Bab 21 - Pelesir Turki

5.8K 536 53
                                    

Rae tidak pernah membayangkan bahwa dua puluh lima hari itu berangsur cepat. Untuk ukuran seseorang yang tidak pernah melakukan perjalanan jauh dan menetap berhari-hari di negeri orang, biasanya detik akan terasa melambat karena perasaan bosan. Tapi justru, perjalanan Raf dan Rae di Turki hanya terasa sejekap saja. Mungkin karena padatnya rencana perjalanan mereka, atau mungkin karena keduanya merasa bahagia.

Ketika seseorang bahagia, waktu terasa relatif lebih cepat, bukan?

Senyum Rae mengembang. Perempuan itu tengah menatap Raf yang sedang tertidur pulas. Rae melihat sisa-sisa garis kebahagiaan yang terukir jelas di wajah Raf. Ini hari terakhir mereka berada di Turki sebelum besok keduanya harus pergi ke bandara dan terbang ke Jerman. Raf akan memulai kuliah magisternya dua pekan lagi dan karena ada hal administrasi yang harus diurus, maka Raf harus ada di Jerman mulai pekan depan.

Ketika Rae mengingat bahwa ia akan tinggal di Jerman bersama Raf selama kurang lebih dua tahun, Rae tiba-tiba saja menganggap hal itu sangat menyenangkan. Rae sudah mulai merencanakan apa saja yang akan ia lakukan selama di Jerman. Bahkan Rae yang tidak pernah peduli dengan letak geografis sebuah kota di negera lain—selain Indonesia, khususnya Bandung—beberapa hari yang lalu mulai membuka gawainya dan mengecek beberapa tempat wisata di Jerman yang bisa ia kunjungi. Rae juga sudah memutuskan bahwa ia akan mengikuti les bahasa Jerman sesuai saran Raf.

Rae mengusap pelan pipi kanan Raf. Sentuhan itu membuat Raf melenguh perlahan. Buru-buru Rae mengusap pelan kepala Raf dengan gerakan dulu sering ibu dan ayahnya lakukan ketika Rae masih kecil agar ia kembali terlelap. Akan tetapi, bukannya terlelap, Raf malah membuka perlahan matanya. Laki-laki itu langsung menghadapkan badannya ke arah Rae, memandang manik mata istrinya lekat-lekat.

"Maaf, aku bikin Mas bangun."

Raf tersenyum sambil menggeleng kecil. Memberi pesan kepada Rae bahwa hal tersebut sama sekali bukan masalah yang besar. Laki-laki itu menyelipkan rambut Rae ke belakang telinganya. Telapak tangan Raf menyentuh lembut pipi kiri Rae. Raf tersenyum. Rasanya sudah lama sekali ia jarang berpandangan dengan istrinya seintim ini. Kesibukannya di Yogyakarta menyita waktu Raf bersama Rae. Pagi hari Raf sudah berangkat entah itu kursus bahasa, menyelesaikan riset, atau menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Ketika pulang, Raf dan Rae hanya akan berbicara di sela-sela makan malamnya. Raf kembali menyelesaikan tugasnya dan biasanya ketika laki-laki itu ke kamar, Rae sudah lelap tertidur karena perempuan itu juga lelah setelah seharian mengajar dan mengurus platform Sekolah Kita yang didirikannya.

"Kamu kenapa belum tidur?" Raf bertanya lembut.

"Nggak tahu kenapa. Memang belum ngantuk aja, Mas," balas Rae. "Mas lanjutin aja tidurnya. Nanti aku juga tidur, kok."

Raf menggeleng kecil. "Aku jadi nggak kepengin tidur."

"Terus maunya apa?"

"Ngeliatin kamu aja," balas Raf sambil kembali memangkas jarak. "Sinian dong, Ra, jangan jauh-jauh. Kayak lagi musuhan aja."

Rae mendekat, meletakkan kepalanya di dada Raf.

"Dingin, Ra."

"Matiin AC-nya, ya?"

"Nggak usah sok nggak ngerti kode." Raf berdecak. Alih-alih mendekat, Rae malah memundurkan badannya ke belakang sambil tertawa pelan.

"Emang nggak ngerti," balas Rae sambil menjulurkan lidahnya.

"Kelamaan." Raf berdecak ringan kemudian langsung menarik badan mungil Rae ke pelukannya. "Nah, kalau gini kan dinginnya hilang."

Rae tersenyum. Dalam dekapan Raf, ia selalu merasa tidak perlu ke mana-mana lagi. Rasanya selalu sama; hangat dan nyaman. Seperti perasaan yang selalu Rae rasakan seperti ketika ayah dan ibu memeluknya. Hanya saja, ada getar yang beda dalam pelukan Raf. Itulah yang Rae yakini sebagai cinta.

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now