Bab 24 - Kebahagiaan Raelesha

3.6K 424 8
                                    

Rae kembali menampakkan wajah muramnya seperti saat Asma dilarikan ke rumah sakit delapan bulan yang lalu. Dua minggu sejak kepulangan mereka dari rumah sakit itu, Rae banyak melamun. Rae bahagia, tentu saja. Mana ada perempuan yang tidak bahagia ketika mengetahui bahwa ia hamil dan kelak akan menjadi seorang Ibu? Ditambah lagi, Rae dan Raf sudah menunggu cukup lama. Tapi, pernyataan Dokter Adelaide yang mengatakan bahwa ada kista ganas yang berpotensi pecah dalam rahimnya membuat Rae ketakutan setiap kali tangan lembutnya menyentuh perutnya yang baru ia sadari agak mengembung.

Sesering apapun Raf mengatakan Rae akan baik-baik saja selama mereka mendengarkan saran Dokter Adelaide, Rae tetap saja merasa ketakutan.

"Bayinya nggak akan kenapa-napa, Ra," ujar Raf sambil membelai lembut perut Rae dengan jemarinya.

Rae memandang Raf dengan sorot mata khawatirnya.

"Aku takut...."

Raf menarik napas pelan. Entah sudah berapa kali Rae mengatakan kata takut. Dari mulai perempuan itu mengatakan takut sambil menangis sampai tanpa air mata namun dengan nada yang lirih seperti sekarang ini. Setiap kali Rae mengatakan bahwa ia takut, Raf yang justru lebih takut.

Ketakutan Rae ini terlihat dari bagaimana ia hati-hati dalam melakukan aktivitas. Rae sangat pelan-pelan dalam berjalan, ia tidak mau lagi diajak lari pagi bersama Raf, bahkan Rae selalu mempertahankan posisi tidurnya telentang tanpa membawa badannya miring ke kanan atau ke kiri dengan alasan, "Takut kistanya pecah nanti kena dede bayinya gimana?"

Dan jika sudah seperti itu biasanya Raf hanya menghela napas pendek. Raf juga khawatir. Apalagi berdasarkan penjelasan Doker Adelaide, kista yang ada dalam rahim Rae adalah jenis kista yang dapat bertansformasi menjadi kanker ovarium jika tidak segera diangkat.

"Biar kamu nggak takut lagi, mending kita berdua-eh, maksudnya bertiga sama dede bayinya rihlah. Nggak usah-"

"Aku nggak mau ah, Mas," potong Rae. Rae melihat ekspresi Raf berubah. Perempuan itu tiba-tiba merasa bersalah. "Bukannya aku malas atau nggak mau nemenin kamu gitu. Tapi aku takut kenapa-napa. Nanti kalau aku banyak gerak terus kistanya pecah-"

"Oke, oke," potong Raf sambil terkekeh pelan. "Kamu semenjak punya kista, jadi khawatir banget sama kistanya. Aku merasa diduakan lho, Ra."

"Mas!"

"Bercanda, Ra," balas Raf. Ia menarik napas pendek. "Aku tahu kamu takut. Aku juga sama, Ra. Tapi jangan sampai membatasi aktivitas kamu juga. Dokter Adelaide bahkan menyarankan supaya kamu tetap olahraga. Percahnya kista nggak terjadi saat kamu loncat-loncat atau lari-lari. Nggak cuma kondisi fisik aja yang mempengaruhi. Tapi kondisi psikis juga. Kalau kamu selalu ngerasa takut dan tertekan, itu juga akan mempengaruhi kehamilan kamu."

Rae mengangguk. Ia mengelus pelan perutnya kemudian menggenggam jemari Raf yang ada di sana.

"Kamu nggak ngidam apa gitu, Ra?"

Rae terdiam kemudian menggeleng. Kalau diingat-ingat, ia tidak pernah mengidam makan atau minum sesuatu yang aneh sebagaimana yang biasa terjadi pada wanita yang hamil muda. Perempuan itu hanya mual dan muntah-muntah, bolak-balik ke kamar mandi, dan kehilangan nafsu makan.

"Oh, kamu mah ngidamnya aku ya?" tanya Raf sambil tersenyum.

"Apa sih, Mas. Kepedean!" balas Rae sambil menjulurkan lidahnya. Tapi setelah itu ia jadi kembali mengingat-ingat sifatnya yang berubah semenjak hamil. Rae selalu ingin ditemani Raf kemanapun dan dalam melakukan aktivitas apapun. Perempuan itu seperti magnet yang ingin selalu menempel kepada besi bernama Raf. Pernah satu kali saat ia lapar tengah malam ia membangunkan Raf hanya untuk ditemani makan dan menggamit lengan suaminya itu. Rae cuma berkata, "Jerman 'kan lagi musim dingin. Makanya aku maunya nempel-nempel Mas terus."

Dan Raf hanya membalas ucapan istrinya itu dengan tawa.

Raf kembali mengelus pelan perut Rae. "Ayah sama Ibu sudah tahu, 'kan?"

Rae mengangguk. "Tapi aku cuma ngabarin kalau aku hamil. Aku nggak bilang kalau ada kista juga. Takut Ibu kepikiran dan khawatir."

"Oke," balas Raf pelan. "Satu setengah bulan lagi kistanya diangkat. Nah, selama menunggu itu, kamu harus berpikiran positif dan makan makanan yang sehat. Oke?"

"Uang untuk operasinya ada?" tanya Rae lirih.

"Nggak udah pikirin itu, Ra. Kita kan punya tabungan untuk hal-hal seperti ini. Kalau kurang ... nanti aku akan cari cara. Itu tugasku. Yang penting kamu dan anak kita sehat."

Rae mengangguk. "Operasinya bakal lancar, 'kan?"

"Iya."

"Mas akan temenin aku, 'kan?"

"Iya," balas Raf sambil membelai rambut Rae.

"Kalau operasinya gagal gimana?" tanya Rae cemas. Belum sempat Raf menjawab Rae sudah kembali melanjutkan, "Maksudnya kan, selalu ada peluang gagalnya juga. Kalau operasinya gagal, kistanya pecah, dede bayinya kegugur-"

"Sssshhh..." Raf memotong ucapan Rae dengan mengunci bibir Rae dengan telunjuknya. "Kamu kalau sudah cemas, omongannya ke mana-mana. Jangan suka berandai-andai dan mikirin hal yang buruk. Itu bisa jadi sugesti untuk kamu sendiri. Nggak baik untuk kondisi psikis kamu. Yang perlu kamu tahu, apapun yang terjadi, aku akan selalu mendampingi kamu."

"Selalu?"

"Iya. Selalu."

Dan ucapan Raf sejauh ini terbukti. Selama hamil, Raf selalu menemani Rae ke mana saja. Raf selalu bisa memahami Rae dengan baik. Pernah di suatu pagi, Raf menangkap ada ekspresi sedih di wajah Rae saat berangkat ke perusahaan tempatnya bekerja untuk mempresentasikan penelitian tentang efisiensi bahan bakar pesawat yang sudah ia lakukan ketika di Indonesia. Jika presentasi itu berhasil dan disetujui, maka Raf akan diangkat sebagai pegawai tetap dan mendapatkan royalti. Raf bisa menjadi Habibie kedua.

"Hei? Kenapa cemberut?"

Rae menggeleng. Ia hanya ingin ditemani Raf. Belakangan ini perempuan itu jadi lebih manja.

"Pulangnya beliin kartoffelsalad ya?"

"Siap!" balas Raf sambil mengacungkan jempol. "Mau apa lagi?"

Rae menggeleng.

"Mau dicium dulu nggak?"

"Nggak ah! Belum mandi!" balas Rae sambil terkekeh.

"Eh, kepedean. Siapa yang mau cium kamu. Orang aku mau cium dede bayinya," balas Raf sambil tertawa pelan. Kemudian ia mencium perut Rae. "Abi berangkat dulu ya, Nak. Kamu baik-baik di dalam sini. Temenin Umi ya."

Raf kembali menatap Rae. "Kenapa? Kok masih cemberut gitu? Mau apa lagi?"

"Enggak kok. Ya udah, hati-hati ya," balas Rae sambil tersenyum. Raf balas tersenyum kemudian mencium kening istrinya. Laki-laki itu berjalan dan langkahnya segera terhenti saat Rae menggenggan jemarinya.

Raf memindai tatapan penuh harap Rae. Laki-laki itu menghela napas pendek. "Kamu ikut aku aja gimana?" tanya Raf. "Aku mau ditemenin kamu."

Rae tersenyum lebar. Cemberut di wajahnya menghilang. "Ya sudah kalau kamu maksa!"

Ini adalah satu kebahagiaan terbesar Rae, ketika ia memiki Raf yang selalu menemaninya dan mengerti apa keinginannya tanpa perlu banyak bicara.

Pemberhentian Terakhir [Published]Kde žijí příběhy. Začni objevovat