Pekerjaan yang semakin menumpuk, project yang semakin bertambah karena kepindahan Dila, membuat beberapa perusahaan semakin mendekat. Mengetahui integritas perusahaan yang tinggi. Tak dapat dipungkiri bahwa ini semua berkat kerja sama setiap pemimpin yang solid dan loyal. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard dengan mata yang selalu awas untuk memperkecil kemungkinan adanya salah penulisan.
Dua hari lagi, tepat dua hari lagi, Dila akan datang ke perusahaan ini dan melakukan serah jabatan secara formal. Mengingat ia pergi dari perusahaan tanpa adanya ucapan perpisahan dan tanpa banyak pemberitahuan, ia sudah berada di Amerika dan berkeliling dunia untuk mengunjungi setiap cabang berusahaan dari berbagai negara. Mengevaluasi anak perusahaan, alasan yang diajukan oleh juru bicara Pak Tsunemori.
Memang Dila adalah asset perusahaan yang sangat penting. Terlalu penting untuk dibuang dan mereka harus mempertimbangkan setiap perkataan yang keluar dari mulut Dila. Walaupun terkadang wanita itu diam dan tidak memberikan komentar apapun saat sedang rapat, tapi jika ia benar-benar menemukan titik kesalahan, ia akan menunjukkan eksistensi dirinya yang luar biasa kuat dan mengintimidasi.
Bahkan bagi dirinya yang secara gender merupakan seorang laki-laki.
Bukan berarti ia takut pada Dila, namun lebih condong pada menyegani wanita itu karena pengetahuannya yang luar biasa luas. Setiap ia berbincang dengan siapapun, ia bisa masuk dalam topik pembicaraan lawan bicaranya. Seakan tak ada batasan dari ilmu yang ia miliki.
Bukankah itu mengerikan?
Mungkin jika ditelaah kembali, itu adalah efek dari salah satu hobi Dila.
Membaca.
Ia mengusap dagunya dan berpikir keras mengenai project yang harus pikirkan matang-matang. Bukanlah hal yang mudah untuk menyetujui proposal dari perusahaan lain. Selalu dibutuhkan sudut pandang lain yang kiranya bisa menemukan titik kehampaan dari ajuan proposal tersebut.
"Pak Rivan."
Ia mengangkat pandangan dari balik kacamatanya, menemukan sekretarisnya yang sedang berdiri sembari memeluk dokumen.
"Ya?"
"Ini data yang harus diperiksa ulang oleh Anda."
Rivan tak menjawab apapun selain senyuman dan anggukan. Secara tak langsung mengharapkan sekretarisnya segera menyimpan dokumen tersebut dan meninggalkan ruangan. Yang membuatnya merasa senang adalah sekretarisnya itu melakukan apapun tanpa ia perintahkan. Dengan derapan yang terkesan tenang, sekretarisnya segera meninggalkan Rivan sendirian di ruangan itu. Ruangan yang selama ini menjadi pelariannya dari rasa penyesalan yang mendalam.
Ia kembali menatap pada salah satu ujung meja. Tempat di mana ia menyimpan sebuah figura dengan foto dirinya bersama Dila sedang tersenyum bahagia. Salah satu foto yang waktu itu mereka cetak karena wajah keduanya tampak seperti orang bodoh yang selalu tersenyum pada apapun yang terjadi di dunia. Foto yang sangat berharga baginya.
Ia mendesah dan bersandar di kursi kerjanya yang nyaman dan empuk itu. Melonggarkan dasi dan membuka kancing kerah yang menyesakkan. Hal yang kemudian ia lakukan adalah mengeluarkan kalung yang ia kenakan untuk melepaskan rasa rindu pada Dila. Yang mana, cincin pertunangan palsunya bersama Dila, tersemat di kalung yang kini sedang ia sentuh.
Bisakah aku memiliki kesempatan lain?
***
Perjalanan yang lembut dan halus tak membuat Dila gusar. Hari ini ia akan berakting seakan-akan ia baru saja datang bersama rombongan dari Jepang untuk menilai perkembangan perusahaan. Rombongan dari Jepang itu memang akan menilai perkembangan perusahaan, di bantu oleh Dila tentunya. Namun sedikit kebohongan tetap ada di sana, karena selama ini Dila berada di Rumah Sakit. Tidak ikut bersama penilai perkembangan perusahaan ke negara manapun.
Tubuhnya dibalut oleh pakaian formal dari designer ternama kenalan Airu. Rambutnya digerai dengan indah karena ia sudah melakukan perawatan kemarin bersama Yuni dan Airu yang kebetulan sedang berlibur sebentar sekaligus menjenguk dirinya. Kakinya seperti biasa menggunakan high heels yang cukup tinggi agar memberikan kesan profesional dan tegas. Kulitnya yang masih terlihat pucat pun mendukung cerita bahwa dirinya sudah berada di luar negeri cukup lama. Maka tak aneh jika mendapati kulitnya sedikit pucat. Wajahnya dirias sedemikian rupa agar menghilangkan kesan sakit-sakitan. Bibirnya menggunakan lipstick berwarna merah agar tampak berani.
Bersyukurlah ia sudah cukup kuat untuk berjalan walaupun secara perlahan. Namun setidaknya setiap langkah yang ia tunjukkan tak menimbulkan gemetaran yang berlebihan. Herlambang akan membantunya untuk melangkah, sementara seseorang akan berlaku sebagai juru bicara Dila.
Skenario yang luar biasa bukan?
Dan di sinilah dirinya sekarang. Bersiap untuk keluar dari mobil mewah berwarna hitam legam dari jajaran terdepan. Valet membuka pintu untuknya dan ia sudah disambut oleh jajaran orang-orang yang menunggu mereka dengan sabar dan hormat.
Ah... dirinya merasa aneh dan canggung.
Tempat ini adalah tempat di mana ia bekerja selama dua tahun terakhir. Dan lihatlah perubahan drastis yang mana semua mata menatapnya dengan rasa kagum dan hormat yang berlebihan. Membuatnya mual dan meriang.
"Selamat datang di tempat kami."
Jajaran direktur dan manager tersenyum sopan padanya dan membungkukkan sedikit tubuh mereka.
Ia bisa melihat dengan jelas Rivan yang tersenyum tenang menghadap dirinya. Ada sedikit rasa sesak sebenarnya, namun ia harus bersikap biasa saja. Membatasi antara keperluan pekerjaan dan perasaan. Lalu dari ujung matanya, ia bisa melihat Herlambang yang berdiri dengan pakaian rapi. Membuat kesan yang aneh karena Dila jarang sekali melihat Herlambang menggunakan pakaian serapi dan seformal itu.
"Kami senang bisa melihatmu lagi, Bu Dila."
Para Direktur tersenyum dan menunjukkan kebahagiaan yang tulus padanya. Sementara Dila hanya bisa menjawab sekenanya dan menunjukkan senyuman paling indah.
Dila tak mengikuti apa yang mereka katakan, namun ia selanjutnya mengetahui bahwa dirinya akan menyerahkan jabatan pada pengganti dirinya yaitu Pak Anton secara penuh. Convention hall menjadi ramai namun tak terlalu sesak. Sementara Herlambang dengan setia berjalan di samping Dila, terlihat begitu formal dengan memanggilnya sebagai 'Bu Dila' serta membicarakan mengenai kemajuan pesat dari perusahaan yang akan di nilai. Ia tercengang dengan kehebatan Herlambang yang secara tiba-tiba bisa menjelaskan terperinci mengenai apa-apa yang dikerjakan olehnya.
Di sisi lain, beberapa pegawai yang pernah menjadi bawahan Dila menatap mantan atasan mereka dari kejauhan. Meja mereka berada cukup jauh dari posisi Dila, namun mereka bisa melihat secara jelas cara berjalan Dila yang masih belum berubah namun terkesan lebih lambat dari biasanya. Desi mengembuskan napas dan menepuk bahu Terra yang masih memerhatikan Dila.
"Kau tahu, aku pikir sekarang Bu Dila terlihat lebih kurus dan pendiam dari biasanya."
Desi bergumam sembari meneguk segelas air tanpa menghilangkan kesan formal. Begitu anggun berbeda dari Desi yang biasanya.
"Aku pikir itu normal. Lagi pula kau sendiri mantan sekretarisnya mengetahui bahwa Bu Dila sibuk untuk mengevaluasi cabang-cabang di setiap negara. Sudah sepatutnya jika Bu Dila terlihat lebih kurus dan lelah dari biasanya."
Terra hanya mengendikkan bahunya dan memerhatikan kembali Dila yang sedang mengucapkan rasa terima kasihnya terhadap perusahaan yang sudah mau menampungnya selama dua tahun.
"Tapi apa kau pikir bahwa Bu Dila masih memiliki hubungan dengan pria yang kita temui di supermarket itu?"
Terra melirik Desi dengan tatapan skeptis. Tak percaya jika temannya bertanya hal yang tak masuk akal.
"Dengar, aku tidak tahu mengenai hal it—"
Mata Terra menangkap sesuatu yang lain.
Ia melihat Rivan, sang General Manager, yang kini menatap Dila lekat-lekat. Seperti merindukan sosok yang kini masih tersenyum dan memberikan bukti bahwa dirinya sudah lengser dari perusahaan ini. Itu membuat otaknya berspekulasi.
"Ada apa?"
"Apa kau pernah berpikir bahwa seseorang di perusahaan kita selama ini menyukai Bu Dila?"
Mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Terra, Desi segera mengikuti arah pandang Terra dan menemukan hal yang serupa dari pandangan Rivan.
"Maksudmu Pak Rivan?"
Terra tak menjawab namun hanya memberikan anggukan.
"Tatapan rasa rindu itu terlalu dalam."
***
A/N
HELL YEAH!
I'M BACK MOOSE!
Jika kalian suka cerita ku, silahkan vote, comment, masukkan ke library dan reading list kalian ^^
Warm regards,
Matsushina Miyura