Pemberhentian Terakhir [Publi...

De penacandramawa

293K 28K 3K

[BUKU PERTAMA DWILOGI RIHLAH CINTA | SUDAH DITERBITKAN, PEMESANAN LANGSUNG KE PENERBIT REX PUBLISHING] Bagi R... Mai multe

Buku Pertama - Pemberhentian Terakhir
Prolog
Bab 1 - Gerbong Kereta Nomor Delapan
Bab 2 - Mimpi Raelesha dan Permintaan Asma
Bab 3 - Pencarian Virtual
Bab 4 - Bus Kota dan Pertemuan Kedua
Bab 5 - Notifikasi yang Dinanti
Bab 6 - Bukan Makan Biasa
Bab 7 - Mengembalikan Pembatas Buku
Bab 8 - Oke
Bab 9 - Yang Sudah Allah Gariskan
CV | Raf
CV | Rae
Bab 10 - Pertemuan Pertama
Bab 11 - Akad
Bab 12 - 'Berbuka Puasa'
Bab 13 - Titik Awal Rihlah Cinta
Bab 14 - Mewujudkan 'Seperti'
Bab 15 - Keluh-Kesah di Yogyakarta
Bab 16 - Keinginan Asma
Bab 17 - Menjemput Impian
Bab 18 - Obat Sedih Raelesha
Bab 19 - Tentang Takdir yang Sudah Allah Tuliskan
Bab 20 - Tempat Ternyaman
Bab 22 - Makna Setia dan Peluang Mendua
Bab 23 - Kabar Kehadiran Al-Fatih Kedua
Bab 24 - Kebahagiaan Raelesha
Bab 25 - Berita Duka
Bab 26 - Kesalahan Terbesar Raf
Bab 27 - Tangis Raf dan Rae
Bab 28 - Semua Yang Tidak Baik-Baik Saja
Bab 29 - Menata Ulang Segalanya
Bab 30 - Jarak dan Luka Yang Terobati Pelan-Pelan
Bab 31 - Melepas Rindu
Bab 32 - Kecelakaan dan Pertemuan Tak Terduga
Bab 33 - Raf dan Lubna
Bab 34 - Perasaan Bersalah yang Tak Kenal Lelah
Bab 35 - Perdebatan dan Isak Tangis
Bab 36 - Menunaikan yang Pernah Diucapkan
Bab 37 - Mendefinisikan Setia
Bab 38 - Ketidakikhlasan Kita
Bab 39 - Mengulur Waktu, Memahat Luka Baru
Bab 40 - Berjuang, Bersama-sama
Bab 41 - Memaknai Ujian yang Allah Berikan
Bab 42 - Mari Kita Mengeluh
Bab 43 - Cara Bijaksana untuk Menorehkan Luka
Bab 44 - Membangun 'Rumah' Baru
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Epilog
Catatan
Tanya Jawab Pemain
Info Penerbitan (Vote Kover, Info PO, dll.)
Info Pre Order
Info Pre Order (2)
Buku Kedua - Persinggahan Sementara
Info Pre Order PT 2.0

Bab 21 - Pelesir Turki

5.8K 536 53
De penacandramawa

Rae tidak pernah membayangkan bahwa dua puluh lima hari itu berangsur cepat. Untuk ukuran seseorang yang tidak pernah melakukan perjalanan jauh dan menetap berhari-hari di negeri orang, biasanya detik akan terasa melambat karena perasaan bosan. Tapi justru, perjalanan Raf dan Rae di Turki hanya terasa sejekap saja. Mungkin karena padatnya rencana perjalanan mereka, atau mungkin karena keduanya merasa bahagia.

Ketika seseorang bahagia, waktu terasa relatif lebih cepat, bukan?

Senyum Rae mengembang. Perempuan itu tengah menatap Raf yang sedang tertidur pulas. Rae melihat sisa-sisa garis kebahagiaan yang terukir jelas di wajah Raf. Ini hari terakhir mereka berada di Turki sebelum besok keduanya harus pergi ke bandara dan terbang ke Jerman. Raf akan memulai kuliah magisternya dua pekan lagi dan karena ada hal administrasi yang harus diurus, maka Raf harus ada di Jerman mulai pekan depan.

Ketika Rae mengingat bahwa ia akan tinggal di Jerman bersama Raf selama kurang lebih dua tahun, Rae tiba-tiba saja menganggap hal itu sangat menyenangkan. Rae sudah mulai merencanakan apa saja yang akan ia lakukan selama di Jerman. Bahkan Rae yang tidak pernah peduli dengan letak geografis sebuah kota di negera lain—selain Indonesia, khususnya Bandung—beberapa hari yang lalu mulai membuka gawainya dan mengecek beberapa tempat wisata di Jerman yang bisa ia kunjungi. Rae juga sudah memutuskan bahwa ia akan mengikuti les bahasa Jerman sesuai saran Raf.

Rae mengusap pelan pipi kanan Raf. Sentuhan itu membuat Raf melenguh perlahan. Buru-buru Rae mengusap pelan kepala Raf dengan gerakan dulu sering ibu dan ayahnya lakukan ketika Rae masih kecil agar ia kembali terlelap. Akan tetapi, bukannya terlelap, Raf malah membuka perlahan matanya. Laki-laki itu langsung menghadapkan badannya ke arah Rae, memandang manik mata istrinya lekat-lekat.

"Maaf, aku bikin Mas bangun."

Raf tersenyum sambil menggeleng kecil. Memberi pesan kepada Rae bahwa hal tersebut sama sekali bukan masalah yang besar. Laki-laki itu menyelipkan rambut Rae ke belakang telinganya. Telapak tangan Raf menyentuh lembut pipi kiri Rae. Raf tersenyum. Rasanya sudah lama sekali ia jarang berpandangan dengan istrinya seintim ini. Kesibukannya di Yogyakarta menyita waktu Raf bersama Rae. Pagi hari Raf sudah berangkat entah itu kursus bahasa, menyelesaikan riset, atau menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Ketika pulang, Raf dan Rae hanya akan berbicara di sela-sela makan malamnya. Raf kembali menyelesaikan tugasnya dan biasanya ketika laki-laki itu ke kamar, Rae sudah lelap tertidur karena perempuan itu juga lelah setelah seharian mengajar dan mengurus platform Sekolah Kita yang didirikannya.

"Kamu kenapa belum tidur?" Raf bertanya lembut.

"Nggak tahu kenapa. Memang belum ngantuk aja, Mas," balas Rae. "Mas lanjutin aja tidurnya. Nanti aku juga tidur, kok."

Raf menggeleng kecil. "Aku jadi nggak kepengin tidur."

"Terus maunya apa?"

"Ngeliatin kamu aja," balas Raf sambil kembali memangkas jarak. "Sinian dong, Ra, jangan jauh-jauh. Kayak lagi musuhan aja."

Rae mendekat, meletakkan kepalanya di dada Raf.

"Dingin, Ra."

"Matiin AC-nya, ya?"

"Nggak usah sok nggak ngerti kode." Raf berdecak. Alih-alih mendekat, Rae malah memundurkan badannya ke belakang sambil tertawa pelan.

"Emang nggak ngerti," balas Rae sambil menjulurkan lidahnya.

"Kelamaan." Raf berdecak ringan kemudian langsung menarik badan mungil Rae ke pelukannya. "Nah, kalau gini kan dinginnya hilang."

Rae tersenyum. Dalam dekapan Raf, ia selalu merasa tidak perlu ke mana-mana lagi. Rasanya selalu sama; hangat dan nyaman. Seperti perasaan yang selalu Rae rasakan seperti ketika ayah dan ibu memeluknya. Hanya saja, ada getar yang beda dalam pelukan Raf. Itulah yang Rae yakini sebagai cinta.

"Gimana Turki menurut kamu?" Raf bertanya dengan suara yang sedikit berat. Laki-laki itu masih mengumpulkan kesadarannya sampai penuh.

"Indah banget. Aku suka!"

"Dari sembilan kota dan beberapa tempat yang sudah kita datangi, favorit kamu yang mana?"

Rae terdiam sejenak. Ingatannya kembali saat mereka berdua bepergian ke sembilan kota yang memang sudah ada dalam rencana perjalanan mereka. Raf dan Rae menikmati satu kota selama dua sampai tiga hari. Di satu kota itu, mereka mengunjungi beberapa tempat wisata dan masjid yang cukup ramai dan memang sering didatangi oleh para turis. Bicara soal masjid, tentu Rae tidak akan lupa bagaimana jantungnya memacu lebih cepat dan matanya sampai meneteskan air mata saat mereka mengunjungi Hagia Sophia di hari kedua. Dulu bangunan itu adalah sebuah gereja yang kemudian berubah menjadi masjid. Saat ini, Hagia Sophia telah menjadi museum yang mendokumentasikan sejarah Turki.

"Hagia Sophia ... dan senja di Jembatan Galata," balas Rae pelan. Raf memeluknya lebih erat. Tangan perempuan itu juga melingkar sempurna di badan Raf. Perasaan haru dan bahagianya kembali hadir saat mengingat percakapannya dengan Raf ketika mereka mengamati bagunan kokoh Hagia Sophia.

Raf yang saat itu memandang langit-langit museum berdecak kagum. "Aku ingin yang seperti ini ada di Indonesia," ujar Raf pelan. "Satuuuuu aja. Tapi, letaknya di dekat rumah kita."

Rae tertawa. Bagi Raf dan Rae, Hagia Sophia bukan hanya sekadar museum yang menyimpan sejarah peradaban Islam. Bangunan itu memiliki arti lain. Rae mulai menyukai sejarah peradaban Islam justru dimulai dari sejarah penaklukan Konstantinopel, bukan penaklukan kota-kota lain yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat. Sementara Raf, laki-laki itu mulai menyukai Turki semenjak mempelajari Kekaisaran Ottoman serta sebab-sebab runtuhnya peradaban Islam yang telah berjaya selama empat belas abad di sana.

Dan kerinduan mereka pada kejayaan Islam yang cemerlang tertuang pada visi misi pernikahan mereka.

"Aku kaget ketika baca visi pernikahan Mas di CV ta'aruf," kata Rae saat mereka berkeliling di dalam Hagia Sophia. "Tapi senang juga. Sebenarnya agak nggak percaya. Kok bisa hampir sama dengan visi pernikahan aku? Terus setelah aku pikir-pikir lagi, sepertinya dari situlah aku sudah klik sama Mas."

Raf tersenyum kecil sambil merangkul Rae. "Aku juga nggak menyangka kalau kamu punya visi pernikahan yang sama seperti aku. Aku langsung ingat kisah orang tuanya Salahuddin Al Ayyubi. Kedua orang tuanya sama-sama mencari kriteria pasangan yang sama. Yaitu pasangan yang darinya mereka punya keturunan yang kelak bisa menaklukan kembali Baitul Maqdis. Dan Baitul Maqdis itu benar-benar takluk dari keturunan mereka."

Rae mengangguk. Ia juga tahu kisah itu. "Kalau kita ... bisa nggak ya?" tanya Rae ragu. "Maksudku tuh, gimana ya, Mas? Kayak ... mungkin nggak sih? Soal punya keturunan yang bisa menjemput bisyarah Rasulullah dengan menjadi penakluk Roma ... terlalu muluk nggak?"

Masih terekam dengan sangat jelas dalam ingatan Rae bahwa saat ia menanyakan hal itu kepada Raf, Raf hanya tersenyum, mengeratkan genggamannya, kemudian berjalan ke sisi lain Hagia Sophia. Setelah selesai dan keluar, Raf mengajak Rae duduk di salah satu kursi yang berada di Galata Bridge. Jembatan itu memiliki pemandangan yang luar biasa. Dari sana, Raf dan Rae bisa melihat dua sisi dari dua benua—Asia dan Eropa—yang menyatu. Beberapa bangunan tua yang indah terlihat. Menara-menara masjid yang menjulang tinggi, rumah-rumah khas Turki, dan juga pemandangan Hagia Sophia, Blue Mosque, dan Topkapi Palace bisa terlihat dari jembatan ini. Jembatan ini terdiri atas dua tingkat. Di bawah, berjejer kafe dengan berbagai jenis makanan. Sementara itu, di atas mobil, motor, dan pejalan kaki dapat menggunakannya untuk menyebrang lautan.

Raf memesan sandwich ikan yang merupakan makanan terkenal di sana. Rae ikut antusias dan memilih beberapa menu lain. Sebelum Raf berkomentar dan memandang Rae dengan tatapan yang seolah berkata, "Serius kamu mau makan sebanyak itu?"

Rae sudah lebih dulu memberi pernyataan final. "Aku bukan Fir'aun! Aku cuma mau membahagiakan cacing-cacing di perutku!"

Dan Raf hanya tertawa. Jejeran kafe dengan berbagai jenis makanan tentu saja 'hiburan' tersendiri bagi Rae.

"Tadi kamu tanya, apakah visi pernikahan kita terlalu muluk, sekarang ... aku mau jawab." Raf membuka pembicaraan. Laki-laki itu memandang ke arah laut lepas. Warna jingga menggantung di kaki langit. Mereka memang berencana untuk menikmati matahari tenggelam di Galata Bridge kemudian shalat magrib berjamaah di Blue Mosque.

"Lihat, Ra." Raf mengarahkan tangannya untuk menunjuk Hagia Sophia yang terlihat gagah dan megah dengan menara-menara tingginya. "Dulu, ketika menara-menara gereja masih menjulang tinggi, Islam belum mendominasi sama sekali, apa pernah orang tua Muhammad Al Fatih menganggap bahwa cita-citanya untuk mempunyai generasi penakluk itu terlalu muluk?"

Rae menggeleng. Ia tahu betul kisah itu. Bahwa ibunda Muhammad Al Fatih mempunyai optimisme yang tinggi. Setiap pagi ia membawa Muhammad Al Fatih kecil melihat bentangan alam yang luas kemudian berkata, "Engkaulah sang penakluk Konstantinopel. Engkaulah pemimpin yang ada dalam hadits Rasulullah."

"Kita harus berani bercita-cita besar, Ra," kata Raf lagi. Raf sempat menunda ucapannya sejenak saat pelayan datang membawa makanan dan minuman yang telah mereka pesan. Rae memakan sandwich ikannya. Raf ikut memakan santapan itu. "Nggak ada yang nggak mungkin. Kita hanya perlu ikhtiar, doa, dan tawakkal."

"Tapi kadang aku merasa visi pernikahan kita itu terlalu muluk untuk ukuran perempuan sensitif dan manja seperti aku. Aku belum cukup baik menjadi istri. Dan setelah aku bandingkan, bagaimana bisa kita punya Al Fatih kedua, disaat aku nggak bisa menjadi ibu yang sempurna."

"Bukan nggak bisa, Ra, tapi belum bisa," balas Raf. Ia memakan kembali sandwich-nya. Sesekali ia melihat Rae dan melemparkan pandangannya kembali ke arah laut lepas. "Dan mana ada manusia yang sempurna? Kamu perlu belajar menjadi seorang ibu. Aku perlu belajar menjadi seorang Ayah. Kita sama-sama belajar, Ra. Kalau dulu aku berusaha memantaskan diri menjadi seorang suami, sekarang aku harus belajar memantaskan diri menjadi seorang yang kelak dipanggil Abi. Kamu juga, perlu terus memantas diri menjadi seorang Umi."

Rae mendesah perlahan. "Dalam setiap doa kita, harapan kita tentang mempunyai anak yang bisa menjadi Al Fatih kedua ... akan Allah kabulkan nggak, Mas?"

"Kamu yakin Allah akan mengabulkan?"

Rae terdiam, cukup lama, kemudian menggeleng pelan. "Maksudku, yah, mungkin belum. Nggak tahu, Mas. Hanya saja aku ragu. Seperti ... doa yang terlampau tinggi."

Raf tersenyum kecil. "Itu letak masalahnya," kata laki-laki itu. Ia menguyah potongan terakhir sandwich ikannya kemudian memandang Rae lekat-lekat. "Modal pertama dari dikabulkannya doa adalah perasaan yakin bahwa doa itu akan dikabulkan. Nggak ada doa yang terlalu tinggi, Ra. Ketika kita ragu Allah bisa mengabulkan doa kita, itu artinya kita sedang meragukan salah satu ayat Al-Quran. Bukankah ketika Allah berkata 'Kun Fayakun' maka apapun yang diinginkan-Nya akan terjadi saat itu juga? Mungkin itu sebabnya kita belum juga Allah amanahkan seorang anak. Karena kita sendiri masih ragu, masih takut, masih belum berani bercita-cita besar. Kita masih munafik dalam berdoa. Masih lalai dalam bersujud. Di lisan kita berkata bahwa kita yakin Allah mengabulkan segala doa. Tapi di hati, kita ragu bahwa Allah akan memudahkan segalanya. Kita perlu berbenah, Ra. Masih banyak doa-doa kita yang hanya singgah namun belum benar-benar sungguh."

Perkataan Raf hari itu seolah menampar Rae. Rae tidak bisa menafikan bahwa ia masih ragu saat berdoa. Dan mungkin itulah sebab utama Allah balik ragu untuk mengabulkan doanya. Mulai hari itu Rae mendapatkan pelajaran penting; bahwa ia harus memperbaiki kualitas dan kuantitas doanya. Menggenapkan yang selama ini ganjil. Melengkapkan yang selama ini kurang.

Rae tersenyum. Momen menikmati senja di Galata Bridge itu sangat terpatri kuat dalam ingatannya. Raf adalah kawan bicara yang baik. Berdiskusi dengan laki-laki itu bukan hanya memberikan porsi tambahan rasa bahagianya, tetapi juga menambah pelajaran mahal yang tidak pernah Rae dapatkan sebelumnya.

"Selain Hagia Sophia dan Galata Bridge, mana lagi yang paling berkesan untuk kamu?"

Pertanyaan Raf kembali membuat Rae mengingat momen-momen yang paling berkesan baginya. Dalam memori Rae, kini berjejer beberapa potongan kisah yang membentuk album pada setiap perjalanan mereka di berbagai tempat. Ingatan Rae terhenti pada sebuah momen ketika mereka menaiki balon udara kemarin.

"Kota yang sekarang kita datangi, Cappadocia," kata Rae pelan. "Pengalaman naik balon udara itu berkesan banget untuk aku."

"Berkesan karena pemandangannya yang indah ya?"

Rae terdiam lagi. Jawaban dari pertanyaan Raf sudah jelas: tentu saja Rae sangat terkesan oleh pemandangan yang bisa ditangkap dari balon udara. Pemandangan alam di Cappadocia yang indah itu dikombinasikan dengan kondisi cuaca terbang yang relatif stabil sepanjang tahun. Balon udara terbang melewati atas pemukiman, peternakan, formasi bebatuan yang berbentuk seperti 'fairy chimney' atau rumah peri-peri, lembah-lembah, hingga kebun anggur dan buah-buahan. Pemandangan Cappadocia dari udara begitu sensasional. Tiap waktu yang berlalu selalu ada sesuatu yang baru untuk dilihat, dari hunian di gua yang aneh sampai 'fairy chimney'. Semuanya disajikan dalam sudut pandang yang berbeda dengan pemandangan hiking di lembah. Rae seperti sedang berada dalam film UP!

Tapi, ada pelajaran mahal yang ia dapat di dalamnya. Tentang pertemuannya dengan turis dari Indonesia juga yang satu keranjang dengan ia dan Raf saat menaiki balon udara.

"Ra? Tidur?"

"Enggak, Mas. Aku lagi mengingat momen kita pas naik balon udara. Yang lebih berkesan dari indahnya pemandangan Cappadocia adalah perkataan kamu tentang setia."

Raf ikut mengingat momen mereka saat naik balon udara. Raf dan Rae satu keranjang dengan turis yang juga berasal dari Indonesia. Mereka adalah pasangan suami istri. Awalnya Raf dan Rae hanya sibuk berfoto sambil mengamati pemandangan alam dengan takjub. Fokus mereka terpecah saat sang suami dari pasangan Indonesia itu berkata lembut di samping istrinya. "Kita sampai di Cappadocia, Ri. Andai kamu bisa melihat betapa indahnya kota ini, juga bisa mendengar hembusan angin ini ... pasti kamu akan bahagia. Dan aku lebih bahagia."

Saat itu Rae dan Raf kompak memperhatikan pasangan itu. Rae baru menyadari bahwa sang istri kehilangan fungsi penglihatannya ketika ia melihat bahwa perempuan itu memandang kosong ke depan dengan senyum lebar yang terpasang.

Sang suami menuliskan sesuatu di telapak tangan istrinya. Sang istri tersenyum lebih lebar. Tangannya meraba wajah suaminya. "Aku lebih dari bahagia, Daru. Mataku memang nggak bisa melihat. Telingaku juga nggak bisa mendengar. Tapi hatiku bisa merasakan. Terima kasih sudah mewujudkan keinginanku untuk ke kota ini, naik balon udara, dan menikmati fajar di pagi hari. Terima kasih sudah rela menjadi telinga dan mataku selama sepuluh tahun ini. Terima kasih masih menjadikan aku satu-satunya pilihan. Terima kasih karena berani mengambil resiko untuk menghabiskan sisa pernikahan kita hanya berdua saja. Terima kasih ... karena kamu berkali-kali tetap memilih setia sedangkan kamu punya peluang besar untuk mendua."

Laki-laki yang dipanggil Daru oleh istrinya itu menitikan air mata. "Aku yang harusnya berterima kasih, Gauri," balas laki-laki itu yang tentu saja tidak didengar oleh istrinya. "Dari kamu, aku benar-benar belajar menjadi lelaki yang setia dan tahu definisi cinta yang sesungguhnya."

Kemudian Raf dan Rae melihat Daru menuliskan sesuatu di tangan istrinya. Sang istri tersenyum dan dari ujung matanya terjatuh satu bulir air mata. "Aku lebih mencintai kamu."

Tanpa penjelasan lebih, Rae dan Raf sudah paham apa yang terjadi kepada pasangan tadi. Rae kembali memandang Coppadocia sambil tersenyum samar. "Kalau kondisi aku seperti itu ... Mas juga akan tetap setia?" Rae bertanya pelan dan menekan kata setia di akhir kalimat tanyanya.

Raf memandang istrinya. "Aku hanya bilang ini sekali. Dengar baik-baik ya, Ra," kata Raf pelan. "Bagiku satu sudah mewakili segalanya. Satu sudah lebih dari cukup. Terlebih lagi, satu itu adalah kamu. Walaupun rasa cinta dan sayang aku ke kamu nantinya akan menghilang, atau kejenuhan akan memenuhi hati aku perlahan ... percayalah, Ra. Aku nggak akan pernah menambah bilangan."

Saat itu Rae tertegun sejenak.

Raf merangkul bahu Rae. "Hanya ada Raf dan Rae dalam buku yang sekarang aku tulis. Hanya ada Raf dan Rae dalam perjalanan empat benua, sembilan negara, dan empat puluh sembilan kota yang akan kita jelajahi bersama. Hanya ada Raf dan Rae dari pemberhentian awal hingga pemberhentian akhir kisah kita."

Ucapan itu Raf akhiri dengan sebuah kecupan hangat di puncak kepala Rae. Rae tahu Raf adalah laki-laki yang akan menjaga perasaannya. Rae tahu Raf yang lebih memahami makna setia. Rae tahu Raf akan selalu menjadikan Rae sebagai pemberhentian terakhirnya. Hanya saja Rae tidak tahu, bahwa pemilik kisah ini sama sekali bukan mereka. Rae juga lupa, bahwa setia bukan hanya masalah angka.

/ / /

Catatan Penulis:

Chapter terpanjang sejauh ini?

Aku nggak akan ceritain Raf dan Rae itu kemana aja. Karena cerita ini bukan untuk share rihlahnya Raf dan Rae aja. Tapi lebih ke gimana mereka ngejalanin 'perjalan kisah pernikahan' mereka itu sendiri.

Intinya mereka udah pelesir Turki selama 25 hari. Yang mau aku tulis di next chapter adalah perjalanan mereka yang paling berkesan. Ini baru flashback ke Hagia Sophia, Galata Bridge, sama naik balon udara di Cappadocia. Mungkin soon flashback-nya mereka di Istiklal Street, Blue Mosque, Grand Bazaar dll.

Ohya ini ada hadits yang menginspirasi aku untuk merasa yakin dulu kalau mau minta dan berdoa sama Allah.

"Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai." (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Haditsnya hasan, tapi aku nggak terlalu mempermasalahkan itu. Sebab, ya ... tetap bisa dijadikan bahan intropeksi juga. Mungkin selama ini doa kita nggak kunjung dikabulkan karena kita udah ragu duluan, ditambah hati kitanya lalai. So, jangan lupa. Modal utama berdoa tuh, yakin dulu ya! Haqqul yaqin sama Kun Fayakun-nya Allah.

Bonus foto. Cappadocia debest!!! (kedua setelah Hagia Sophia sih hehehe) Makin ngiler ingin ke sana. Bantu doa :')


Hagia Sophia


Galata Bridge

Balik Ekmek atau Sandwich Ikan

Balon udara di Cappadocia

Masya Allah nggak sih lihat giniaaaan :') plis banget bantu doa dan shalawat supaya aku dan kalian bisa ke sana!

Continuă lectura

O să-ți placă și

62.2K 2.9K 29
"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan s...
226K 15.9K 47
ini cerita pertama maaf kalo jelek atau ngga nyambung SELAMAT MEMBACA SAYANG(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)
174K 16.5K 52
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
1.3M 77.9K 52
[Terbit dan lengkap. Tersedia di TBO] Asyakina, seorang jurnalis junior di salah satu stasiun televisi swasta tiba-tiba mendapatkan tugas untuk melip...