Love? Trust? Work? or Hobbies...

Oleh MiyuTanuki

56.3K 3.9K 516

DILA MAULIN SUCIPTO Wanita berusia 27 tahun yang terlalu menyayangi statusnya sebagai wanita karier. "Dila... Lebih Banyak

Prolog
1. Lagi-lagi Perjodohan
2. Sejujurnya..
3. Kecurigaan
4. Bertemu Seorang Fans
5. Tawaran
6. Proses
7. Si Perfeksionis
8. Kesembuhan
9. Kesalahpahaman
10. Itu bercanda bukan?
11. Dilema
12. Persetujuan
13. Pengakuan
14. Sukses
15. Kemenangan
16. Mimpi Buruk
17. Persiapan Mental
Special Chapter
18. Saatnya
19. Berjalan Lancar
20. Permulaan
21. Rasa Tidak Adil
22. Kejutan
23. Kebersamaan
24. Pengganggu
25. Kawan Lama
26. Satu Petunjuk
27. Lagi dan Lagi
28. Salah paham, lagi?!
29. Sadar
30. Teman Asingnya
31. Ayah Angkatnya
32. Kenangan
33. Informasi Terbaru
34. Kenyataannya...
35. It's Time for Holiday
36. Pria di Masa Lalunya
37. It Feels So Lonely
38. Keganjilan
39. Kelakuannya
40. Kepribadian Lain?!
41. Perempuan Lain?
42. Apa?
43. Dua Sisi Koin
44. Rasa 'nya'
45. Namanya
46. Alasan
47. Hatinya
48. Pertemuan
49. Air Mata
50. Keseharian
51. Kesadaran
52. Hal Yang Baru Ia Ketahui
53. Mencintainya
54. Tidak Semudah Itu
55. I Wish That I Could Do it Again
56. Usahanya
57. Insiden Lain
58. Benar atau Salah?
59. Hari Ke-5
60. Hadiah Untukmu
61. Hari Ke-7
62. Sedikit demi Sedikit
63. Pencarian Solusi
64. Terulang Kembali
65. Aku Sama Sepertimu
66. Dalam Waktu Dekat
67. Bertemu Kembali
68. Menatapnya
69. Terungkap?
70. Pada Kenyataannya.
71. Secepat Ini?
72. Permintaan
73. Secarik Kertas
74. Aldha
75. Alghi
76. Bertemu
77. Menuju Kebahagiaan
78. Siraman
79. Apa yang Kau Mau?
81. Trust? All you do is lie.
82. Desperate? No.
83. Caroline
84. Kebahagiaan Mereka
85. Persiapan
86. Sedikit Demi Sedikit
87. Kapsul
88. Satu Langkah Lain
89. Pergilah
90. Bodoh?
91. Kenyataan yang Tertunda
92. Bayangan Kelabu
93. Sulit
94. Kembali
95. Tanpa Mengingkari
96. Berita Bagus?
97. Surat Salsabila
98. Akankah Terselesaikan?
99. A Winter Miracle [END]
100. Epilog

80. Terluka

174 16 6
Oleh MiyuTanuki


Semua orang terkejut dan pandangan mereka tertuju pada Dila yang berdiri dengan tangan yang menunjuk lurus-lurus pada salah satu anggota keluarga yang dikenal dengan ucapan pedasnya. Mereka tak menyangka jika Dila akan berlaku seperti itu, terlebih di hadapan semua keluarganya.

"Apa yang kalian lihat? Kalian terkejut? Ha!"

Tubuh Dila sepenuhnya dikendalikan oleh Caroline yang kini mengeluarkan seluruh amarahnya. Dila terkurung di dalam dan hanya bisa menyaksikan apapun yang tubuhnya lakukan. Ia sadar namun ia tak bisa mengendalikan tubuhnya. Ini seperti dirinya yang sedang melihat menggunakan VR. Ia tak mengerti apapun yang sedang terjadi, namun mendengar dirinya menggunakan kata-kata kasar seperti itu membuatnya ngeri. Terlebih melihat setiap ekspresi kecewa dan terkejut dari keluarganya sendiri.

"Dila, turunkan tanganmu itu." Geram Ayahnya yang kini ikut berdiri.

"No, no, stop there. Kalian ingin tahu mengapa aku seperti ini?"

Tubuh Dila berjalan ke tengah dan menatap setiap wajah yang kini mulai menatapnya sinis.

"Ini semua karena kau, kau, kau, kau!" Telunjuknya beberapa kali menunjuk semua orang secara acak.

Dila, yang mari kita sebut sebagai Caroline, pun berhenti dan menatap Tante yang kini duduk dengan tatapan penuh ketakutan. Selama ini mereka hanya mengenal Dila yang santai dan luwes. Dila yang terkendali di setiap kondisi dan Dila yang diam. Namun yang kita bicarakan kali ini adalah Caroline, sosok yang berbeda terbalik dengan Dila.

"Kalian sangat putus asa untuk mengambil posisi yang akan diturunkan oleh Ayah padaku bukan?"

Caroline menelisik setiap ekspresi dari orang-orang yang secara munafik membuat pandangan tak percaya padanya. Menilai bahwa dirinya tidak beretika karena mengatakan hal itu. Pandangan mereka merupakan sebuah keterkejutan yang menjijikkan di mata Caroline. Ia muak dan ia ingin memuntahkan apa saja yang baru Dila makan. Mereka tak pantas menatapnya, menatap seorang Caroline, dengan tatapan mengadili seperti itu.

"A wolf in the sheep's clothing. What a beautiful life you have in there, sweetie."

Ejeknya tak melupakan nada sarkas dari setiap kata yang keluar dari mulutnya. Ayah Dila tak bisa berbuat apapun di hadapan begitu banyak orang, ini akan menjadi sebuah permainan yang menarik bagi Caroline.

"Kalian ingin mengambil posisiku? Silahkan! Dengan senang hati aku akan memberikannya pada kalian, bastard!"

Caroline membuka kedua tangannya lebar-lebar lalu tertawa kegirangan seperti kehilangan kendali. Ia bisa mendengar dengungan di telinganya dan kepalanya yang mulai berat. Maulin sedang berusaha mengambil alih tubuh Dila dan Caroline tidak akan membiarkannya. Tidak sebelum ia dapat mengemukakan apa yang ingin ia kemukakan.

'Caroline, stop it. Now.'

"Oh, no, no, not this time sweetie." Caroline menggerakan jari telunjuknya dan berbicara pada suara di kepalanya. Ia akan mengakhiri penderitaan Dila.

Kepalanya terasa lebih berat dari sebelumnya, intensitas dengungan semakin tinggi dan suara Maulin di kepalanya mulai memuakkan.

"STOP IT! YOU CRAZY BITCH!"

'Kau harus berhenti, Caroline! Kembalilah!'

Pandangan Caroline sedikit buram dan ia sengaja menghantam kepalanya dengan kepalan tangannya sendiri. Ia bersikeras untuk tetap memiliki kesadaran sepenuhnya di tubuh Dila. Tubuhnya tak seimbang dan bergerak kesana-kemari untuk mencoba tetap berdiri. Semua orang di ruangan itu tak melakukan apapun selain memekik dan tak ada yang mau mendekati tubuh Dila yang kini tumbang. Tubuh Dila terjungkal dan Caroline berteriak beberapa kali, mencoba membebaskan kesadarannya dari ikatan Maulin.

Kesadaran Dila tak bisa melakukan apapun selain bingung karena ia seperti melihat sebuah film di bioskop. Ia berteriak tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia mencoba bergerak tapi tubuhnya tak merespon apapun yang ia inginkan. Ia ingin membebaskan diri namun ia tak tahu bagaimana caranya.

Ia termangu akan fakta baru yang tak bisa ia kelola secara cepat.

Kesadaran Maulin muncul kepermukaan setelah pertarungannya dengan Caroline. Ia melepaskan genggaman erat jemari Dila pada rambutnya sendiri dan berdiri. Rasanya sangat panas dan ia tak bisa terlalu lama di tubuh Dila.

"Maafkan aku."

Dengan begitu ia berlari keluar dari kediaman saudaranya. Meninggalkan mereka yang masih limbung mengenai hal apa yang baru terjadi di hadapan mereka. Namun Maulin tak memiliki waktu banyak, ia harus membawa tubuh Dila ke kediaman Sucipto dan memanggil Fadli untuk menjemput Dila.

Dari udara sore yang hangat dan sapuan angin yang mendayu-dayu, ia berlari tanpa henti dan ia sadar bahwa laju napasnya tak teratur. Maulin tak bisa berhenti bahkan untuk sejenak saja, ia tak bisa membiarkan siapapun bertanya mengenai apa yang terjadi pada Dila. Maulin tak tahu bahwa kesadaran Dila dapat melihat semuanya secara jelas sekarang. Tak seperti dulu, kesadaran Dila tahu bahwa sesuatu mengambil alih tubuhnya.

Napasnya tercekat ketika kesadaran Caroline mulai menjadi-jadi. Sedikit lagi. Hanya sedikit lagi ia akan mencapai rumah dan melakukan apapun yang harus ia lakukan.

'Urusanku belum selesai, bitch!'

Maulin tak menghiraukan apapun dari suara yang berada di kepalanya. Ia tetap berlari dengan gigih dan akhirnya setelah perjuangan berlari kencang, ia mencapai pagar. Tanpa basa-basi ia membuka pagar dan dengan tergesa-gesa ia memasukkan kunci ke lubang pintu. Tangannya bergemetar karena Caroline sudah mulai kembali mengambil alih kesadaran tubuh Dila.

"Tolonglah." Erangnya dan ia memegang kunci dengan kedua tangannya. Meminimalisir getaran hebat di tubuhnya.

Tangannya yang bergetar hebat pun segera melepaskan kunci ketika pintu sudah terbuka. Dengan sedikit limbung, kepayahan ia berjalan ke arah kamar untuk mencari ponsel yang ia tinggalkan di sana. Napasnya tidak teratur dan ia bisa merasakan sesak yang sedikit demi sedikit berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan.

'Kau siapa?'

Maulin mematung di tempatnya. Ia tahu, suara yang kini muncul di kepalanya itu adalah suara kesadaran Dila. Suaranya tak stabil dan terdengar sangat khawatir dan takut. Ia membulatkan matanya dan merasa gagal karena tak dapat melindungi Dila dari kenyataan yang pahit dan menyakitkan. Rasanya seperti teriris benda tajam yang berkarat. Terus terluka dan menimbulkan rasa yang sangat asing namun menyakitkan.

"Dila!"

Maulin berbalik dan menemukan Ayah Dila yang mencapai puncak kemarahan dengan matanya yang merah menyala dan garis wajah yang keras. Ia tak bisa mengingat apapun karena dalam sekejap wajahnya sudah menubruk tembok di sampingnya. Kepalanya berdenyut tak karuan dan Caroline menggunakan kesempatan itu untuk muncul.

"Old soul! Kau baru saja menghantamkan wajahku ke dinding ini?"

Ayahnya geram dan tanpa basa-basi berteriak di depan wajahnya.

"Kau anak kurang ajar! Persetan dengan semuanya."

Kesetanan merupakan satu kata yang menggambarkan kondisi Ayah Dila. Dengan beringas, pria paruh baya itu menarik kuat-kuat lengan atas Dila dan mendorongnya kuat-kuat hingga ia terjerembap ke lantai dengan dentuman paling kuat dan menyakitkan. Ia terbatuk, tubuh Dila yang lemah membuat Caroline tak berdaya.

Kesadaran Dila meringis dan menangis kencang. Berteriak sekuat tenaga, meminta pertolongan siapa saja agar ia bisa keluar dari ruangan kelabu itu.

"Anak keparat!"

Caroline terbatuk ketika tendangan mendarat di perutnya. Ia dengan susah payah membuka matanya untuk tetap tersadar dan memastikan bahwa ia membalas setiap hal yang Ayah Dila lakukan pada tubuh Dila. Ia bisa melihat Ibu tiri Dila yang kini mencoba menahan kepalan tangan Ayah Dila, namun gagal karena pria tua itu menyingkirkannya dengan tenaga yang luar biasa kuat hingga Ibu tiri Dila terpelanting jauh dan bahunya terluka karena langsung terantuk pada dinding. Caroline masih tetap batuk dan mencoba untuk bangkit ketika Ayah Dila pergi entah kemana.

Pria itu kembali dengan sapu di tangannya.

"Aku. Tidak. Pernah. Mendidik. Anak. Kurang. Ajar. Sepertimu."

Tiap jeda, Caroline bisa merasakan tubuh Dila terkena hantaman dari gagang sapu yang solid. Rasa panas yang menyengat muncul dari tiap jejak yang Ayah Dila berikan pada tubuhnya. Ngeri dan ngilu menjadi perasaan yang mendominasi tubuh Dila.

"Tolong hentikan."

Caroline yang menyerah kini digantikan oleh kesadaran Dila sepenuhnya. Rintihan Dila tertutup oleh suara histeris dari Ibu tirinya dan Denia yang kini kebingungan untuk melakukan apa. Dila memeluk tubuhnya dan membiarkan punggungnya yang menjadi sasaran empuk dari pukulan-pukulan keras yang di lakukan oleh Ayahnya.

"Kau anak tidak tahu diri!"

Ditariknya rambut Dila secara paksa membuat Dila meringis dan menangis kencang, mencoba untuk melepaskan genggaman erat Ayahnya.

"Help me..."

Dengan tenaga yang kecil, Dila mencakar tangan Ayahnya dan ia menendang tubuh pria paruh baya itu dengan tenaga terakhir yang ia miliki. Ia duduk bersimpuh dan berteriak sekencang-kencangnya.

"AARRGGHHH!"

Dila menarik-narik ujung rambutnya dan membenturkan tubuhnya ke dinding. Air matanya sudah tidak dapat di bendung lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Persetan dengan anggota keluarga lain yang mendengarkannya, ia tak dapat berbicara semestinya. Ia tak bisa mengekspresikan apa yang ia rasakan. Ia tak bisa menjelaskan rasa sakit apa selain denyutan-denyutan memilukan dari luka di tubuhnya yang pasti akan menimbulkan memar.

Ayah Dila mematung, dirinya yang sedang emosi pun terkejut ketika Dila tak henti-hentinya membenturkan tubuh dan kepalanya ke dinding.

"I—I felt they crawling inside of me... help me."

Bisikan yang berubah menjadi rintihan itu pun di akhiri dengan Dila yang mencakar tangannya sendiri. Ayah Dila terkejut bukan main ketika kuku-kuku panjang Dila menggores kulitnya sendiri. Menimbulkan goresan-goresan segar. Kemudian jemarinya meraih leher dan akhirnya menancapkannya di kulit dan menggaruknya kasar hingga ada luka-luka terbuka di lehernya.

Denia dengan panic membawa ponsel Dila di kamar dan dengan tergesa-gesa segera melakukan pesan yang sudah Dila titipkan padanya sebelum mereka berangkat ke acara keluarga. Ia menggigiti kukunya, menunggu Fadli menjawab teleponnya.

"Di-Dila?"

Dari kamar, Denia bisa mendengar suara Ayahnya yang mulai panik. Namun Denia lebih khawatir ketika melihat Dila yang berteriak dan menggaruk tubuhnya seperti itu.

"Assalamualaikum, Dil."

"Kak Fadli!"

"Uh... uh-oh? Denia?"

"Tolong, tolong Kak Dila." Denia menangis sejadi-jadinya karena ia tak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada Fadli.

"Apa? Tolong jelask— tunggu, apa itu suara teriakan Dila?"

"Cepat bantu Kak Dila!" Ucapnya setengah berteriak.

"Aku kesana sekarang." 

***

A/N 

ALOHA MOOSE! 

Wow, maafkan edisi penyiksaan ini ;-; saya sendiri tidak tega tapi mau bagaimana lagi. 

Jika kalian suka, silahkan vote, comment, share, masukkan ke library dan reading list kalian ya ^^ appreciate it. 

See ya! 


Warm regards,  

Matsushina Miyura

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

998K 48.3K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1.9M 91.7K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
1.3M 35.4K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
2.3M 255K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...