Bab 30 - Jarak dan Luka Yang Terobati Pelan-Pelan

3.6K 432 23
                                    

Mungkin benar bahwa jarak bisa menyembuhkan dua orang yang semula merasa terluka. Dari jarak, seseorang bisa tahu bahwa rindu itu seperti candu. Dari jarak, seseorang bisa menyadari bahwa segala kebersamaan itu sangat berarti. Dari jarak pula, seseorang akhirnya mengerti bahwa berdua lebih baik daripada sendiri.

Raf dan Rae akhirnya merasakan semua itu. Ketika dulu Raf bertanya apa yang Rae inginkan, Rae menjawab bahwa ia sudah tidak memiliki keinginan apa-apa. Rae kehilangan semangat karena pernyataan dokter yang mengatakan bahwa akan sulit baginya untuk hamil lagi. Rae jadi lupa bagaimana mencintai dirinya sendiri. Rae tidak tahu praktik bersyukur yang selama ini Raf dengung-dengungkan. Tapi setelah empat bulan terlewati, luka di hati Rae berangsur sembuh. Ia sudah mulai beraktivitas lagi. Mulai membangun kembali mimpinya untuk mendirikan Sekolah Kita.

Sekarang Rae tahu apa keinginannya. Ternyata sederhana; mendampingi Raf dan mengoptimalkan perannya sebagai istri yang baik bagaimanapun kondisinya saat ini.

Raf adalah potret suami yang baik. Sangat baik malah. Dan Rae baru menyadarinya saat jarak memisahkan mereka. Raf selalu menjaga komunikasi. Setiap hari laki-laki itu selalu menghubungi Rae meskipun hanya dengan sebuah pesan singkat. Jika ada waktu luang, Raf menelepon Rae atau melakukan panggilan video.

Raf banyak bercerita kepada Rae. Ia menjadi lebih terbuka daripada sebelumnya. Masalah sekecil apapun yang ia hadapi di kampus atau perusahaan tempatnya bekerja ia bagi kepada Rae. Raf tidak pernah menyinggung apa-apa tentang masalah kehamilan Rae. Dan sejujurnya, Raf juga tidak terlalu mempermasalahkan itu. Ia bersyukur memiliki istri seperti Rae. Dan baginya itu sudah cukup. Masalah anak? Mereka bisa melakukan pengobatan lain jika Rae setuju. Atau mengadopsi anak dari panti asuhan. Apapun itu, masih banyak cara. Yang penting Rae sehat dan bahagia, maka semuanya akan baik-baik saja. Begitulah yang selama ini Raf pikirkan.

Raf juga tidak pernah menanyakan lagi kapan Rae akan ke Jerman. Raf selalu berpikir mungkin Rae masih butuh waktu di Indonesia. Mungkin ia masih takut tinggal di negara yang minoritas muslim. Mungkin Rae masih perlu menyembuhkan dirinya dan menata ulang semuanya seperti sedia kala.

"Jadi gimana, kamu sudah berhasil menata ulang semuanya?" tanya Raf di panggilan videonya pekan lalu. Hari itu hari Sabtu. Raf tidak terlalu sibuk dan menyempatkan diri untuk mengobrol panjang dengan Rae sebelum melakukan riset terbarunya.

Rae tertegun. Kemudian ia tersenyum kecil. "Hampir berhasil, Mas," jawabnya pelan. "Sudah lebih baik sekarang."

Raf terlihat tersenyum juga. "Aku harap, ketika aku pulang semuanya sudah kembali seperti semula ya, Ra. Kamu berhasil menata ulang hatimu. Dan kita bisa memulai semuanya lagi dari awal," ujarnya dengan lembut.

Rae tersenyum.

"Kangen cubit pipi kamu yang chubby, Ra," ujar Raf. Ketika ia melihat kedua pipi Rae tidak setembam biasanya, laki-laki itu mengernyit. "Kamu kok kurusan gitu sih kayaknya? Pipi kamu agak tirus. Sudah nggak pernah jajan sama makan yang banyak lagi sekarang? Berat badanmu kayaknya turun ya?"

Rae menangkup kedua pipinya. Setelah ia ingat-ingat nafsu makannya menurun beberapa minggu terakhir. "Masa kurusan sih? Ya tapi bagus dong, Mas. Kan biasanya laki-laki suka sama yang badannya tinggi semampai, pipinya tirus, dan badannya kurus."

"Maksudmu laki-laki suka sama tiang listrik?" tanya Raf sambil terkekeh. Rae ikut tertawa. "Aku suka pipimu yang chubby. Agak gemuk—eh, maksudku berisi juga aku lebih suka. Nggak masalah buatku punya istri yang doyan makan. Jadi jangan sampai kamu sok-sok diet gitu ya, Ra. Badanmu yang mungil dan berisi itu lebih enak dipeluk."

Rae tertawa sambil mengangguk pelan.

"Pokoknya pas aku pulang, berat badanmu nggak boleh turun ya? Pipimu itu harus berisi. Oke?"

Rae mengangguk kecil. "Kamu baik banget sih, Mas," ujar Rae tiba-tiba. Ucapan itu membuat Raf mengernyit. "Aku beruntung punya suami seperti kamu."

"Baik?"

"Iya, baik. Nggak pernah nuntut aku jadi begini atau begitu."

"Aku begini karena kamu," balas Raf sambil tersenyum hangat setelah ia diam beberapa detik. "Penyebab laki-laki yang baik itu karena memiliki ibu dan istri yang baik. Ibuku berhasil mendidik aku jadi baik. Tapi semuanya disempurnakan sama kamu setelah kita menikah, Ra."

"Tapi kan, aku sensitif banget, Mas. Cemburuan, moody-an, manja, inginnya dimengerti terus. Aku nggak sebaik itu sampai kamu bilang kalau aku yang menyempurnakan kamu."

"Justru karena itu, Ra," balas Raf tenang. "Karena kamu yang nggak sebaik itu aku jadi baik. Karena kamu aku jadi belajar sabar, belajar mamahami, belajar cara-cara membahagiakan seorang istri. Kalau kamu Raelesha yang full packed, yang sabarnya tanpa batas, yang bisa menahan ego, yang mampu menyembunyikan amarah, aku nggak akan berkembang, Ra. Aku nggak akan berusaha menjadi imam yang baik karena nggak pernah ada tuntutan dari kamu. Karena itulah aku bersyukur punya istri seperti kamu. Dan pesanku, jangan pernah berubah, Ra. Nggak perlu jadi Rae yang pura-pura menahan cemburu atau rasa kesalnya hanya untuk menjadi figur istri yang baik. Kamu baik dengan caramu sendiri. Dan aku selalu mencintai setiap cara yang kamu pilih."

Dan aku selalu mencintai setiap cara yang kamu pilih. Betapa kalimat itu menghasilkan desiran hangat di hati Rae. Memberikan efek lengkungan manis di wajahnya. Begitulah Raf dengan setiap kata-katanya yang mampu menenangkan. Ia seperti malaikat berwujud manusia yang hadir di kehidupan Rae. Ia semacam navigasi yang membimbing perjalan hidup Rae menjadi sesuai arah dengan tepat dan akurat.

Setelah panggilan telepon video itu ditutup, Rae langsung bercermin. Benar kata Mas Raf, aku memang kurusan. Menyadari tubuhnya sudah kehilangan berat badan yang cukup banyak, Rae mulai kembali menjaga pola makannya dengan menu sehat dan jadwal yang teratur. Tapi ternyata, hal itu menjadi sesuatu yang sulit untuk Rae lakukan.

Rae tidak tahu mengapa, tapi semenjak satu bulan terakhir, nafsu makannya menurun drastis. Sebenarnya, perubahan ini sudah Rae rasakan setelah ia selesai melaksanakan operasi. Ia menjadi jarang makan. Saat itu Rae berpikir bahwa hal tersebut dikarenakan kondisi hatinya yang sedang buruk. Tapi lama kelamaan, perubahan itu terus berlangsung semakin parah.

Dalam sehari, Rae paling banyak makan dua kali dengan porsi yang sangat sedikit. Bahkan kadang-kadang, ia sampai tidak makan sama sekali karena kehilangan selera makannya. Sekalinya makan, ia menjadi lebih cepat kenyang. Keadaan itu diperparah dengan sulitnya Rae ketika buang air besar dan frekuensinya dalam buang air kecil yang semakin meningkat. Perutnya juga selalu terasa kembung dan Rae suka merasakan nyeri di bagian pinggang sekaligus merasakan mual.

Perempuan itu sudah berkunjung ke apotek untuk membeli obat sakit perut atau vitamin penambah nafsu makan. Tapi nyatanya, obat itu sama sekali tidak berhasil. Maka meskipun awalnya malas, Rae akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Ia jadi takut kalau resep yang dibelinya di apotek itu justru membawa dampak dan efek yang buruk bagi tubuhnya karena tidak sesuai resep dokter.

Pagi sekitar jam sepuluh, Rae sudah berangkat menuju rumah sakit. Ia berangkat sendirian karena Yusuf harus mengajar di kampus dan kedua adiknya—Farezi dan Arvind—tidak tinggal di rumah karena kuliah dan sekolah di boarding school.

Rae ditangani oleh dokter muda perempuan bernama Hilda. Setelah mendengar penuturan Rae soal keluhannya, Dokter Hilda mulai melakukan beberapa pengecekan. Mulai dari memeriksa perut Rae dengan menekan-nekannya, memeriksa tensi darah, dan juga mengecek detak jantung perempuan itu.

Setelah selesai, Dokter Hilda duduk kembali ke mejanya. Ia berkata bahwa Rae harus melakukan USG Transvaginal dan melakukan cek darah. Dokter Hilda berkata bahwa ia perlu mengetahui lebih lanjut tentang organ dalam di sekitaran perut sampai rahim Rae untuk menjustifikasi diagnosis awalnya.

Rae sempat terlihat cemas. Namun, Dokter Hilda mengatakan bahwa langkah ini perlu diambil untuk meminimalisasi segala kemungkinan terburuk jika ternyata Rae memiliki penyakit yang serius.

Maka Rae setuju melakukan USG dan tes darah. Pihak rumah sakit memberitahu Rae bahwa hasil USG dan cek darah bisa diambil tiga hari lagi. Rae mengangguk setuju dan akhirnya ia hanya mendapat resep vitamin dan penambah nafsu makan dari Dokter Hilda.

Rae berharap ini adalah sakit biasa dan kondisinya baik-baik saja.

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now