Bab 5 - Notifikasi yang Dinanti

6.3K 688 30
                                    

Suara deringan dari gawai Raf membuat laki-laki itu menghentikan jemarinya yang sedang mengerjakan skripsi. Raf memperhatikan nama di layar gawai. Itu panggilan telepon dari ibunya-Ima. Raf mengambil earphone, memasangnya di telinga, lantas mengangkat telepon sambil membaca ulang skripsi yang ia kerjakan.

"Assalamu 'alaikum, Bu."

"Wa 'alaikum salam, Nak. Bagaimana kabarmu di Bandung?"

"Raf baik-baik saja, Bu. Ibu dan Bapak gimana? Sehat?"

"Ibu dan Bapak sehat, Raf. Skripsimu gimana? Lancar?"

"Alhamdulillah lancar, Bu. Raf mohon doanya," balas Raf singkat. Fokusnya terbagi antara mendengar suara ibunya dengan mengecek ketikannya di laptop.

"Tanpa kamu minta juga Ibu pasti doakan, Raf," jawab Ima, "Bulan ini kamu mau pulang nggak, Nak? Kamu sudah lama kamu nggak pulang, lho. Akhir tahun kemarin saja kamu lebih memilih di Bandung daripada ke Yogya. Kamu nggak kangen Ibu dan Bapak?"

Raf membuang napas pelan. Atas kesepakatan yang ia buat bersama Ima sebelum kuliah di Bandung, Raf setidaknya harus pulang ke Yogyakarta minimal dua bulan sekali. Selama berkuliah, ia rutin pulang untuk menjenguk keluarganya meskipun hanya sebentar. Akan tetapi, akhir-akhir ini Raf agak sulit menentukan jadwal pulang. Ia harus melakukan penelitian untuk skripsi, jadwal bimbingan dengan dosen yang tidak menentu, serta banyaknya amanah Raf di organisasi kampus.

"Raf? Jangan diam saja." Suara Ima kembali terdengar. "Bulan ini kamu bisa pulang ke dulu, kan?"

Raf menghela napas pendek, ia sama sekali tidak bisa menolak permintaan ibunya. "Insya Allah Raf usahakan ya, Bu. Raf geser agenda Raf dulu. Nanti Raf kabari Ibu lagi."

"Nanti sekalian kamu pulang, Ibu mau mengenalkan kamu dengan keluarganya Pak Galih. Ibu sudah sering mengobrol dengan Pak Galih dan istrinya. Dia punya anak perempuan yang cantik dan anggun, Raf. Namanya Ayu. Sebelum kamu komentar macam-macam, biar Ibu jelaskan dulu. Ayu itu berhijab, Raf. Kamu cari istri yang berhijab tho? Ibu sudah carikan buat kamu. Kali ini kamu nggak bisa menolak."

Mendengar topik perjodohan kembali diangkat lagi, tiba-tiba saja Raf merasa lelah. Ia menyandarkan kepala di kursi, lantas mendengarkan ucapan ibunya yang mendeskripsikan Ayu dan keluarganya. Raf sendiri tidak tahu siapa itu Ayu dan ibunya sudah memilihkan perempuan itu menjadi calon istri Raf.

"Ibu sudah ngobrol banyak dengan Ayu. Katanya, dia juga nggak masalah kalau harus menunggu kamu lulus kuliah dulu. Gimana, Raf? Kamu ikut pilihan Ibu, ya?"

Raf membuang napas. "Raf harus kenal sama Ayu dulu, Bu. Nggak bisa tiba-tiba menentukan Raf setuju dengan pilihan Ibu."

"Ya nanti kamu pas pulang Ibu kenalkan dengan Ayu dan keluarganya."

"Bukan kenalan yang seperti itu, Bu," ucap Raf. Nadanya terdengar putus asa. "Ibu percaya kalau Raf bisa cari calon istri sendiri, kan?"

Ima terdiam beberapa saat. "Dulu Ibu percaya," jawabnya pelan, "sekarang semenjak kamu hijrah-hijrah itu Ibu sudah nggak percaya lagi. Kamu bahkan meninggalkan perempuan yang-"

"Bu, tolong jangan bahas itu lagi." Raf memotong ucapan Ima. "Berhijab saja nggak cukup, Bu. Raf butuh calon istri yang visi-misi pernikahannya bersinggungan dengan Raf. Lagipula kalau hijab yang Ibu maksud hanya membungkus kepala saja, Raf nggak akan pernah mau."

"Lantas kamu maunya yang seperti apa tho, Raf? Yang baju dan kerudungnya lebar dan panjang-panjang? Atau bahkan kamu maunya dengan perempuan yang wajahnya juga ditutup-tutupi itu?"

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now