EX

By laevanter

148K 6.5K 148

Dunia itu berputar. Di dunia berlaku yang namanya hukum alam. Artinya, apa yang kau lakukan ke orang, baik at... More

Prologue
One
Two
Three
Four
Five
Six
Seven
Eight
Nine
Ten
Eleven
Twelve
Thirteen
Fourteen
Fifteen
Sixteen
Seventeen
Eighteen
Nineteen
Twenty
Twenty One
Twenty Two
Twenty Three
Twenty Four
Twenty Five
Twenty Six
Twenty Seven
Twenty Eight
Twenty Nine
Thirty
Thirty One
Thirty Two
Thirty Three
Thirty Five
Thirty Six
Thirty Seven
Thirty Eight
Thirty Nine
Forty
Forty One
Forty Two
Epilogue
VS Gallery

Thirty Four

2.4K 123 0
By laevanter

Pagi menyapa di Desa Ranu Pane.

Pihak keluarga Sherlyn dan Vigo sudah diberi tahu perihal kejadian ini. Vina yang mengangkat telepon pertama kali langsung pingsan, membuat Reynand dan Enno panik—tidak hanya tentang keadaan Sherlyn, namun juga Vina. Akhirnya Irwan-lah yang berbicara di telepon dengan Pak Umar, salah satu guru yang ikut dalam Tour Week kelas 10. Irwan memohon dengan sangat untuk terus mencari keberadaan putrinya. Jika sampai sore nanti Sherlyn belum ditemukan, Irwan dan keluarga sepakat menyusul ke Gunung Semeru.

Tak begitu jauh dengan keadaan keluarga Sherlyn, keluarga Vigo pun shock berat dengan berita ini. Jamil yang menerima telepon pertama kali. Rania yang sedang menjahit baju-baju kebaya seperti biasa—kegiatan yang sering dilakukannya sebelum jatuh sakit dan koma dulu, menatap Jamil dengan penasaran karena raut wajah suaminya yang mendadak pias. Setelah selesai berteleponan, Jamil pun menceritakan semuanya ke Rania. Wanita itu langsung menangis tersedu. Kylie yang mendengarnya pun sama khawatirnya. Jamil pun meminta pihak sekolah agar bertanggungjawab atas hal ini dan meminta mereka untuk tetap mencari keberadaan Vigo.

Kini jam sudah menunjukkan pukul 06.00. Sebenarnya jam 07.00 nanti mereka harus berangkat, kembali pulang ke Jakarta. Namun sepertinya jadwal mereka akan sedikit terganggu akibat menghilangnya Sherlyn dan Vigo.

Seluruh anak membicarakan Sherlyn dan Vigo. Mereka ikut khawatir dengan dua remaja itu. Suasana pun hening saat makan malam dan sarapan bersama. Mereka semua larut akan pikiran masing-masing.

Terlebih-lebih Kinta. Gadis itu langsung duduk di teras homestay dan menatap jauh ke arah jalan setapak menuju Gunung Semeru, jalan yang semalam mereka lewati, tak peduli suhu dingin yang menggigit. Wajahnya lesu sejak kemarin. Beberapa saat kemudian, Raka, Rome, Alvin, dan Dean pun menghampirinya, duduk di sekitarnya juga.

"Ck, Vigo ... Sherlyn ... sebenernya lo berdua ke mana sih?" Raka bergumam pelan. Yang lain hanya diam.

"Gue takut," ucap Kinta tiba-tiba, dengan suara yang parau dan amat pelan. Ia terus mengatakan itu sejak kemarin.

"Kita semua takut, khawatir mereka kenapa-napa," timpal Dean. Yang lainnya mengangguk setuju.

"Mana gue belom minta maaf sama si Vigo lagi soal kejadian ToD itu," celetuk Alvin. Tidak biasanya ia sediam dan sekalem ini.

Beberapa saat kemudian, hening pun kembali menyapa. Tidak ada lagi diantara mereka yang berbicara.

********************

Sherlyn meringis pelan merasakan pegal di sekujur tubuhnya. Perlahan, ia membuka kedua matanya. Sinar matahari pagi menyilaukan pandangannya. Oh, dia masih berada di hutan ini ternyata. Ia sempat berharap semua yang terjadi ini hanyalah mimpi, sehingga saat ia bangun dari tidurnya, ia sudah berada di atas ranjang kesayangannya, dan bukan di sini.

Namun ternyata kenyataan berbuat jahat padanya.

Sherlyn memegang lehernya yang pegal. Bahkan tidak hanya leher, namun sekujur tubuhnya. Bagaimana tidak? Ia tidur dalam posisi duduk semalaman. Sherlyn menoleh ke sebelah kanannya. Kepala Vigo masih betah bersender di pundaknya, namun lelaki itu tidak lagi memeluknya. Kedua matanya masih terpejam. Ah, Vigo selalu bangun terlambat.

Sherlyn terdiam. Ia tidak ingin mengganggu Vigo. Ia teringat apa yang telah terjadi kemarin, membuat wajahnya bersemu merah. Bagaimana bisa? Seharusnya Sherlyn tidak meladeni Vigo. Gara-gara hipotermianya yang kambuh tiba-tiba, Sherlyn jadi harus tetap dekat dan memperhatikannya. Ia hanya khawatir dengan lelaki itu. Dan jujur, Sherlyn amat sangat takut kemarin. Ia tidak ingin kehilangan Vigo.

Oke, mungkin ini terdengar jahat. Sherlyn 'jatuh' kembali ke Vigo di saat ia masih memiliki hubungan dengan Devon.

Mengingat Devon membuatnya meringis. Apa Devon tahu soal berita hilangnya Sherlyn dan Vigo? Jika Devon tahu mereka menghilang secara bersamaan di Gunung Semeru ini....

Am I out of my head?

Am I out of my mind?

If you only knew the bad things I like

Don't think that I can explain it

What can I say it's complicated

Sherlyn mengernyit mendengar sesuatu. Ya, itu adalah sebuah lagu. Sherlyn mengenali lagu itu. Bad Things-nya Machine Gun Kelly ft. Camila Cabello. Namun ... dari mana suaranya berasal? Sherlyn menatap ke saku mantel Vigo. Ah! Pasti suara itu berasal dari ponselnya. Namun, bagaimana bisa?

No matter what you say

Don't matter what you do

I only wanna do bad things to you

So good, that you can't explain it

What can I say it's complicated

Sherlyn diam-diam merogoh saku mantel Vigo. Benar, suara itu berasal dari ponselnya. Dan lagu itu ternyata adalah lagu alarmnya. Gerakan Sherlyn yang ingin mematikan alarm itu terhenti sesaat. Entah mengapa, ia jadi mendengarkan lagu itu, memahami setiap liriknya. 'Hah, pantes aja dia kebo, raja ngaret. Alarmnya aja mellow gini,' komentar Sherlyn dalam hati. Namun, ia tetap tak berniat mematikannya. Ia terus mendengarkan lagu itu, yang seakan-akan memiliki arti yang agak vulgar.

Nothing's that bad, if it feels good

So you comeback, like I knew you would

And we're both wild

And the night's young

And you're my drug

Breathe you in 'til my face numb

Drop it down to the bass drum

I got what you dream about

Nails scratchin' my back tatt

Eyes closed while you scream out

And you keep me in with those hips

While my teeth sink in those lips

While your body's giving me life

And you suffocating my kiss

Then you said


I want you forever even when we're not together

Scars on my body so I can take you wherever like,

"I want you forever even when we're not together, scars on my body I can look at you whenever, yeah," tanpa sadar, Sherlyn ikut menggumamkan nyanyian tersebut. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Ia suka bagian itu, namun mendadak ia jadi sedih saat mendengarnya kembali. Seolah-olah lagu itu sedang menyindirnya.

Am I out of my head?

Am I out of my mind?

If you only knew the bad things I like

Don't think, that I can explain it

What can I say it's complicated


No matter what you say

Don't matter what you do

I only wanna do bad things to you

So good, that you can't explain it

What can I say it's complicated


I can't explain it, I love the pain

And I love the way your breath, melts me of novacaine

And we are always high

Keep it strange

Okay, yeah, I'm insane

But you the same

Let me paint the picture

Couch by the kitchen

Nothin' but your heels on

Losing our religion

You're my pretty little vixen

And I'm the voice inside your head

That keeps telling you to listen to all the bad things I say

And you said


I want you forever even when we're not together

Scars on my body so I can take you wherever like

I want you forever even when we're not together

Scars on my body I can look at you whenever, yeah

Sherlyn buru-buru mematikan alarm itu. Ia tidak ingin mendengar lagu itu lagi walaupun ia menyukainya. Ada beberapa lirik di lagu itu yang pas sekali dengan keadaannya, dan ia tidak suka. Tiba-tiba, ia merasakan pergerakan di bahu kanannya. Vigo bangun.

Vigo menegakkan lehernya, tidak lagi bersender di bahu Sherlyn. Wajahnya terlihat masih amat mengantuk. Lelaki itu menatap Sherlyn, kemudian bertanya, "Kok dimatiin?"

"Eh?" Sherlyn menatap Vigo dan ponselnya bergantian, tidak mengerti. "Alarm lo nyala, ya gue matiin lah," lanjut Sherlyn.

Vigo menggelengkan kepalanya. "Gue tau lo dengerin lagu alarm gue. Gapapa, dengerin aja sampe abis. Gue tiap pagi selalu bangun setelah lagunya selesai," ujar Vigo. Sherlyn hanya diam, lalu menggeleng. Ia menyodorkan ponsel itu kepada Vigo. Vigo meraihnya. Baterai ponselnya masih lumayan banyak, namun apa gunanya jika tidak ada sinyal?

"Hp gue mati, baterainya abis," ucap Sherlyn, meraih ponselnya yang ia letakkan di atas tanah di sebelahnya. Semalaman ia menyalakan torch lamp. Mungkin ponselnya mati sejak beberapa jam yang lalu.

"Kalo masih hidup juga gak bakal berguna. Kan gak ada sinyal," timpal Vigo. Sherlyn hanya mengangguk, membenarkan.

Tak lama, Sherlyn bertanya, "Kok alarm lo lagunya mellow sih? Pantesan lo selalu ngaret dan telat. Kalo gue jadi lo, bukannya bangun, gue malah makin betah di kasur. Berasa dinina-boboin."

Vigo tersenyum tipis, lalu memasukkan ponselnya ke saku mantelnya. "Karena gue suka lagunya." Sherlyn terdiam sesaat, menatap Vigo yang juga menatapnya. "Lo juga suka lagu itu kan?"

Sherlyn berdeham pelan, "Ehm. Sekarang udah nggak terlalu. Lagian terjemahannya—"

"Lo gak suka sama lagunya bukan karena terjemahannya yang emang rada menjurus ke hal yang nggak baik kan?" potong Vigo cepat. Sherlyn menelan liurnya dengan gugup. Mengapa Vigo mengetahuinya? Apalagi sejak tadi Vigo terus menatapnya, membuatnya tak tenang.

"Hm ... yah, gue..." Sherlyn speechless seketika. Ia menundukkan wajahnya, tidak berbicara lagi. Melihat kegugupan di wajah Sherlyn yang terlihat nyata membuat Vigo ikut gugup, entah mengapa. Apalagi ketika mengingat kejadian semalam. Mereka tidur berdua, dalam keadaan berpelukan, ditambah obrolan mereka yang bisa dibilang bukan obrolan ringan. Eerr ... itu 'agak' memalukan.

Apalagi ketika alarm Vigo berbunyi, memutarkan lagu itu. Bohong namanya jika mereka tidak memikirkan sesuatu yang aneh-aneh. Dan Vigo yakin wajahnya pasti sudah memerah hingga ke telinga. Lelaki itu mengalihkan wajahnya, memandang pepohonan di sekelilingnya.

"Lo ... mikirin apa?" tanya Sherlyn tiba-tiba, melihat Vigo yang hanya diam dengan telinga memerahnya. Dahulu, Sherlyn sangat menyukai wajah menahan malunya Vigo. Wajahnya itu akan bersemu merah hingga ke telinga dan lehernya, dan itu amat menggemaskan baginya.

Vigo menatapnya cepat, lalu mengusap tengkuknya dengan kikuk. "Hah? G-gue ... gue gak mikirin apa-apa."

Sherlyn menatapnya datar. Walaupun ia sempat berpikir macam-macam, namun ia buru-buru menepis pikiran-pikiran menjijikkan itu. "Bohong. Jangan mikir yang aneh-aneh, apalagi yang jorok-jorok. Gak usah macem-macem."

Vigo terbelalak, "Gue gak mikir macem-macem, kok. Lo-nya aja kali yang pikirannya menjurus ke situ semua."

"Heh, sembarangan lo! Maksud lo apa?" Sherlyn mendorong bahu Vigo kuat-kuat, membuat lelaki itu sedikit terdorong ke samping.

"Yang bilang begitu duluan pasti yang pikirannya jorok pertama kali lah! Kalo gue udah mikir yang nggak-nggak, dari semalem gue pasti udah macem-macemin lo," balas Vigo dengan santainya.

Walaupun Sherlyn diam-diam membenarkan ucapan Vigo dalam hati, namun ia tetap menabok keras lengan atas Vigo sambil melotot galak, lupa soal hipotermianya, membuat lelaki itu merintih tertahan. "Gak usah ngomong yang aneh-aneh! Udah ah, lupain, ganti topik! Mending sekarang kita jalan lagi, cari jalan keluar. Gue sedikit terkejut karena kita masih hidup sampe pagi ini, jadi kata-kata terakhir yang kemaren gak berlaku kan? Oke fix."

Vigo langsung melotot tak terima.

********************

Pukul 08.30.

Pak Syaiful memijit keningnya. Ia dan yang lainnya sudah kehabisan akal, harus ke mana lagi mereka mencari Sherlyn dan Vigo?

"Minum, Pak," Doni duduk lesehan di sebelah Pak Syaiful, menyodorkan sebotol air mineral. Pak Syaiful berterimakasih, segera menerima dan meneguk air mineral itu.

"Setelah ini kita mencari ke mana lagi, Mas?" tanya Pak Syaiful kepada Doni. Walaupun ia sudah sangat lelah, namun ia tidak akan menyerah mencari Sherlyn dan Vigo sampai ketemu.

Doni berpikir sebentar, menatap jauh. "Mungkin ke wilayah Cemoro Kandang sampai Oro-oro Ombo. Semoga mereka tidak terlalu jauh dari jalur pendakian. Jika beruntung, bisa jadi mereka malah kembali lagi ke jalur pendakian, sehingga kita bisa menemukan mereka lebih mudah dan cepat. Yah, semoga saja."

********************

"Vigo lo ngambek?"

"...."

"Ih, Vigo! Tungguin gueee!"

"...."

"Vigo—aw! Ini jalanannya kok makin nurun ya?"

"...."

"Vigooo!"

Vigo menghembuskan napas dengan kasar, kemudian berhenti melangkah. Ia menatap Sherlyn yang tertinggal di belakang dengan jengkel. Sepertinya gadis itu baru saja tergores ranting pohon atau tersandung akar pohon yang mencuat dari dalam tanah ke permukaan, karena Vigo sempat mendengarnya memekik tadi.

Sementara itu, Sherlyn menatapnya sembari cemberut klimaks. "Tungguin iiihh!!!" kemudian menghentak-hentakkan kedua kakinya seperti anak kecil.

Vigo memutar kedua bola matanya dengan malas. "Hhh ... lama deh lo."

Sherlyn berlari-lari kecil menghampiri Vigo. "Lo yang kecepetan!"

"Nyalahin gue kan," gerutu Vigo. Ketika Sherlyn baru saja ingin memukul lengan lelaki itu, suara gerasak-gerusuk terdengar di kedua telinga mereka, walaupun sepertinya masih agak jauh dari tempat mereka berdiri. Kedua wajah remaja itu pias, saling menatap.

"Go, lo denger?" bisik Sherlyn. Ia mulai ketakutan.

Vigo mengangguk, memasang pendengarannya lebih jelas. Suara itu semakin lama semakin jelas terdengar. Sherlyn dan Vigo sama-sama melirik ke arah semak belukar tebal yang berjarak sekitar beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Semak itu sedikit bergerak.

Sherlyn membelalakkan kedua matanya. "Go, kalo itu binatang buas gimana?" Sherlyn berkata dengan panik.

Vigo menyeret Sherlyn untuk berdiri di belakangnya. Kedua matanya awas menatap semak belukar itu yang sebenarnya cukup jauh dari tempat mereka berdiri. Ia mulai cemas. "Oke, gini sekarang. Gue itung sampe 3, setelah itu kita harus lari secepet mungkin dari sini. Satu—"

"Sekarang aja!" sentak Sherlyn yang langsung menarik lengan kiri Vigo. Lelaki itu sedikit terhuyung. Ia hendak protes, namun itu mustahil dilakukannya jika dalam keadaan berlari-lari seperti ini. Dalam hati ia merutuki Sherlyn habis-habisan yang selalu gegabah dan tidak sabaran.

Dua manusia itu berlari kencang sambil sesekali meloncat, menghindari batu besar dan akar melintang. Sesekali keduanya pun menoleh ke belakang, memastikan 'sesuatu' yang bergerak itu tidak mengikuti mereka. Hingga akhirnya....

Sreeeett!!!

"AAAAAAAAA!!!"

Oh, tidak! Saking paniknya dan cepatnya mereka berlari, mereka sama sekali tidak memperhatikan jalan di depan mereka. Jurang telah menunggu di depan sana, dan sayangnya baik Sherlyn maupun Vigo terlambat untuk menyadarinya. Sherlyn jatuh terperosok duluan, disusul Vigo yang juga terguling sampai bawah. Genggaman tangan mereka terlepas. Walaupun jurang itu tidak terlalu dalam dan curam, namun tetap saja mereka merasa kesakitan.

"Ah..." Vigo membuka kedua matanya yang sejak tadi terpejam. Ia meringis kesakitan ketika mencoba untuk duduk di atas tanah merah itu, yang berakhir kembali berebah. Mantelnya kotor terkena lumpur dan tanah basah, begitu juga wajahnya yang tergores sana-sini akibat berguling dari atas jurang sampai ke bawah sini.

Antara sadar dan tidak, Vigo berjuang untuk membuka kedua matanya lebih lebar lagi. Cahaya matahari begitu menusuk matanya, membuatnya kembali meringis. Seluruh tubuhnya sakit semua, seakan tidak bisa digerakkan. Kepalanya sakit sekali, seperti habis terbentur sesuatu yang keras. Ia meraba keningnya, dan merasakan sesuatu yang basah di sana. Ia berjengit dan menggigit bibirnya, merasakan nyeri hebat di kepalanya. Ia menatap tangannya yang digunakan untuk menyentuh keningnya itu. Jari-jari tangan kanannya basah oleh cairan berwarna merah. Tak perlu berpikir dua kali, ia tahu bahwa cairan itu adalah darah. Keningnya terluka, mungkin terbentur bebatuan saat terguling tadi.

Vigo menjatuhkan tangannya dengan malas ke sisi tubuhnya. Kejadian itu cepat sekali terjadinya. Ia teringat saat ia dan Sherlyn berlari menghindari 'sesuatu' yang tak pasti di balik semak belukar berdaun lebat, saat mereka berkali-kali menoleh ke belakang tanpa memperhatikan jalan di depan, saat Sherlyn berteriak keras dan terperosok ke jurang itu, yang otomatis membuatnya ikut terperosok. Kedua matanya membelalak. Sherlyn! Bagaimana dengan gadis itu?

Vigo buru-buru menyapu pandangannya, dan menemukan Sherlyn tergeletak tak berdaya tak jauh darinya dan membelakanginya. Ketakutan dan kekhawatiran besar menyergap diri Vigo. Lelaki itu—dengan sekuat tenaga walaupun seluruh tubuhnya kesakitan, merangkak pelan menuju Sherlyn.

"She..." panggil Vigo pelan sembari menyentuh bahu Sherlyn, membalik tubuhnya. Jantungnya berdebar keras. Kedua matanya semakin melebar melihat Sherlyn yang tak sadarkan diri. Wajahnya pun terdapat beberapa luka goresan. Keningnya memar, dan ada darah segar yang keluar dari hidungnya. Vigo menyentuh wajah itu, membawa Sherlyn ke dalam dekapannya. Ia mengelus pelan pipi Sherlyn yang bernoda tanah. Tanpa sadar, setitik air mata Vigo terjatuh dan mengenai wajah Sherlyn. Ia tak percaya telah mengeluarkan air mata karena khawatir dan takut akan kondisi Sherlyn sekarang. Ia tidak ingin kehilangan gadis itu.

'She, gue janji bakal bawa kita berdua keluar dari sini. Tolong bertahan She, gue mohon....'

********************

Continue Reading

You'll Also Like

ZiAron [END] By ✧

Teen Fiction

7.7M 734K 69
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA, SEBAGIAN PART DI PRIVAT ACAK. TERIMAKASIH] _________________________________________________ (16+) Hanya kisah kedua pasang...
15.3M 217K 8
Sudah terbit
88.1K 7.5K 16
Dua insan yang telah bertemu kembali dari sekian lamanya terpisah. •••