Bab 11 - Akad

6.1K 658 44
                                    

Raf tidak tahu kalau waktu bisa berjalan sangat cepat saat ia berharap bisa menundanya beberapa hari saja. Tinggal beberapa menit lagi, ia akan melangkah memasuki rumah Rae bersama kedua orangtuanya untuk pertemuan terakhir mereka sebelum pernikahan. Nyaris tidak ada perbedaan antara proses ta'aruf dan khitbah yang dilakukan Raf dan Rae. Semua prosesnya berjalan dengan cepat. Sejak pertemuan pertama Raf dengan keluarga Rae dua bulan yang lalu, Raf hanya sekali lagi ke rumah Rae untuk memastikan data dan berkas-berkas untuk pernikahannya. Di pertemuan itu, Rae sempat bertanya. "Apa yang membuat kamu yakin menikahi saya? Apa kamu ... uhm, memiliki perasaan suka atau ... cinta?"

Dan jawaban Raf adalah, "Kalau boleh jujur, saya belum suka atau bahkan mencintai kamu, Ra. Pertemuan dua kali dalam waktu yang singkat bukanlah waktu yang cukup bagi seseorang untuk memiliki apa yang disebut rasa suka dan cinta. Lagipula, saya menikahi perempuan bukan ketika saya mencintainya. Saya menikahi perempuan ketika saya yakin bahwa dengannya, saya bisa mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari apa yang saya rasakan saat ini. Keyakinan inilah yang hadir saat pertama kali saya bertemu dengan kamu di kereta saat itu. Dengan melihat bagaimana kamu menjaga izzah dan iffah, dengan tatapan takut yang kamu berikan kepada saya dalam dua kali pertemuan itu ... memberi kesan yang lain bagi saya."

"Kesan apa?"

"Kesan bahwa kamu adalah perempuan yang begitu takut kepada Allah sehingga kamu benar-benar takut menatap objek yang tidak dihalalkan. Dan objek itu adalah saya—seorang laki-laki. Saya hanya berpikir bahwa ketika kamu bisa memuliakan diri kamu sendiri, maka kamu akan lebih memualiakan suami kamu nantinya."

Dan malam ini Raf kembali menginjakkan kaki ke rumah Rae. Dengan segala aktivitasnya hari ini, Raf tidak bisa menyembunyikan lelahnya. Dia bahkan belum sempat makan siang karena mengerjakan skripsinya yang sudah setengah jalan. Berdasarkan tanggal yang telah disepakati, lima belas hari kedepan ia akan menikah. Dan ini adalah kali pertama orangtua Raf menemui orangtua Rae.

Mengembuskan napas pelan, laki-laki itu memantapkan langkah. Pagar rumah terbuka dan Raf beserta orangtuanya melangkah memasuki halaman rumah Rae. Pintu diketuk tiga kali dan sosok laki-laki usia tujuh belas muncul di belakang pintu. Itu adalah Farezi—biasa dipanggil Ayez—adik laki-laki Rae.

Farezi mempersilahkan Raf dan kedua orangtuanya masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, Yusuf dan Asma menyambut Tio dan Ima dengan hangat. Kedua orangtua itu saling berbincang satu sama lain. Karena ini pertemuan pertama mereka, banyak hal-hal tentang keluarga yang dibicarakan. Adapun Rae, perempuan itu lebih banyak diam dan hanya sesekali menjawab ketika ditanya.

"Insya Allah persiapan untuk walimah sudah selesai. Saya pribadi berterima kasih kepada Rae dan Pak Yusuf serta Bu Asma yang sudah membantu persiapan walimah," ucap Raf saat Tio bertanya bagaimana persiapan pernikahan mereka. "Saya juga bersyukur karena Rae menginginkan konsep pernikahan yang sederhana. Bukannya saya tidak ingin memberikan yang terbaik, hanya saja saya tahu bahwa bukan itu yang benar-benar kami butuhkan. Cukup dilaksanakan sesuai syariat, maka itu sudah lebih dari cukup."

Rencana pernikahan Rae dan Raf memang tidak terlalu mewah—nyaris seperti pernikahan pada umumnya. Dilaksanakan di gedung, mengundang tamu yang terbatas, serta dilakukan dalam waktu yang cukup singkat—mulai pukul delapan pagi dan selesai pukul satu siang. Alasannya sangat prinsipil. Rae dan Raf tidak ingin disibukkan mengganti pakaian pengantin dan melalaikan waktu salat. Yang membedakan pernikahan mereka dengan pernikahan pada umumnya adalah konsep infishal tam atau terpisah secara sempurna. Konsep ini sudah Raf diskusikan dengan kedua orangtuanya jauh-jauh hari sebelum Raf menikah—sejak ia masih kuliah tingkat satu. Meski awalnya menolak dan mengkritisi keputusan Raf, lambat laun orangtuanya—terutama Ima—dapat memahami keputusan tersebut. Apalagi, jika Raf sudah membawa dalil-dalil dari agama, Ima tidak bisa berkata apa-apa.

"Setelah kita menikah ... kamu tidak masalah kalau ikut menetap bersama saya di indekos dulu?" tanya Raf saat topik teknis masalah pernikahan selesai dibahas.

Rae mengangguk. "Kamu kan akan jadi imam saya. Apapun keputusan kamu, saya ikut. Saya hanya minta untuk tidak membatasi saya bergerak. Maksudnya, ketika ada agenda yang harus saya ikuti di luar, apalagi yang berhubungan dengan hobi dan passion saya, kamu bisa memberikan izin."

Raf mengangguk. "Selagi itu adalah hal yang baik dan tidak melanggar syariat, saya bukan hanya akan mengizinkan kamu. Jauh dari itu, saya akan mendukung kamu."

Pertemuan malam itu berakhir dengan cepat karena seluruh urusan pernikahan memang telah selesai. Raf beserta orangtuanya langsung pulang ke tempat indekos Raf. Keesokan harinya, Tio harus kembali ke Yogyakarta karena harus kembali mengajar. Sementara itu, Ima memutuskan untuk menetap di Bandung sampai hari pernikahan Raf.

Menuju hari pernikahan Raf, sesekali Ima masih sempat bertanya apakah Raf benar-benar yakin menikahi Rae. Raf hanya menanggapi kata-kata ibunya dengan senyum tipis seraya berkata, "Ibu sedang mencoba menggoyahkan hati Raf? Nggak akan bisa, Bu. Raf sudah istikharah dan Allah sudah menetapkan hati Raf untuk yakin dengan keputusan ini. Daripada bertanya seperti ini, lebih baik Ibu doakan Raf dan Rae. Raf yakin doa Ibu selalu ampuh memudahkan semua urusan Raf."

Mendengar penuturan lembut dari Raf, Ima tidak bisa berkata apa-apa lagi. Pada akhirnya, Raf tahu bahwa Ima sudah tulus memberikan restu. Hal itu bisa Raf lihat dari perubahan sikap Ima dari hari ke hari. Ibunya sering bertanya bagaimana proses persiapan pernikahan dan menawarkan bantuan yang bisa ia lakukan. Satu kali, Ima juga pernah memuji Rae. "Kalau bisa lulus tiga setengah tahun, itu artinya calon istrimu pintar ya, Raf? Baguslah. Perempuan pintar bisa mendidik anak yang pintar juga."

Waktu berganti cepat, hari yang dinanti pun tiba. Hari bertemunya dua insan dalam ikatan suci pernikahan. Raf mengenakan baju pakaian pengantin berwarna putih—lengkap dengan peci berwarna senada yang melekat di kepalanya. Sementara itu, Rae duduk di belakang hijab masjid tempat mereka melaksanakan akad nikah bersama Asma, Ima, dan beberapa kerabat perempuannya.

Suasana aula masjid yang dijadikan tempat akad tidak terlalu ramai karena hanya dihadiri oleh beberapa kerabat keluarga Raf dan Rae. Setelah acara dibuka dengan sambutan dan pembacaan doa, akad pun segera dimulai. Di atas meja, serial buku sirah yang Rae minta sebagai mahar sudah terletak di sana. Raf juga meletakkan satu bukunya yang baru dua hari lalu diterbitkan. Laki-laki itu menjabat tangan Yusuf. Setelah ijab dilantunkan oleh Yusuf, Raf langsung menjawabanya dengan sempurna.

Dan kata sah dari saksi menandakan bahwa Raf dan Rae resmi menjadi sepasang suami istri. Doa dibacakan, dan laki-laki itu langsung bersujud seketika. Air matanya tumpah. Yusuf mendekat ke arah Raf.

"Mengapa kamu menangis?"

"Saya bersyukur," jawab Raf pelan, dan hanya itu saja yang keluar dari lisannya.

Saat tangis kecil Raf mereda, ia melihat Rae dengan balutan kebaya gamis berwarna putih berjalan ke arahnya. Perempuan itu didampingi Asma dan kedua adik laki-lakinya—Arvind dan Farezi. Dari jarak pandang tiga meter, dengan melihat Rae berjalan ke arahnya, hati Raf kembali membuncah. Degupnya lebih kencang dari sebelumnya. Rae berjalan semakin mendekat dan deru jantung Raf semakin beradu cepat.

Tepat saat Rae sudah berdiri di hadapannya, Raf melangkah—berhadapan persis dengan perempuan yang kini sudah sah menjadi istrinya. Ditatapnya iris hazel Rae cukup lama. Raf menikmati setiap momennya karena inilah kali pertama Raf bisa leluasa menatap mata Rae tanpa takut dosa. Setelah itu, Raf tersenyum. Satu tetes air matanya kembali keluar. Raf juga melihat mata Rae sudah berkaca dan satu tetesnya jatuh membasahi wajah.

Raf berjalan mendekat, menghapus air mata Rae dengan ibu jarinya, tersenyum haru, lantas segera meletakkan tangan kanannya tepat di atas ubun-ubun Rae. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya seraya memejamkan mata.

Raf mulai melantunkan doa dengan lembut dan lirih. "Bismillahirrahmanirrahim.... Allahumma inni as aluka khaira ha wa khaira ma jjabaltana 'alaihi wa a-'udzu bika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha 'alaihi. [Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang telah Engkau ciptakan padanya. Dan aku berlindung kepadaa-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau ciptakan padanya]."

Setelah selesai membacakan doanya, Raf membuka kembali matanya dan mendapati ujung mata Rae kembali basah oleh air mata. Laki-laki itu tersenyum tipis, kemudian ibu jarinya kembali menghapus air mata Rae. Di detik selanjutnya, Raf mengecup kening Rae cukup lama dan berbisik lembut di telinga perempuan itu. "Selamat berbuka puasa, Ra. Semoga Allah memberkahi pernikahan kita."

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now