Bab 14 - Mewujudkan 'Seperti'

5.9K 654 37
                                    

Setelah selesai wisuda Raf, keesokan harinya Raf langsung mengajak Rae ke Yogyakarta bersama kedua orangtuanya. Perempuan berumur dua puluh itu masih mengingat bagaimana kakinya berat sekali meninggalkan kota kelahirannya.

"Aku tahu Bandung akan selalu menjadi rumah tempat kamu ingin segera pulang. Tapi aku mengajak kamu tinggal di Yogyakarta bukan hanya karena itu adalah tempat kelahiranku. Aku ingin menunjukkan bahwa Bumi Allah itu luas. Sangat luas. Kita nggak akan menetap di Yogya, Ra. Kapanpun kamu mau pulang ke sini, pindah ke tempat lain, atau menjelajahi negeri manapun, aku siap mendampingi kamu. Kita lakukan semuanya sama-sama."

Saat itu Rae hanya terdiam. Mata hazelnya menatap Raf lekat-lekat—mencari keteduhan dari binar mata Raf agar perasaan kalutnya menghilang.

"Aku serius, Ra," tegas Raf. Seolah memahami perasaan Rae yang terpantul dari matanya yang mulai sendu. "Kita bisa mengikuti langkah Ibnu Batuta dan Marcopolo menjelajahi dunia. Sampai kamu yakin, bahwa keindahan dan nikmat Allah bukan hanya diletakkan di Bandung dan Yogyakarta."

Maka dengan sisa rasa berat yang ada di dalam hatinya, Rae berangkat ke Yogyakarta bersama Raf dan orangtuanya. Mereka berangkat menggunakan kendaraan umum bus dan kereta. Tidak banyak percakapan yang terjadi selama perjalanan. Raf lebih sering menanyakan hal-hal kecil seperti menawarkan makan dan minum kepada Rae, sedangkan baik Tio dan Ima sesekali hanya tersenyum dan menanyakan beberapa hal tentang kehidupan mereka setelah menikah. Pertanyaan Ima tentang kehamilan selalu membuat Rae merasa terganggu.

"Kamu ... belum isi, Nak?" tanya Ima—untuk yang kesekian kalinya. Wanita paruh baya itu selalu menanyakan hal yang sama saat menelepon Raf.

Raf yang selalu menjawab pertanyaan itu dengan kalimat yang sedikit menenangkan Rae. "Kemarin kan Raf sedang sibuk mengurus skirpsi, Bu. Belum lagi mengurus persyaratan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Rae juga punya beberapa hal penting yang harus diselesaikan. Kalau Ibu terus-terusan bertanya, yang ada kami berdua stres dan nggak akan berhasil lho, Bu."

Mendengar jawaban itu, Ima hanya mendengus kecil dan membungkam mulutnya selama di perjalanan. Sesampainya di Yogyakarta, Raf mengantar kedua orangtuanya ke rumah dan segera pamit menuju rumahnya yang selesai dibangun sebulan yang lalu. Ketika Ima menahan Raf untuk bermalam di rumahnya terlebih dahulu, Raf yang sangat mengerti kondisi Rae yang masih malu hanya menggeleng pelan. "Raf kan sudah punya rumah sendiri, Bu. Raf akan langsung ke sana saja. Kami akan ke sini setiap pekan untuk menjenguk Ibu dan Bapak."

Dan Ima hanya mengangguk pasrah. Raf segera beranjak pergi setelah pamit. Ia menghampiri Rae yang sedang duduk di ruang tamu. "Ayo, Ra," ajak Raf dengan senyum tipis terlukis di wajahnya, "kita ke rumah."

Mereka berdua langsung berjalan menuju rumah yang sudah dibangun Raf sejak lama. Sesampainya di sana, dibutuhkan waktu yang lama bagi Rae untuk berdiri di depan rumah bercat putih-hijau dengan pekarangan luas itu. Rumah itu tidak terlalu besar, namun terlihat asri. Sekeliling rumah ditanami rumput hijau yang menyejukkan mata. Berbagai tanaman dan pohon-pohon kecil tumbuh. Akses jalan menuju pintu rumah dibuat dari batu-batu kecil beraneka warna yang tersusun rapi. Dengan jalan berwarna ini, tuan rumah ataupun tamu seakan-akan diisyaratkan alam untuk tidak menginjak rumput yang menghijau.

Setelah puas mengamati sekitar pekarangan, Rae mulai berjalan pelan menuju bagian depan rumah. Di sana ada dua kursi berbahan rotan lengkap dengan busa duduknya. Di tengahnya ada meja berbentuk bundar yang terbuat dari kayu. Tangan Rae menyentuh pelan meja itu. Raf yang berdiri di belakangnya hanya diam mengamati. Kemudian, Rae membalikkan badan, menatap Raf yang sudah menyimpulkan senyum kecil.

Perempuan itu segera membuka sleting tasnya dan mengeluarkan sebuah kunci rumah. Rae berjalan ke arah pintu yang dicat berwarna putih itu dan memasukkan kunci, memutarnya, dan setelah terdengar bunyi klik, perempuan itu mendorong pintu.

Pemandangan yang pertama kali dilihatnya adalah sebuah ruang tamu minimalis dengan sofa kulit berwarna putih. Lantai rumah terbuat dari kayu. Dinding rumah juga nyaris berwarna putih dengan sentuhan beberapa pajangan dan tanaman hijau. Rae baru menyadari bahwa atap berbentuk dua buah piramida tinggi yang ia lihat dari halaman depan adalah lantai dua dari rumah ini. Ada tangga kayu melingkar yang menghubungkan kedua lantai.

"Kamu yang desain ini semua?"

Raf mengangguk. "Tapi ada temanku dari jurusan arsitektur yang membantu. Aku hanya memberi konsep kasarnya," balas Raf. "Di lantai dua ada ruang kerja, ruang baca, dan ruang sholat. Di sana juga ada satu kamar tamu kalau ada yang mau bermalam di rumah kita."

Rae mengangguk. Namun, rasa penasarannya bangkit saat ia mendengar Raf bicara soal ruang baca. "Seberapa banyak buku yang ada di ruang baca?"

"Luma—"

"Aku mau lihat!" potong Rae sambil berlari kecil menaiki tangga.

Sesampainya di lantai dua, ia melihat ruang TV yang didesain seperti bioskop mini di dalam rumah. Ada seperangkat home teather yang terpasang di dindingnya. Perempuan itu tersenyum. Tidak menyangka Raf mendesain rumah beserta isinya hingga sedetail ini. Langkah Rae berlanjut ke sebuah pintu kayu. Setelah dibuka, itu adalah ruang kerja. Di dalamnya ada meja komputer, laptop, loker file, juga papan tulis yang sudah berdiri. Ruangan itu dibatasi oleh pintu kaca yang tertutup gorden berwarna krem.

"Di mana ruang bacanya?" tanya Rae.

Raf menggandeng tangan Rae dan mengajak perempuan itu di ujung gorden. Ia berdiri di belakang Rae sambil membawa tangan Rae untuk menarik tali yang merupakan alat untuk membuka gorden. Raf menggenggam tangan Rae sambil menarik tali itu ke bawah.

Perlahan, gorden terbuka dari tengah ke sisi kanan dan kiri. Pintu kaca besar yang menjadi sekat ruangan menampilkan sebuah ruang baca yang dibicakaran oleh Raf. Mata Rae takjub seketika. Bukan main. Ruangan itu berisi jejeran rak yang di dalamnya tersusun buku yang rapi. Ada karpet dan bantal-bantal kecil di sudut ruangan. Ada pula sofa busa yang diletakkan di atas lantai.

Raf berjalan mendahului Rae. Menggeser pelan pintu kaca hingga terbuka. "Masuk, Ra."

Rae langsung masuk. Ia berlari-lari kecil mengitari rak buku yang ada. Membaca sekilas kemudian meletakkannya kembali. Raf hanya memperhatikan istrinya sambil tersenyum. Setelah memutari berbagai rak selama tiga puluh menit, Rae menghampiri Raf yang tengah berdiri sambil membuka jendela.

"Aku kelamaan ya?" tanya Rae dengan nada bersalah.

Raf menggeleng. "Kamu suka ruang bacanya?"

"Banget! Aku mau simpan buku-buku punyaku di sini juga. Boleh?"

"Kenapa meminta izinku? Ruang baca ini kan milik kita. Oh iya, ada yang mau aku kasih ke kamu." Raf berjalan ke salah satu deretan rak. Tangannya mengambil salah satu buku dalam rak, lantas mengeluarkan pembatas buku milik Rae yang ia temukan di kereta. "Aku kembalikan kepada pemiliknya."

Rae mengambil pembatas buku miliknya itu sambil tersenyum kecil. "Kamu masih simpan? Kenapa?"

"Karena aku yakin suatu saat bisa aku kembalikan ke kamu, Ra," balas Raf sebelum ia lanjut bertanya, "Kenapa kamu suka baca?"

"Karena dengan membaca, aku seperti bisa menjelajahi dunia."

"Kenapa harus seperti?" tanya Raf lagi. Rae mengernyit tidak mengerti. "Kalau kamu mau, kita bisa menjelajah bersama-sama."

Raf melebarkan jendela yang masih setengah tertutup. Pandangannya terarah ke luar rumah. "Masih banyak bagian bumi lain yang belum kita pijak. Masih banyak tempat-tempat yang belum kita kunjungi. Masih banyak pelajaran mahal yang belum kita dapatkan dari sebuah perjalanan," kata Raf. "Ayo, Ra, sebutkan tempat tujuanmu. Benua, negara, kota, dan tempat apa yang ingin kamu kunjungi selama kamu masih punya kesempatan. Kamu sudah punya rencana?" tanya Raf.

Rae menggeleng.

"Aku punya," kata Raf, pandangannya kembali ke luar. "Empat benua, sembilan negara, empat puluh sembilan kota."

Rae terdiam, kemudian sepasang mata Raf kembali memandangnya. "Itu adalah mimpiku sejak SMA dan belum bisa aku wujudkan sampai saat ini."

"Bukannya kamu sering ke luar negeri? Bahkan kata Ayah, kamu pernah student exchange di sana."

"Ada keterangan lain dalam mimpi itu, Ra," kata Raf pelan. "Empat bedua, sembilan negara, dan empat puluh sembilan kota itu ingin aku kunjungi bersama pendamping hidupku kelak. Sekarang sudah ada kamu dan kita punya album Rihlah Cinta yang harus diisi bersama. Bantu aku mewujudkannya, ya?"

Pemberhentian Terakhir [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang