Bab 3 - Pencarian Virtual

7.6K 706 21
                                    

"Semangat antum luar biasa, Raf. Melihat antum yang sekarang, ana merasa jauh tertinggal," ucap Zaim—rekan satu fakultas Raf—sambil mengikat tali sepatunya. Saat ini mereka berdua sedang duduk di teras masjid setelah melaksanakan salat duha.

"Ana masih belajar, Za." Raf menjawab dengan rendah hati. "Kalau bukan karena antum juga ana nggak akan seperti sekarang."

Zaim memang menjadi perantara awal Raf bisa memulai proses hijrahnya di dunia kampus. Kajian pertama yang Raf ikuti adalah kajian tentang peran ilmuwan muslim dalam menciptakaan teknologi di era 'Zaman Kegelapan' yang seharusnya disebut 'Zaman Keemasan'. Kajian itu diselenggarakan di masjid kampus saat Raf baru saja menjadi mahasiswa selama satu bulan. Nama-nama cendikiawan muslim disebutkan dan Raf terkejut saat mendapati nama Abbas Ibnu Firnas—ilmuwan muslim yang mencetuskan asal mula pesawat terbang dengan mempercayai bahwa manusia bisa terbang.

Selepas kajian itu, Raf berkenalan dengan Zaim. Zaim memang sudah banyak belajar Islam sejak masih SMA sehingga pengetahuan keislamannya luas. Raf sering mengajak Zaim berdiskusi tentang Islam dan teknologi. Zaim menyambut diskusi itu dengan baik. Satu kali Raf pernah diajak Zaim untuk berkunjung ke indekosnya. Raf sangat terkejut saat mengetahui perabot paling besar di indekos Zaim adalah rak buku. Raf tidak menghitung berapa jumlahnya—tapi mungkin ratusan. Dari sekian ratus buku yang dimiliki Zaim, buku yang berkaitan dengan kuliah tidak lebih dari sepuluh. Sisanya adalah buku-buku tentang Islam.

Dari sanalah Raf menambahkan bacaan buku Islam dalam daftar bacanya. Ia mulai dari meminjam buku-buku milik Zaim—dimulai dari hal yang ia sukai; peradaban dan teknologi dalam sejarah Islam. Ia menemukan nama-nama ilmuwan yang sebelumnya tidak ia tahu. Mulai dari Ibnu Sina, Ibnu Al-Haitham, Abu Qasim Al-Zahrawi, Maryam Al-Astrolabi, dan masih banyak ilmuwan muslim lainnya. Perjalanan membaca Raf mengantarkannya pada sebuah penaklukan yang luar biasa—Penaklukan Konsantinopel oleh Sultan Mehmed II atau yang dikenal sebagai Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453. Raf membaca buku itu lebih dari sepuluh kali—saking kagumnya ia dengan penaklukan 'di luar akal' yang dilakukan Al-Fatih dan prajuritnya.

Semakin banyak membaca, semakin Raf sadar bahwa ia tidak tahu apa-apa. Beruntungnya, Raf memiliki Zaim sebagai kawannya. Zaim sering mengajak Raf tergabung dalam organisasi Islam di kampus, mengajaknya belajar tahsin dan ikut program tahfidz, atau mengikuti pelatihan kepemimpinan dengan napas Islam. Satu dua kali mereka juga menghadiri kajian umum yang di selenggarakan di masjid-masjid besar Kota Bandung dengan ustadz-ustadz yang luar biasa. Raf mengikuti kajian tentang Islam dan teknologi, tauhid, akhlak, tafsir Alquran, hadits, akhir zaman, bahkan kajian-kajian seputar cinta dan pernikahan. Semua perubahannya tidak akan pernah terjadi tanpa sosok Zaim. Atas hal itu, Raf selalu merasa bersyukur bisa mengenal Zaim di kampus.

"Ana benar-benar nggak akan bisa hijrah kalau bukan karena antum." Raf mengulang kalimatnya sekali lagi. "Ana bersyukur bisa kenal dan jadi sahabat antum. Jazakallah khairan katsiran, Za. Insya Allah jadi pahala jariyah buat antum, ya."

"Aamiin. Wa iyyaka, Raf," balas Zaim sambil tersenyum, "tapi antum hijrah itu ya karena hidayah dari Allah. Ana cuma perantara."

Raf mengangguk. Setelah itu, Zaim memulai topik baru yang akhir-akhir ini sering mereka lakukan—topik tentang penikahan. "CV ta'aruf antum gimana, Raf? Sudah siap?"

Mendengar kata ta'aruf, Raf justru tertawa. Ia memang ingin segera menikah. Alasannya sederhana, Ima. Wanita paruh baya yang usianya sudah enam puluh tahun itu meminta Raf segera menikah agar ia sempat merasakan menggendong cucu. Kedua orangtua Raf memang menikah di usia yang cukup tua dan baru memiliki anak saat keduanya berusia empat puluh tahun. Selain itu, Raf juga memang ingin menikah muda. Ia membayangkan bisa membimbing keluarganya sendiri, melakukan visi-misi hidupnya dengan seorang istri, menciptakan keluarga pejuang Islam, melahirkan Al-Fatih kedua dalam keluarganya kelak. Raf ingin melakukan rihlah keliling dunia bersama pendamping hidupnya. Menjejaki satu demi satu peninggalan Islam di setiap negera. Tapi sampai saat ini, Raf belum bisa mewujudkannya. Raf belum menemukan sosok yang tepat untuknya.

"CV-nya insya Allah sudah siap, Za," jawab Raf, "dari semester tiga juga sudah ana bikin. Ana revisi berkali-kali seperti menyusun skripsi. Tinggal calonnya saja yang belum siap. Jadi sekarang ana bingung CV-nya mau dikasih ke siapa."

Zaim tertawa. "Kalau antum sudah siap, antum sharing lah sama Kang Aji. Beliau kan murabbi kita. Siapa tahu antum dikenalin sama akhwat yang sudah siap menikah juga. Ana yakin rekomendasi Kang Aji nggak akan salah."

Raf mengangguk pelan. Masalah rencana menikahnya ini memang harus ia diskusikan bersama Aji. Aji adalah mahasiswa pascasarjana ITB yang juga aktif dalam kegiatan di masjid Salman. Ia menjadi murabbi atau guru pembimbing dalam kajian rutin intensif yang Raf dan Zaim ikuti setiap pekan.

"Nanti selesai mentoring, insya Allah ana ngobrol pribadi sama Kang Aji."

"Tapi, Raf, dari sekian banyak akhwat yang antum tahu atau kenal, nggak ada satupun yang klik dan mau antum ajak ta'aruf?" Zaim bertanya lagi. "Maksud ana, lebih baik antum sudah punya kecenderungan sama seorang perempuan yang mau antum ajak ta'aruf dulu, Raf. Kalau perempuannya pilihan antum sendiri, biasanya proses kedepannya akan lebih mudah."

"Gitu, ya?" Raf memandang Zaim skeptis. "Ana harus percaya saran atum nggak? Karena sejauh ini, pengalaman antum soal ta'aruf juga masih nol."

Zaim tertawa. "Itu cerita dari yang sudah pernah melewati proses ta'aruf, Raf. Ana cuma sharing ke antum supaya antum punya gambarannya."

"Kalau begitu terima kasih sarannya," balas Raf, "antum sendiri gimana?"

"Gimana apanya nih, Raf?"

"Ya ... CV ta'aruf antum. Sudah siap belum? Kapan antum mau menikah?"

"Wah, kalau ana menikah sama Alquran dulu, Raf. Hafalan ana lagi macet terus. Sesuai moto hidup ana—tiga puluh juz harga mati. Ini setengahnya saja belum. Kuliah teknik benar-benar hectic. Ana jadi nggak fokus untuk ziyadah, Raf. Bahkan kadang-kadang, murajaah juga malas. Rencananya selesai kuliah, ana mau fokus tahfidz dulu. Setelah itu, baru mikirin nikah."

Raf mengangguk. "Semoga hafalan antum dimudahkan ya."

Zaim mengaminkan ucapan Raf. "Eh iya, Raf. Ada latihan panahan terbuka pekan depan. Biayanya gratis. Antum mau ikutan?"

"Hari Ahad, Raf. Dari jam tujuh sampai jam dua belas siang."

"Wah, ana mau banget, Za. Tapi ana ada undangan jadi pembicara untuk acara Kajian Islam dulu di UPI."

"Wah, undangan antum nggak habis-habis, ya. Ana bangga, Raf. Ya sudah, mungkin antum bisa coba ikut panahan lain kali. Semoga lisan antum dimudahkan ya."

Raf mengucapkan terima kasih dan mengaminkan ucapan Zaim. Setelah itu, Zaim pamit karena masih akan ada rapat organisasi kampus yang diikutinya. Raf sendiri masih duduk di selasar masjid karena sudah tidak memiliki agenda di kampus. Ia akan segera pulang ke indekosnya, membuka dan melanjutkan berkas skripsi, kemudian mempersiapkan diri untuk bimbingan esok hari.

Sebelum bangkit dari posisi duduknya, Raf jadi mengingat kembali ucapan Zaim beberapa detik yang lalu. Tentang sosok perempuan yang ingin ia jadikan seorang istri. Raf menimbang beberapa nama, kemudian menggeleng pelan. Tidak ada sosok perempuan yang membuat hatinya berdesir sampai akhirnya Raf kembali mengingat perempuan itu.

Perempuan yang tertidur di gerbong kereta nomor delapan.

Di detik selanjutnya, Raf membuka tasnya. Ia mencari-cari pembatas buku yang berisi tulisan tangan perempuan itu. Benda kecil itu terselip di buku yang sedang ia baca. Raf membaca ulang kalimat yang tertera di sana.

"Raelesha Arsyi Zainab," ucap Raf pelan.

Rekaan ulang kejadian di kereta saat itu kembali memenuhi benaknya. Raf menghela napas kemudian membuangnya perlahan. Ia mengeluarkan gawainya, membuka aplikasi instagram, kemudian menyentuh kolom pencarian. Aku sering mendengar banyak orang-orang menemukan jodohnya di sosial media. Entah dari komentar, direct message, sampai hal sepele seperti salah tag. Harusnya ini lebih mudah karena aku sudah mengetahui namanya. Raf berbicara di dalam hati. Wallahi, aku melakukan ini bukan karena keganjenan atau gila perempuan. Aku hanya ... berikhtiar. Ya, ini bagian dari ikhtiar. Kalau ketemu, alhamdulillah, kalau nggak ketemu, ya... semoga ketemu. Bimsillah....

Dan Raf mulai memasukkan nama Rae di kolom pencarian instagramnya.

Pemberhentian Terakhir [Published]Место, где живут истории. Откройте их для себя