Bab 9 - Yang Sudah Allah Gariskan

1.1K 133 3
                                    

Baru kali Raf gugup ketika akan berhadapan dengan seseorang. Sejak selesai salat zuhur di masjid kampusnya, Raf sudah mencoba berbagai cara agar gemuruh di hatinya mereda. Ia melantunkan zikir berkali-kali, melakukan salat sunah rawatib, membaca beberapa ayat Alquran, tapi hatinya masih dilanda kegugupan.

Kegugupan itu bertambah saat Yusuf berjalan menghampirinya dengan seulas senyum. Raf membalas dengan anggukan kecil seraya berdiri. Laki-laki itu menjabat tangan Yusuf untuk mengutarakan rasa hormatnya.

"Sudah lama menunggu, Raf?" tanya Yusuf.

Raf menggeleng.

Yusuf mengangguk. "Kamu ada kegiatan lagi setelah ini?"

"Saya mau bimbingan skiripsi pukul dua, Pak. Setelah itu ke perpustakaan untuk mencari buku yang diperlukan."

"Oh, iya. Kamu sedang menyusun skripsi, ya? Pasti sedang sibuk-sibuknya. Kalau begitu saya langsung ke inti pembicaraan saja ya, Raf," kata Pak Yusuf. "Kamu juga pasti sudah tahu apa yang akan saya bicarakan. Saya sudah memberi tahu kamu melalui WhatsApp tadi malam, kan?"

Raf mengangguk. Tadi malam, Yusuf tiba-tiba mengirimkan pesan singkat yang membuat Raf terkejut seketika. Pesan singkat itu hanya terdiri atas beberapa kalimat pendek—dibuka dengan salam dan langsung dilanjutkan dengan infomasi dari Yusuf bahwa Rae ingin melakukan ta'aruf dengan Raf. Setelah menerima pesan tersebut, fokus Raf terpecah. Ia bahkan tidak bisa melanjutkan skripsinya. Hal yang ia lakukan adalah langsung menghubungi Aji dan meminta saran murabbi-nya itu. Di ujung telepon, Aji hanya tertawa. Ia mengatakan bahwa mungkin jodoh yang sudah Allah gariskan untuk Raf adalah perempuan yang Raf ceritakan. Raf dan Aji sepakat untuk menghentikan proses ta'aruf yang baru saja hendak Raf lakukan bersama kenalan dari istri Aji.

"Ini CV Rae." Yusuf memberikan sebuah map cokelat berisi currciculum vitae ta'aruf milik Rae. "Kamu bisa membaca CV Rae terlebih dahulu sebelum melakukan pertemuan."

Raf mengambil map coklat itu dengan tangan yang sedikit bergetar.

"Kamu bawa CV milikmu, Raf?" tanya Yusuf.

Raf mengangguk. Ia sudah mengambil CV itu dari Aji tadi pagi. Raf mengeluarkan CV miliknya dari tasnya, kemudian langsung memberikannya kepada Yusuf. "Ini, Pak Yusuf."

Yusuf menerima map berwarna coklat milik Raf dan tersenyum. "Kalau begitu sepertinya sudah cukup. Saya harus mengajar pukul satu dan kamu juga harus bimbingan skripsi."

"Oh ... iya, Pak," balas Raf singkat. Sebelum Yusuf sempat berdiri, Raf mengajukan pertanyaan yang menganggunya sejak semalam. "Sebelumnya maaf, Pak Yusuf, ada yang ingin saya tanyakan."

"Apa?"

"Ini ... betul-betul keinginan Rae?" tanya Raf, "maksud saya, terakhir kali bertemu di wisuda Rae bulan lalu, Rae terlihat tidak ingin melakukan ta'aruf dengan saya...."

Yusuf tertawa. "Itu kan bulan lalu, bukan sekarang. Lagipula, Allah itu kan mampu membolak-balikkan hati seorang hamba. Kamu percaya itu, kan?"

Raf mengangguk. "Tapi ... saya masih kuliah. Maksudnya, saya belum lulus. Tapi, insya Allah saya akan lulus tepat waktu di tahun ini, Pak. Jadi, apa ... apakah tidak masalah?"

"Yang mau menikahi Rae itu kan kamu, Raf, bukan saya," balas Yusuf sambil terkekeh pelan, "ya kamu tanyakan hal itu kepada Rae, jangan ke saya."

Raf memaksakan tawa. "Oh iya, Pak, maaf."

"Kamu bisa menanyakan hal itu di pertemuan kamu dengan Rae. Tempatnya di rumah saya saja bagaimana? Supaya kamu juga bisa bertemu istri saya."

"I-iya, Pak. Siap."

Pemberhentian Terakhir [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang