Saat itu Lina sepenuhnya sadar ketika pukul dua pagi Dila membuka pintu masuk utama. Yuni dan Airu segera berdiri ketika mendengar suara kunci juga Robin yang mulai berlari ke pintu utama. Di saat yang sama, mereka mengembuskan napas lega ketika mendengar suara Dila yang kini terdengar begitu jelas sedang tertawa.
"Robin, stop."
Dila menempatkan satu tangannya di depan untuk menghentikan pergerakan Robin yang masih berusaha mendekat pada dirinya yang kini terlihat begitu segar.
"Dila Maulin Sucipto kau darimana? Kami mengkhawatirkanmu!"
Lina memeluk tubuh Dila begitu erat, membuatnya tercekik dan hanya tertawa.
"Kami?"
Dila mengangkat sebelah alisnya ketika Lina sudah melepaskan pelukan super kuatnya.
"Ya, kami. Fadli bahkan mencarimu."
Itu baru membuat Dila terkejut. Ia membawa ponselnya dan segera memberi pesan singkat bahwa dirinya sudah berada di rumah pada Fadli.
"Apa sesuatu terjadi? Sampai-sampai Fadli berteriak padaku saat menelepon Rivan."
Aku tak mungkin mengatakan pada mereka mengenai hal ini.
"Tidak ada sesuatu yang terjadi. Lagi pula aku sudah katakan bahwa hari ini aku pulang telat bukan?"
Dengan senyumannya, Dila berjalan santai menuju dapur dan memerintahkan dua saudari serta temannya untuk tidur. Mengatakan bahwa dirinya akan mengerjakan sesuatu yang penting dan mungkin akan tidur telat.
Atau mungkin ia tak akan tidur.
Ia sudah memiliki pemikiran negatif bahwa meskipun ia pergi berbaring dan terlelap, mimpi buruk akan datang dan tak membiarkannya untuk istirahat. Namun membiarkannya untuk kembali mengenang rasa-rasa paling menyakitkan yang pernah ia alami. Itu merupakan pilihan bodoh, lebih baik ia tetap terjaga dan menyelesaikan sketsa-sketsa untuk komik yang chapter terbarunya akan segera dirilis oleh penerbit.
Beruntung orang-orang yang menginap di rumahnya sudah memasuki tahap menuju dunia bunga tidur. Ia sekali lagi bisa bernapas lega dan segera menggiring Robin ke halaman belakang rumahnya. Mungkin membersihkan diri bukan merupakan hal yang buruk juga. Ia harus melakukan banyak hal di pagi buta ini. Setelah memastikan bahwa Robin berada di halaman belakang rumahnya dan tak bisa masuk ke rumah utama, ia masuk kedalam kamar mandi dengan tenang.
***
"Kita bisa mengatakan bahwa harga pasar sedang meningkat. Ada baiknya untuk mengurangi produksi produk terdahulu. Yang mana kini pasaran sedang menggandrungi produk baru kita."
Dan selebihnya Dila tak mendengar apa yang dikatakan oleh seseorang yang berdiri di balik podium itu.
Akhirnya dengan tangan yang tak berhenti memainkan pulpen, Dila memilih untuk menggambar di balik kertas laporan. Seperti biasa hanya dirinya seorang perempuan yang berada di ruangan dingin dan pengap itu. Terlebih dengan dikelilingi terlalu banyak testosterone membuatnya pening.
Faktanya ia berkumpul dengan pria-pria yang merupakan pemimpin di bidangnya masing-masing, yang tentunya memiliki kharisma yang kuat. Siapapun yang tak biasa berkumpul dengan mereka pasti akan mengalami kecanggungan yang luar biasa.
Sekali lagi Dila memutar bola matanya.
Dari sudut matanya, ia bisa melihat dengan jelas apa yang Rivan lakukan di tempat duduknya yang posisinya cukup jauh dari Dila. Ia cukup serius mengikuti rapat ini dan mengajukan beberapa solusi yang mungkin pas untuk apapun yang sedang mereka bicarakan.
Hell...
Ia bisa mati kebosanan di ruangan itu.
Ia kembali menggambar dan sesekali mencuri pandang ke posisi Rivan. Pria itu terlihat baik-baik saja. Seperti biasa kacamata selalu ada di wajahnya. Namun ia bisa mengetahui ada sesuatu yang tak beres dengan pria itu.
Matanya.
Ia kehilangan sesuatu? Pikirnya saat menatap dengan jeli mata Rivan yang terhalang oleh lensa kacamata.
Walaupun tersembunyi di balik ekspresi serius itu, pandangan mata Rivan sungguh tak bersemangat. Dengan terkejut ia kembali fokus pada kertas laporan karena Rivan membalas tatapannya.
Bodoh sekali.
Setelah rapat selesai, Dila bisa menyimpulkan bahwa dirinya sama sekali tidak mendengarkan hasil dari rapat tadi. Ia hanya mendapatkan hasil bahwa kertas laporannya sudah di penuhi oleh gambar buatannya sendiri.
Lagi-lagi dengan kacamata yang bertengger di wajahnya, ia merengut tak jelas. Siang yang cukup mendung pun tak bisa memperindah mood yang sedang ia miliki. Karena biasanya ia akan cukup senang jika pagi hari di sertai dengan hujan atau mendung. Walaupun jika kini bola matanya memerah karena ia sama sekali tak tidur, Dila masih cukup segar dan tak menghilangkan kesan sibuknya.
Yang ia inginkan hanya mengerjakan seluruh kegiatannya, tak ada keinginan untuk berbincang atau sekedar bertatap muka dengan siapapun yang kiranya akan memperlambat kegiatannya. Bahkan ia tak sempat untuk membuat bekal makan siang tadi pagi. Ia benar-benar berangkat di pagi buta.
Beberapa pesan dari Fadli memenuhi ponselnya dan itu sangat mengganggu namun ia akhirnya memilih untuk membuka pesan terakhir.
'Aku mengantarkan kotak makan siang untukmu. Turunlah ke lobi.'
Bertingkahlah perutnya yang kini kelaparan. Dengan langkah yang sempoyongan ia akhirnya menetapkan diri untuk menunggu Fadli di lobi.
***
Keberadaannya di front desk menarik begitu banyak perhatian kaum perempuan yang berada di sana. Rivan sedang membalik beberapa dokumen, ia bahkan tak menggubris pandangan haus dan sikap mereka yang seolah ingin di perhatikan oleh pria yang kini tetap bersi kukuh menatap dokumen. Ia tersenyum ramah pada perempuan yang sejak pertama menatapnya dan pergi membawa dokumen tadi.
'Kau tersenyum pada mereka? Boom.. they're pregnant.'
Kakinya berhenti melangkah ketika mendengar suara Dila di kepalanya. Itulah yang selalu Dila katakan padanya ketika ia melemparkan senyuman biasa pada perempuan. Beserta kekehan yang khas dan berlalu begitu saja.
Dan hal yang lebih mengejutkan lainnya adalah ia melihat Dila berlangkah gontai menuju pintu utama. Tak terburu-buru seperti biasanya. Namun langkahnya tak menunjukkan rasa malas sedikit pun.
Hanya terlihat lebih berat.
Yang tanpa sadar pandangannya tetap tertuju pada Dila dan bahkan ia tak melanjutkan langkahnya hanya demi menatap Dila yang sepertinya tak menyadari keberadaan Rivan. Bagaimanapun lantai dasar adalah tempat yang luas dan sesak.
Walaupun otaknya meminta untuk pergi melakukan pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan, tetapi tubuhnya tak merespon sedikitpun. Ia malah semakin memandangi Dila yang kini menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Seperti mencari seseorang. Rambut sebahunya pun ikut bergoyang kesana-kemari membuatnya terlihat lebih menarik. Terlebih kacamata yang Dila gunakan begitu cocok untuk tipe wajahnya. Memberikan kesan intelektual yang tinggi.
Ia suka itu.
"Pak Rivan."
Senormal mungkin ia menghilangkan senyum tipis sarat esensi malu-malu dari wajahnya. Mendapati Desi yang kini menyerahkan sebuah dokumen yang entah apa isinya.
"Sekretarismu menitipkan ini padaku. Ia bilang ada urusan mendadak... ekhem, maksudku- kau tahu- lady's thing."
Rivan hanya memberikan respon anggukan yang canggung karena ternyata sekretarisnya mendapatkan tamu bulanan secara mendadak.
"Oh! Pria itu!"
Di sampingnya, Desi terlonjak dan memekik senang. Rivan yang tak mengerti pun akhirnya mengikuti arah pandang Desi.
Disanalah ia menemukan pria yang akhir-akhir ini sering ia lihat. Pria jangkung yang tingginya pun hampir sama dengan tinggi badannya. Bertubuh atletis dengan wibawa yang menjadi aura paling mencolok. Pria itu berdiri di hadapan Dila yang kini menunjukkan sesuatu di ponselnya lalu tertawa halus. Kemudian setelah berbincang dalam waktu yang singkat, pria yang Rivan ketahui bernama Fadli itu memberikan sebuah kotak yang Rivan tebak merupakan kotak makan siang Dila.
"Sepertinya mereka merupakan sepasang kekasih. Akhirnya Mbak Dila punya pasangan hidup."
Desi dengan suara yang benar-benar gembira kembali berbicara.
"Maksudmu? Mereka berpacaran?"
"Mbak Dila tidak mengatakan apapun, tapi lihat ini, Pak."
Desi mengeluarkan ponselnya dan mencari sesuatu di sana.
Seperti yang di harapkan dari seorang penggosip seperti Desi.
Tak lama kemudian Desi menunjukkan sebuah potret Dila yang bersama seorang anak perempuan dan pria itu berada di sampingnya.
Itu cukup membuatnya terkejut walaupun sebenarnya ia tak usah terkejut.
"Lalu... erm beberapa hari yang lalu saat Mbak Dila sakit, pria itu menjemputnya. Mereka so sweet sekali."
Rivan mendengarkan Desi tanpa mengubah ekspresinya dan kembali menatap Dila dan Fadli yang kini berpamitan satu sama lain.
Ada sebuah rasa yang begitu familier di dalam tubuhnya. Rasa yang pernah ia alami saat melihat perempuan yang dahulu merupakan tambatan hatinya saat semasa kuliah memiliki sesuatu yang disembunyikan dan mengecewakannya.
Rasa cemburu dan amarah yang cukup besar.
***
A/N
Ow... yeah rasakan itu Rivan.
Urgh by the way, persiapkan mental dan emosi kalian untuk chapter-chapter selanjutnya ya. Saya sendiri sebagai penulis cerita ini merasa tersiksa lahir batin-katakan saja seperti itu.
Bagaimana chapter ini?
Tuangkan perasaan kalian mengenai cerita ini, karakter Dila, Rivan, dan Fadli di kolom komentar dan kalian akan mendapatkan hidden chapter yang akan saya kirim ke direct messege akun kalian ^^
Don't forget to like, comment, share, add to your library and reading list.
See ya!
Warm Regards,
Matsushina Miyura