tegas. "Rumah tangga bukan sebuah ruang kelas, Yu. Tidak ada yang mengajar dan diajari. Tidak ada yang menjadi guru dan murid. Tidak ada yang banyak tahu dan sama sekali tidak tahu. Bukan. Memang benar bahwa seorang imam keluarga bertugas menuntun makmumnya. Tapi menuntun berbeda dengan menginput," kata Raf pelan. Dia sangat berhati-hati dalam memilih diksi yang diucapkannya. "Kalau saya terus mengajari kamu, maka rumah tangga kita nantinya akan dihabiskan dengan hal itu. Tidak ada yang berkembang. Tidak ada yang hebat. Saya mencari perempuan yang sudah siap dan matang spiritual, emosional, dan intelegensinya. Sehingga ketika nanti kami bersama, tugas kami berdua hanya saling melengkapi dan mengoreksi. Sama-sama berjalan beriringan untuk membangun rumah tangga yang orang-orang sebut sakinah, mawaddah, dan warrahmah."

Lengang beberapa detik. Lalu suara deringan ponsel Raf membuat fokus laki-laki itu berpindah. "Dari dosen Raf," kata Raf. "Raf izin angkat teleponnya dulu."

Ima dan Tio mengangguk. Sementara itu, Raf berjalan ke ruang tamu dan mengangkat panggilan telepon. Selang dua menit, Raf kembali ke meja makan. Keluarga Ayu sudah berdiri, bersiap-siap pulang.

"Kami pulang duluan, Nak Rafaz." Galih berkata sambil menampilkan senyumnya. "Terima kasih atas jamuannya."

Kedua orangtua Raf hanya tersenyum kikuk. Raf sempat melihat wajah murung Ayu dan mata berkacanya yang tidak bisa disembunyikan.

"Semoga lancar sampai hari H, Mas." Ayu berkata pelan dengan suara bergetar. Raf hanya mengangguk kecil sambil tersenyum tipis. Keluarga Ayu bersalaman singkat dengan orangtua Raf kemudian segera keluar dari rumah.

"Ibu nggak pernah tahu kalau kamu punya calon istri," kata Ima dengan nada yang terdengar kecewa. "Siapa?"

Raf terdiam sesaat. "Akan Raf kenalkan ketika Ibu dan Bapak di Bandung," balasnya singkat. "Raf akan pulang siang ini juga, Bu. Dosen pembimbing Raf meminta bertemu Raf untuk mendiskusikan skripsi Raf yang akan dikembangkan."

Ima menghela napas kemudian melangkah menuju kemarnya.

"Bu," panggil Raf pelan. Ima menoleh. "Raf minta maaf.... Tapi kan Ibu sendiri yang memberi Raf waktu sebulan untuk mencari calon istri. Raf sudah menemukannya, Bu. Insya Allah, besok Raf akan menemui calon istri Raf. Setelah itu akan Raf kenalkan ke Ibu dan Bapak."

"Terserah kamu, Raf. Rasanya sekarang kamu sudah nggak bisa lagi menuruti keinginan Ibu."

Ima melanjutkan langkahnya lagi menuju kamar. Melihat itu, Raf langsung menghampiri Ima, berdiri tepat di hadapannya. "Bu....," Raf memanggil pelan ibunya. Ima menatap Raf tanpa berkata apa-apa. "Maaf kalau Raf mengecewakan Ibu, tapi Raf benar-benar nggak bisa mengikuti keinginan Ibu untuk menikah sama Ayu."

Tio menghampiri istri dan anaknya. Lelaki paruh baya itu menggenggam tangan Ima. "Anak kita sudah besar, Bu. Sudah dewasa. Selama ini, Raf tidak pernah salah dalam mengambil sebuah keputusan besar. Biarkan Raf memilih calon istrinya sendiri. Tugas kita sebagai orangtua hanya mendoakan kebahagiaan anak kita."

Ima kembali melirik Raf. "Pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua orang, tapi menyatukan dua keluarga. Sebelum mengenalkan calon istrimu ke Ibu, kamu juga harus tahu kriteria menantu Ibu," ujar Ima. Suaranya lembut namun terdengar tegas. "Jangan cari istri yang aneh-aneh ya, Raf. Yang biasa-biasa saja. Ibu nggak mau kamu jadi buah bibir tetangga dan masyarakat di sini."

Meskipun berat, Raf pada akhirnya mengangguk. Masih ada waktu untuk meluluhkan hati Ibu.

Catatan Cand:

Kalau mau nolak tuh yang gentle gitu, kayak Raf.

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now