Bab 26 - Kesalahan Terbesar Raf

3.7K 408 27
                                    

Rae menatap nisan dengan nama Asma Fatimah itu dengan nanar. Satu jam yang lalu saat Raf dan Rae akhirnya sampai di Bandung, Rae sangat kaget melihat bendera kuning terpasang di depan pagar rumahnya. Perempuan itu langsung berlari masuk ke dalam rumah. Didapatinya keadaan rumah yang sesak dipenuhi orang-orang. Beberapa di antara mereka Rae kenal dengan baik. Para tetangga, kerabat Yusuf dan Asma, juga teman-teman Arvind dan Farezi.

Lalu kemudian, di hadapan kedua adik laki-laki dan ayahnya yang sedang malantunkan ayat suci dengan suara lirih, tangis Rae mulai pecah. Perempuan itu dengan lirih menanyakan di mana Asma berada. Arvind dan Farezi menghambur ke pelukannya dengan isak tangis yang sama. Rae tidak bisa berkata apa-apa lagi. Keadaan ini sudah cukup memberinya jawaban yang sangat jelas; bahwa Asma telah tiada.

Maka Yusuf mengajak Rae dan Raf ke makam Asma yang tanahnya masih basah dan penuh taburan bunga. Sebelum mereka berangkat, Rae sempat menatap Raf dengan pandangannya yang sangat tajam. Hanya dengan tatapan itu Raf tahu bahwa Rae sangat marah dan kecewa.

Maka di sinilah Rae sekarang. Duduk terpaku di hadapan pusara makam Asma dengan tatapan nanar dan air matanya yang berjatuhan. Suasana pemakaman sunyi dan sepi. Hanya ada Rae, Raf, keluarga Rae dan juga orang tua Raf. Perempuan itu mencengkram ujung nisan sampi buku-buku jarinya memutih. Rae sebelumnya pernah berkata bahwa ia tidak pernah takut kehilangan. Kapanpun orang di sekitarnya meninggal, ia siap menerima keadaan itu sebab segalanya memang telah direncanakan Allah. Ia tidak bisa menentang apa yang sudah Allah gariskan.

Rae tidak takut kehilangan. Itu benar. Tapi yang membuat hatinya merasa sakit dan sesak adalah kenyataan bahwa ia tidak bisa melihat wajah Asma untuk yang terakhir kalinya. Rae tidak bisa ikut memandikan Asma di penghujung usianya. Rae tidak bisa mengantarkan Asma ke pembaringan terakhirnya. Bahkan Rae belum sempat mengucapkan kepada Asma bahwa ia benar-benar bersyukur telah dilahirkan oleh perempuan sehebat Asma.

"Ra ... kita sudah hampir satu jam di sini. Kamu kelelahan. Kita pulang ya, Ra. Kamu harus istirahat." Raf berujar lirih sambil mendekap Rae dari samping. Ia rangkul bahu mungil Rae yang saat ini masih bergetar hebat. Rae masih diam dan tidak memberikan jawaban.

Yusuf memegang jemari Rae yang masih mencengkram nisan Asma. "Ra, ayo pulang ... nanti kita bisa ziarah lagi ke makam Ibu," bujuk Yusuf.

Terdengar helaan napas berat Rae. Perempuan itu pelan-pelan bangkit dari duduknya. Raf bisa melihat mata istrinya sudah memerah dan sembab. Rae menatap makam Asma sekali lagi sebelum ia akhirnya berjalan menuju mobil dan pulang ke rumah. Setiap langkah menjadi semakin berat.

Hari itu, semenjak pulang dari makam Asma, Rae tidak mengeluarkan suara. Ia benar-benar diam. Tidak bertanya apa-apa dan juga tidak ingin mendengarkan apa-apa. Rae lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Makanannya tidak tersentuh sedikitpun. Padahal di usia kehamilannya yang rawan, Rae harus makan dengan pola yang teratur sesuai resep dan meminum obat serta vitamin.

Beberapa kali Raf melihat Rae bolak-balik ke kamar mandi karena mual. Ia melihat wajah Rae semakin pucat. Geraknya melambat.

"Ra, kamu harus makan," ujar Raf pelan. Laki-laki itu duduk di tepi kasur. Ia memandang makanan Rae yang masih belum tersentuh dan susu yang masih utuh.

Rae hanya diam. Perempuan itu memandang lurus ke depan tanpa menatap Raf.

"Ra ... wajah kamu sudah pucat. Kamu dan bayi kita butuh nutrisi. Ingat pesan Dokter Adelaide ketika mengizinkan kita ke Indonesia? Dia bilang kamu harus jaga kesehatan."

Rae masih diam.

Raf memegang jemari Rae yang langsung ditepis pelan oleh perempuan itu. Rae memandang Raf cukup lama. Rae melihat Raf dengan tatapan bersalahnya. Laki-laki itu memejamkan matanya sejenak sambil memikirkan diksi yang tepat untuk berbicara dengan Rae.

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now