Bab 29 - Menata Ulang Segalanya

3.7K 446 14
                                    

Usai memasukkan beberapa pakaian dan berkas-berkas penting ke dalam koper yang akan ia bawa ke Jerman besok sore, Raf meletakkan benda kotak berukuran sedang itu ke pojok kamar, tepat di sebelah rak besar berisi buku-buku milik Rae. Laki-laki itu menatap Rae yang sudah tertidur. Selepas makan dan shalat isya, Rae langsung masuk ke kamar dan tidur. Tidak biasanya Rae tidur secepat ini.

Sejak obrolannya dengan Rae kemarin, Raf yang kini banyak diam. Ia tidak pernah membicarakan apa-apa lagi kepada Rae. Baik tentang kepulangan ke Jerman, rencananya untuk mencari pengobatan atas masalah kehamilan Rae, atau bahkan sekedar mengobrol biasa dengan perempuan itu. Raf tidak lagi melakukannya. Mereka sama-sama tidak saling berkomunikasi. Rae juga terlihat menghindari Raf dengan berbagai cara. Mulai dari tidur lebih awal, bangun sebelum Raf pergi ke masjid, menyibukkan aktivitas di rumah seperti menyapu dan menyiram tanaman, atau sengaja menyendiri ke ruang shalat di rumahnya sampai tertidur di sana.

Raf bukannya tidak ingin memperbaiki masalah ini. Hanya saja, ia kehilangan cara membujuk Rae. Istrinya itu sangat sensitif. Raf takut jika kata-kata yang keluar dari mulutnya akan menyakiti hati Rae dan menimbulkan masalah baru. Oleh sebab itulah Raf memilih diam. Mencari cara bagaimana semua masalahnya dengan Rae dapat segera teratasi.

Raf menghampiri Rae yang sudah tertidur pulas. Ditatapnya wajah lelah Rae juga matanya yang masih sembab. Laki-laki itu menghela napas seraya menyelipkan rambut Rae ke belakang telinganya. "Maaf aku belum bisa jadi imam yang baik, Ra."

Setelahnya Raf bangkit dan keluar kamar. Raf berjalan keluar rumah. Niatnya, Raf ingin mengunjungi Naresh di tempat kosnya. Namun langkah Raf terhenti saat Tio yang sedang duduk di kursi beranda depan memanggilnya.

"Kemari, Nak." Tio memanggil Raf seraya menggerakkan tanga. Meminta Raf untuk duduk di sampingnya. Raf berjalan ke arah Tio dan segera duduk.

Orangtua Raf—Ima dan Tio—memang masih berada di Bandung. Mereka bilang, mereka juga ingin menemani menantunya di masa-masa sulit seperti ini. Selain itu, Ima berkata bahwa ia ingin membantu membereskan rumah ini, mengingat saat ini tidak ada perempuan yang tinggal di dalamnya.

"Kopi?" Tio menawarkan kopi itu kepada Raf sambil mengangkat gelasnya. Raf menggeleng. Tio meminum kopi itu beberapa teguk. "Ah, Bapak lupa kamu ndak suka kopi. Mengandung apa itu, Raf? Kafein? Yang katamu nggak sehat?"

Raf tersenyum kecil. "Nggak sehat kalau porsinya kebanyakan. Tapi kalau hanya sesekali ya tidak masalah, Pak," balas Raf. "Ibu mana, Pak?"

"Wis tidur," balas Tio. "Katanya Bandung dingin sekali. Makanya Ibumu itu nggak kuat nahan rasa ngantuknya."

Raf terkekeh pelan.

"Ayah di mana, Pak?" tanya Raf.

"Ini ayah ada di depanmu kok pakai ditanya?"

"Maksud Raf ayahnya Rae. Pak Yusuf."

"Oh, Pak Yusuf tadi bilang akan keluar karena ada keperluan. Bapak ndak tanya keperluan apa. Tapi sepertinya penting sekali karena tadi beliau terburu-buru."

Raf mengangguk tanpa banyak bicara. Laki-laki itu menyandarkan badannya di kursi. Ia menarik napas berat.

"Kamu jadi berangkat besok, Raf?" tanya Tio.

Raf hanya mengangguk.

"Rae bagaimana?" tanya Tio lagi.

Raf membuang napas kemudian menggeleng kecil. Dari percakapannya kemarin dengan Rae, Raf sudah dapat menarik kesimpulan bahwa Rae tidak ingin ikut ke Jerman. Dan Raf merasa bahwa keinginan sementara Rae untuk tinggal di rumah ini tidak hanya untuk jangka waktu yang pendek. Sepertinya, Rae benar-benar perlu menata hatinya kembali di sini.

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now