Bab 16 - Keinginan Asma

5.8K 606 21
                                    

Harapan Raf pupus.

Setelah tiba di Bandung, senyum Rae hilang seketika. Dari mana Raf tahu bahwa kini Rae kehilangan senyum cerianya? Mudah saja. Binar mata perempuan itu berubah sendu. Biasanya ketika Rae tersenyum, matanya ikut tersenyum juga. Namun kini, yang dipandang oleh Raf tidak lebih dari sekadar mata yang dingin dan penuh kesedihan.

"Ra." Suara serak Raf terdengar begitu menyebalkan di telinga Rae. Perempuan itu masih diam. Duduk termenung menatap nanar pintu dengan label operation room di hadapannya. Tepat hari ini, Asma dioperasi transplatasi ginjal dan Rae sama sekali tidak mengetahui hal tersebut.

Raf tidak berkata apapun selama berada di perjalanan.

"Ra—"

"Kenapa kamu nggak bilang apa-apa soal Ibu sih, Mas?" Rae memotong ucapan Raf. Nada bicaranya sedikit meninggi. Tatapan matanya menjadi lebih tajam. "Selama di perjalanan aku banyak tertawa, ngobrolin hal-hal aneh, sampai tidur pulas sementara Ibuku sedang dioperasi. Mas tahu semuanya dan nggak bilang apapun sama aku?"

Raf menghela napas pendek. Ia tahu saat ini bukanlah waktu yang tepat baginya untuk menjelaskan apapun kepada Rae. Ia mengenal karakter istrinya. Ia tahu bahwa saat Rae sedang emosi, menjelaskan apapun tidak akan segera menyelesaikan masalah.

"Kenapa juga Mas harus bohong sama aku? Mas bilang kita ke Jakarta dulu karena ada rekan yang mau ditemui. Tapi ternyata kita malah ke rumah sakit tempat Ibu dioperasi? Maksud Mas apa sih?"

Raf lagi-lagi hanya terdiam. Bukan karena kewibawannya hilang. Sikapnya saat ini lebih karena ia ingin memberi ruang bagi Rae untuk mengeluarkan keluh kesahnya. Tadi ketika memesan tiket pesawat ke Jakarta, Raf hanya mengatakan bahwa ia harus mememui salah satu rekannya terlebih dahulu. Namun saat keduanya tiba di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan berjalan ke dalam sampai menemui sosok Yusuf, Rae mulai mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Setelah hening beberapa saat, Raf bangkit dari duduknya. Ia memandang Rae sekali lagi. "Sebentar lagi masuk waktu shalat asar. Aku cari masjid sekitar sini dulu ya?"

Raf tahu ia tidak memerlukan izin dari Rae, tapi ia masih menunggu istrinya angkat bicara.

"Ra?"

"Iya," balas Rae singkat.

"Kamu boleh marah sama aku. Tapi jangan biarkan kemarahanmu buat kamu lupa untuk doain Ibu," ujar Raf pelan. Laki-laki itu bertekuk di hadapan Rae. Ia memandang manik mata istinya kemudian memegang pergelangan tangan Rae dengan lembut. "Ibu butuh doa dari seorang anak yang hatinya tenang dan penuh keikhlasan."

Rae menghela napas. "Keburu azan. Nanti kamu ketinggalan."

Raf mengangguk. "Maafin aku ya?"

"Belum, aku masih kesal," balas Rae spontan. "Kamu sendiri yang bilang untuk saling jujur dan berbagi. Tapi kenapa hal sepenting ini nggak kamu bagi ke aku sih, Mas?"

"Aku....," Raf berniat menjelaskan semuanya, tapi ia justru menggantungkan kalimatnya. Raf hanya berdiri, lantas mengatakan sekali lagi bahwa ia akan segera pergi ke masji untuk menunaikan salat asar. "Aku ke masjid dulu ya. Baik-baik di sini, Ra."

Rae tidak menjawab apa-apa. Ia hanya diam dan terpaku menatap pintu punggung Raf yang semakin menjauh. Perasannya campur aduk. Marah, kesal, kecewa, sedih ... semuanya datang di waktu yang bersamaan. Tidak lama setelahnya, Yusuf datang dengan dan langsung duduk di samping Rae.

"Ayah yang minta Raf untuk nggak memberitahu kamu, Ra." Yusuf berkata sambil menghela napas berat. "Dan ini semua juga permintaan Ibu."

Rae menunduk. Kali ini air matanya jatuh. Ia baru menyadari bahwa selama tinggal di Yogyakarta, ia hanya sering berkomunikasi dengan Ayahnya. Yusuf selalu bilang bahwa Asma sibuk di toko kue dan hanya sempat menitipkan salam rindu untuknya.

"Hemodialisis sudah tidak efektif untuk pengobatan Ibu, Ra." Yusuf mulai memberitahu alasan Asma harus dioperasi. "Kondisi ginjal Ibu sudah rusak parah. Sebetulnya dari dulu Ayah sudah bilang untuk operasi cangkok ginjal, tapi Ibu selalu menolak. Alasannya macam-macam. Dan yang menjadi masalah utamanya adalah, belum ada pendonor yang cocok. Kemudian pekan kemarin Ayah dapat informasi dari pihak rumah sakit kalau ada pendonor yang cocok untuk Ibu. Kemudian Ibu juga mau dioperasi. Kamu tahu alasannya?"

Rae menggeleng.

"Kata Ibu, supaya hidupnya bisa bertahan lebih lama dan bisa menimang cucu dari pernikahanmu dan Raf."

Perkataan itu membuat Rae memandang wajah ayahnya. Ia melihat ada seberkas harapan besar pada manik mata Yusuf. Rae tahu, ayahnya juga menginginkan hal yang sama.

Rae terdiam. Hari ini, hati dan perasannya seperti dihantam dua kali berturut-turut dengan pukulan telak. Di satu sisi perasaannya terluka saat mengingat kata-kata yang dilontarkan Ima. Di sisi lain, ia jadi merasa bersalah karena belum bisa memberikan cucu untuk kedua orangtuanya.

Rae menyandarkan tubuhnya lantas membuang napas berat. Segala hal jadi terasa membebani pundak Rae. Ia melirik kembali pintu ruang operasi. Rae merasa detik-detik penantian ini menjadi sangat lambat. Kecemasannya meningkat. Ia benar-benar takut. Takut jika ibunya berpulang sebelum ia berhasil memenuhi keinginannya.

Rae memandang Yusuf. "Kalau Rae bisa kasih Ibu cucu, Ibu akan sembuh, Yah?"

Yusuf mengangkat kedua bahunya. "Mungkin?"

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now