Bab 31 - Melepas Rindu

4K 417 19
                                    

Ketukan di pintu kamarnya membuat Rae menunda sejenak aktivitas di depan laptopnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. "Siapa?" tanya Rae. Tidak ada jawaban. Rae bangkit dari kursi kemudian membuka pintu kamar.

Setelah membuka pintu, mata perempuan itu membelak karena terkejut sekaligus bahagia melihat laki-laki di hadapannya yang kini sedang tersenyum. "Mas Raf?!"

Raf langsung membawa Rae ke dalam pelukannya. Laki-laki itu menghela napas panjang sambil mengusap pelan puncak kepala Rae. Rae balas memeluk Raf dengan erat. Matanya sampai berkaca karena merasa bahagia. Rae merasa kepulangan Raf adalah komponen terakhir dari pengobatan hatinya selama empat bulan belakangan ini. Pelukan itu terpaksa berhenti karena Raf ingin lebih lama menelusuri wajah istrinya. Rae balas menatap Raf. Senyumnya mengembang.

"Bukannya Mas Raf pulangnya masih dua hari lagi?" tanya Rae.

Raf menggeleng sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Digenggamnya tangan Rae. Ia rindu tangan mungil istrinya itu. Rae ikut masuk ke dalam kamar. Keduanya duduk di tepi tempat tidur kemudian saling berpandangan.

"Rinduku sudah nggak bisa diobati dengan doa lagi, Ra," ujar Raf sambil tersenyum tipis.

Rae tersipu malu sambil memperhatikan lekuk wajah Raf. Tidak banyak yang berubah. Raf masih punya tatapan yang menenangkan, senyum penuh cinta, juga raut wajah yang selalu terlihat bahagia. Raf melihat layar laptop Rae yang masih menyala juga beberapa tumpukan kertas yang Raf yakini adalah data-data penaja dan donatur program Sekolah Kita yang sudah digagas Rae sejak lama. "Jadi gimana Sekolah Kita? Lancar?"

"Lancar, Mas. Dana yang terkumpul memang belum terlalu banyak, tapi sudah ada lima titik awal yang ditentukan untuk pembangunan Sekolah Kita. Banyak sekali orang-orang baik yang mendukung program ini. Aku sampai terharu karena bantuan dana selalu datang. Mulai akhir tahun ini, pembangunan sekolahnya sudah dimulai setelah proses perizinannya selesai."

Raf membelai lembut kepala Rae. "Kalau online shop kamu ... gimana?"

"Itu juga lancar, Mas. Aku nggak punya jiwa bisnis, tapi semuanya berjalan baik karena aku dibantu sama tim yang baik. Kalea yang paling antusias karena dia memang suka banget belanja baju muslimah. Dia juga banyak nguatin aku, Mas."

Semenjak di Bandung, Rae memang memulai bisnis online shop yang memproduksi pakaian muslimah seperti gamis dan kerudung. Ide itu ditawarkan oleh Kalea yang saat ini melanjutkan kuliah di tempat yang sama dengan studi S1-nya. Kalea mengajak Rae untuk bisnis bersama agar temannya itu disibukkan oleh aktivitas postif dan bisa membuat Rae pelan-pelan bangkit kembali.

"Aku bangga sama kamu, Ra," ujar Raf.

Perempuan itu tersenyum. Jemarinya menelusuri wajah Raf yang terlihat kelelahan. Rae menangkup pipi kanan Raf dengan telapak tangan kanannya. "Kamu di sana capek banget ya?"

"Namanya juga mahasiswa, Ra," balasnya sambil tersenyum. "Kamu tahu gimana capeknya. Kan, kamu juga pernah merasakan. Gimana sulitnya mengatur waktu antara kuliah, kerja, dan tetap menuntut ilmu agama."

Rae mengangguk. Jemarinya menelusuri rambut Raf yang sudah sedikit panjang. "Rambut kamu mulai panjang, Mas. Belum sempat cukur, ya?" tanya Rae.

Raf hanya mengangguk. Kemudian, Rae meletakkan tangannya tepat di belakang leher Raf dengan lembut. Raf sempat merasakan dirinya menegang karena kaget. Tapi buru-buru ia redam perasaannya itu dengan tersenyum singkat. "Aktivitasmu apa aja?" tanya Rae sambil tersenyum.

"Ya ... seperti mahasiswa dan pekerja pada umumnya. Kuliah, ke perusahaan, rapat, riset, observasi, praktikum."

Rae mengangguk paham. "Apa bagian tersulitnya?"

"Ketidakhadiranmu," balasnya setelah hening beberapa detik. "Itu bagian tersulitnya."

Mendengar itu, Rae menampilkan wajah sedihnya. Rae langsung meletakkan tangannya yang semula melingkar di bahu Raf. Raf yang paham dengan perubahan wajah Rae kembali membawa tangan istrinya itu ke posisi semula. "Aku suka sentuhan lembut kamu di bagian belakang kepalaku, Ra," ujar Raf. "Dan apa yang aku bicarakan sama kamu sebelumnya bukan untuk buat kamu merasa bersalah. Kamu pernah bilang untuk saling terbuka dan membagi segala kesulitan. Nah, barusan aku jujur sama kamu. Bagian tersulit dari studiku di Jerman adalah ketidakhadiran kamu."

"Kenapa?"

Raf menyelipkan rambut Rae ke belakang telinganya. "Kamu tahu apa alasannya," jawab laki-laki itu tenang. "Kamu sendiri yang pernah bilang bahwa kamu akan menjadi rumah tempat aku bisa mengistirahatkan lelah. Kuliah, kerja, dan melakukan penelitian dalam waktu yang bersamaan itu melelahkan, Ra. Tapi kalau ada kamu, mungkin lelahnya akan terobati."

"Maaf ...."

Raf menggeleng sambil tersenyum. "Aku bicara ini bukan untuk menyalahkan kamu. Hanya ingin berbagi keluh kesahku aja, Ra. Justru ada banyak pelajaran mahal yang bisa aku ambil selama empat bulan aku kuliah di Jerman sendirian. Tentang bagaimana aku harus bisa menghargai setiap detik yang kita lewati bersama, tentang bagaimana aku harus banyak bersyukur pada setiap masalah dalam rumah tangga kita. Aku juga akhirnya tahu, bahwa aku tanpa kamu nggak akan pernah menjadi laki-laki yang hebat."

"Dan aku tanpa kamu juga nggak akan menjadi perempuan yang kuat," timpal Rae.

Raf tersenyum hangat.

"Kalau begitu, sebaiknya sekarang Mas mandi dulu terus istirahat. Pasti Mas capek, 'kan?"

"Capeknya hilang pas ketemu kamu."

"Gombal!" ujar Rae sambil tertawa. "Aku masakin air hangat untuk mandi dulu, ya? Sekalian siapin Mas makan malam."

Baru saja Rae ingin berdiri, Raf sudah lebih dulu menarik lembut tangan Rae kemudian memeluknya sekali lagi. Setelah itu, Raf mencium kening Rae. "Tentang menata hati kamu kembali ... Gimana? Berhasil?" tanya Raf sambil memandang Rae lekat-lekat.

Rae menyugar pelan rambut Raf dan membelai lembut bagian belakang kepala suaminya. Perempuan itu mengangguk. "Berkat kamu, Mas, semuanya berjalan baik."

Raf ikut tersenyum. "Aku bau keringat nggak, Ra?" tanya Raf tiba-tiba.

Rae mengernyit sambil mendekatkan wajahnya ke badan Raf. Setelah itu Rae menggeleng. "Wangi kok. Emang kenapa?"

"Berarti kamu nggak keberatan dong kalau...."

"Apa?"

Raf tidak membalas ucapan Rae dengan sebuah kata atau kalimat. Yang dilakukan laki-laki itu hanya memangkas jarak wajah dengan wajah Rae, kemudian dengan lembut Raf menangkup kedua pipi istrinya. Rae tersipu malu sambil menunduk. Raf membawa Rae berbaring di tempat tidur kemudian ia segera memadamkan lampu kamarnya. Malam itu, Raf dan Rae melepas rindunya.

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now