Bab 37 - Mendefinisikan Setia

4.1K 435 70
                                    

Setelah menelepon Rae berkali-kali dan tidak mendapatkan jawaban, Raf memutuskan unuk pulang ke rumah orang tua Rae. Jika dipikir-pikir, sejak Ilham meninggal, Raf dan Rae memang belum kembali ke rumah. Raf pamit kepada Lukman dan Lubna. Perempuan itu menatap Raf lekat-lekat dan tepat sebelum Raf keluar ruangan, Lubna memanggil Raf dengan suara lirih. "Raf ...."

Raf menoleh. "Ya?"

"Kamu benar-benar akan menikahi aku kan, Raf?" Lubna bertanya dengan suara bergetar. "Kamu nggak akan meninggalkan aku lagi kan? Kamu ... akan buat aku bahagia kan?"

Raf terdiam sejenak. Laki-laki itu membuang napas berat, lantas mengangguk dengan seulas senyum tipis. Setelah itu, Raf melihat senyum Lubna lebih lebar dari sebelumnya. Raf berjalan keluar ruangan dengan perasaan bersalah yang memenuhi dadanya. Sebelumnya, dia pikir dengan menikahi Lubna perasaan bersalahnya akan menghilang. Namun, sekarang justru Raf merasa bersalah kepada istrinya. Dengan langkah tergesa, Raf segera ke parkiran mobil dan melajukan mobil milik Yusuf ke rumah mertuanya.

"Nak Rafaz?" Yusuf yang sedang duduk di depan teras bangkit saat Raf baru saja keluar dari mobil.

Raf segera menyalami Yusuf, lantas menanyakan di mana Rae sekarang. "Rae sedang di kamarnya. Dia pulang dengan mata sembab dan belum cerita apa pun sama Ayah. Ayah nggak tahu persis apa masalah kalian dan Ayah nggak mau ikut campur karena yakin kalian bisa menyelesaikan masalah ini sendiri, tapi ... apa yang terjadi? Baru kali ini Ayah melihat putri Ayah menangis dan terlihat sangat sedih. Sebelumnya Ayah nggak pernah kecewa sama kamu, Raf, tapi kali ini ...." Yusuf menggantungkan kalimatnya, lantas menarik napas pendek. "Apa pun yang terjadi, kamu harus segera menyelesaikan masalah ini, Raf. Keadaan Rae baru saja membaik dan Ayah nggak mau dia terpuruk lagi. Ayah bicara ini bukan sebagai mertua kamu, Raf, tapi sebagai Ayah dari Rae."

Raf mengusap wajahnya, mengangguk pelan. Ia memasuki kamar dan melihat Rae sedang mengemasi barang-barang milik Raf ke dalam koper. "Ra? Kita mau ke mana? Kenapa kamu mengemasi barang-barangku?"

"Bukan kita yang ke mana, tapi kamu yang ke mana." Rae menjawab dingin, lantas menutup koper Raf dan menyeretnya ke depan laki-laki itu. "Aku lagi nggak mau ketemu kamu dulu, Mas. Tolong ... pergi dulu. Maaf kalau aku nggak sopan dan terkesan mengusir kamu. Kita sedang di Bandung dan aku nggak bisa ke mana-mana. Jadi, tolong ... kamu yang pergi."

Raf menggeleng pelan. Ia hendak memeluk Rae, tetapi perempuan itu segera menghindar. "Aku bisa pergi dari hadapan kamu kalau kamu nggak mau ketemu aku, Ra. Aku bisa pergi pagi-pagi sekali dan pulang larut malam untuk menghilang dari pandangan kamu, tapi tolong, Ra, biarin aku tetap di sini. Memastikan kamu baik-baik aja."

"Aku nggak akan pernah bisa baik-baik aja setelah kamu bilang akan menikahi perempuan lain."

"Jadi, kamu meminta aku pergi cuma karena Lubna?"

Rae tertawa sumbang lantas setelahnya satu tetes air matanya kembali keluar. "Cuma?" Ia mengambil jeda sejenak, menelusuri sorot mata Raf. "Kamu akan menikahi perempuan lain dan kamu bilang ... cuma? Aku benar-benar nggak mengerti jalan pikiran kamu, Mas. Apa rumah tangga kita sebercanda itu menurut kamu?"

"Bukan begitu, Ra. Aku bisa jelasin," lirih Raf. "Kamu harus tahu alasan aku ingin menikahi Lubna."

"Apa?" balas Rae sambil menatap Raf dengan gusar. Wajahnya merah padam. "Apa alasannya? Karena kamu kasihan sama Lubna?"

"Bukan, Ra. Aku—"

"Oh, jadi, kamu sebenarnya masih cinta sama Lubna?" potong Rae. "Dulu kamu sama Lubna pernah pacaran kan?"

"Itu benar, tapi bukan itu alasan aku menikahi Lubna. Aku—"

"Terus apa, Mas? Karena aku nggak bisa hamil? Karena kamu nggak mau menghabiskan sisa pernikahan kamu berdua sama aku? Apa? Apa alasan kamu?"

Raf duduk di tepi ranjang. Ia menatap Rae yang saat ini sudah menitikkan air matanya. "Hidup Lubna hancur, Ra. Dulu aku meninggalkan Lubna saat aku sudah janji akan selalu mendampingi dia. Dia melewati masa-masa sulit tanpa aku dan saat dia mau memulai semuanya dari awal, aku lagi-lagi menghancurkan hidupnya. Aku nggak bisa melihat Lubna terluka."

"Dan kamu pikir keputusan kamu ini nggak buat aku terluka?" tanya Rae dengan suara parau. "Aku yang lebih terluka, Mas! Kamu nggak mikirin perasaanku? Kenapa kamu lebih peduli dengan perasaan perempuan lain? Apa aku sudah nggak penting lagi buat kamu?"

"Aku memikirkan kamu lebih sering daripada aku memikirkan diriku sendiri. Situasianya sulit, Ra. Lubna akan menikah dan gara-gara kecerobohanku dia gagal menikah. Dia sampai depresi dan hampir mencelakakan dirinya sendiri, belum lagi ... dia keguguran. Aku hanya berusaha menyelamatkan kehidupan seorang perempuan, Ra."

Rae tertawa sumbang. Ditatapnya Raf tepat di manik matanya. "Jadi, kalau kamu menabrak sepuluh laki-laki yang akan menikah dan membuat kesepuluh laki-laki itu meninggal, kamu akan menikahi sepuluh perempuan itu dengan alasan ingin menyelematkan kehidupannya?"

"Nggak seperti itu, Ra. Kamu nggak paham maksudku."

"Aku memang nggak pernah bisa paham jalan pikiran kamu, Mas," balas Rae dengan lirih. "Kamu sendiri yang bilang sama aku, bagaimana pun keadaannya, kamu nggak akan pernah mendua. Aku ingat bagaimana kata-kata kamu tentang tidak akan pernah menambah bilangan sebagai wujud kesetiaan kamu sama aku. Ini yang kamu bilang setia?"

"Ra, setia itu bukan masalah angka."

"Lalu setia itu tentang apa?"

"Setia itu tentang menua bersama dan bertemu kembali dalam surga-Nya!" balas Raf dengan nada yang cukup meninggi. "Dan itu yang sedang aku praktikkan bersama kamu. Apa pun kondisi kamu, aku ingin menua bersama kamu, beribadah sama kamu, berdoa agar Allah mempertemukan aku dan kamu lagi di surga-Nya. Kalau kamu hanya mengaitkan setia dengan sebuah angka, lantas kamu mau mengatakan Rasulullah yang punya sembilan istri itu tidak setia?"

"Itu beda, Mas. Setiap Rasulullah menikahi seorang perempuan, ada urgensi yang memang harus dilaksanakan dan itu adalah perintah Allah melalui firman-Nya. Beda dengan kamu! Aku belum bisa mengatasi rasa cemburu. Aku belum mampu ikhlas kalau kamu nantinya akan berbagi. Lagi pula, kamu yakin bisa memperlakukan aku dan Lubna dengan adil?"

Raf terdiam sejenak. "Aku bisa belajar," ujarnya lirih. "Kamu guruku selama ini. Aku bisa belajar sama kamu."

Rae menggeleng. "Aku nggak akan sanggup mengajari kamu adil terhadap sesuatu yang menyakiti diriku sendiri."

"Ra—"

"Aku nggak mau bicara soal ini, Mas," potong Rae. Ia memalingkan wajahnya dan menghindari tatapan Raf. "Kalau kamu tetap mau menikahi dia ... kamu harus menceraikan aku."

"Istigfar, Ra! Semudah itu kamu bilang kata cerai? Kamu pikir pernikahan kita main-main?"

"Harusnya juga kamu mikir, Mas! Semudah itu juga kamu mau menikahi perempuan lain? Justru kamu yang menjadikan pernikahan kita main-main!"

Raf menghela napas berat, memejamkan matanya, lantas menarik koper pelan-pelan. "Sepertinya kita memang butuh waktu untuk sendiri dulu," lirihnya, "tapi kamu harus tahu kalau aku nggak pernah bermaksud menyakiti kamu."

Raf melangkah pergi keluar dari kamar. Sementara itu, Rae melihat punggung Raf yang menjauh dengan matanya yang sudah penuh dengan air mata. Tapi sekarang kamu melakukannya, Mas.

Pemberhentian Terakhir [Published]Место, где живут истории. Откройте их для себя