Bab 12 - 'Berbuka Puasa'

6.6K 664 81
                                    

Setelah selesai melaksanakan ijab qabul, Rae dan Raf menuju lokasi gedung resepsi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat masjid tempat dilangsungkannya akad. Mereka tiba di sana pukul setengah sepuluh pagi. Di depan gedung, registrasi tamu laki-laki dan perempuan sudah dipisah. Terdapat pajangan bertuliskan hadits Rasulullah tentang haramnya menyentuh perempuan yang bukan mahram. Sebelum memasuki gedung, Raf melirik Rae sekali lagi. Laki-laki itu menggenggam jemari istrinya. "Nggak apa-apa sementara terpisah dulu ya, Ra. Semuanya demi pelaksanaan hukum syara."

Rae mengangguk, lantas mencium punggung tangan Raf sebelum memasuki gedung bagian tamu perempuan. Rae didampingi oleh Asma dan kerabat perempuannya yang lainnya. Di sana juga ada Kalea yang sejak tadi sibuk memposting prosesi pernikahan Rae dan Raf. Bersamaan dengan masuknya Rae ke dalam gedung, Raf juga melakukan hal yang sama.

Gedung pernikahan didekorasi sederhana, namun terkesan mewah. Tersedia tempat prasmanan, beberapa makanan dan minuman, dan kursi yang sangat banyak. Jika biasanya seorang pengantin laki-laki dan perempuan bersanding bersama, di pernikahan syar'i yang infiishal ini mereka harus berpisah sementara. Rae duduk di kursi pelaminan. Begitu pula Raf. Mereka terpisah hijab yang tinggi. Samar-samar, Rae mendengar suara Raf berbicara kepada beberapa orang. Perempuan itu tersenyum. Sampai detik ini ia masih merasa semuanya adalah mimpi. Hingga suara lembut Raf membuyarkan pikirannya.

"Ra?"

"Iya? Kenapa?"

Tidak ada jawaban.

"Kenapa?" Rae bertanya sekali lagi.

"Terima kasih sudah melengkapi separuh agamaku," bisik Raf sebelum ia melajutkan dengan kalimat, "anna uhibbuki fillah, Ra."

Rae tersenyum dan bersamaan dengan itu ia merasa pipinya menghangat. "Ahabbakalladzi ahbabtini laha, Mas Raf."

Setelah itu tidak ada balasan lagi, tapi Rae yakin bahwa di balik hijab, Raf tengah tersenyum lebar-merasakan gemuruh yang sama dengan yang dirasakannya.

Mulai pukul sepuluh, para tamu undangan mulai berdatangan. Mereka memberikan doa kepada Rae dan Raf, melakukan foto, serta menikmati kudapan yang ada. Tepat pukul satu, Raf dan Rae meninggalkan pelaminan dan segera berjalan keluar gedung. Tatapan keduanya kembali bertemu. Raf tersenyum, memberikan tangannya untuk menggandeng Rae. Perempuan itu menyambut hangat genggaman tangan Raf dan segera memasuki mobil menuju rumah Rae.

Sepanjang perjalanan, mereka berdua tidak banyak bicara. Mereka banyak berdialog lewat tatapan yang dilontarkan satu sama lain. Tiga puluh menit berkendara, mereka sampai di kediaman rumah Rae. Keduanya lantas memasuki kamar, mengganti pakaian, kemudian mengambil wudhu untuk melaksakan salat zuhur.

Di ruang salat keluarga Rae, Yusuf yang meminta Raf menjadi imam salat zuhur. Laki-laki itu mengangguk dan segera memimpin salat. Seusai salat zuhur, Yusuf memberi waktu bagi Raf dan Rae untuk bersama.

"Pak Tio dan Bu Ima bisa beristirahat di kamar tamu," kata Yusuf ramah. Ima dan Tio mengangguk dan segera memasuki kamar untuk beristirahat di sana. Sementara itu, Raf dan Rae juga kembali ke kamar Rae.

Kamar Rae tidak disulap sebagaimana kamar pengantin baru pada umumnya. Semuanya tampak normal dan biasa. Nuansa kamar itu didominasi oleh warna putih dan sedikit sentuhan warna abu-abu. Ada tempat tidur dengan sprai dan selimut putih, lemari pakaian, meja belajar, serta rak buku pribadi. Di atas nakas, terdapat setangkai mawar merah yang diletakkan dalam vas berisi air. Raf berjalan ke arah bunga tersebut, mengambilnya, lantas melirik Rae.

"Kamu suka bunga, Ra?"

Rae menggumam. "Nggak terlalu."

"Terus kenapa di sini ada bunga?"

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now