EX

By laevanter

148K 6.5K 148

Dunia itu berputar. Di dunia berlaku yang namanya hukum alam. Artinya, apa yang kau lakukan ke orang, baik at... More

Prologue
One
Two
Three
Four
Five
Six
Seven
Eight
Nine
Ten
Eleven
Twelve
Thirteen
Fourteen
Fifteen
Sixteen
Seventeen
Eighteen
Nineteen
Twenty
Twenty One
Twenty Two
Twenty Three
Twenty Four
Twenty Five
Twenty Six
Twenty Seven
Twenty Eight
Twenty Nine
Thirty
Thirty One
Thirty Three
Thirty Four
Thirty Five
Thirty Six
Thirty Seven
Thirty Eight
Thirty Nine
Forty
Forty One
Forty Two
Epilogue
VS Gallery

Thirty Two

2.1K 128 0
By laevanter

"Lo bener-bener gak inget jalan pulang ke camp apa, Go?!"

"...."

"Harusnya tuh lo inget! Please, inget-inget lagiii!"

"...."

"Go, denger gak sih?! Lo bener-bener nggak inget?"

"Gimana gue bisa inget kalo jalan yang gue laluin dari tadi ijo semua, gak ada patokannya! Marah-marah mulu lo, kita kesasar kayak gini juga karena lo. Lo sih gak sabaran, bukannya nungguin yang lain kalo mau ambil minum!" Vigo berkata emosi, lelah diomeli oleh Sherlyn sejak tadi, dan akhirnya ia balas mengomel. Mereka berdua berjalan tak tentu arah. Sherlyn di depan, menyibak semak belukar dan rumput-rumput sembari menggerutu, sementara Vigo di belakangnya, hanya diam mendengar Sherlyn mengoceh.

Namun pada akhirnya ia meledak juga.

Sherlyn menghentikan langkahnya, melotot galak menatap Vigo. Makin kesal saja ia pada makhluk Tuhan yang satu itu. Vigo ikut menghentikan langkahnya, menatap Sherlyn datar. "Ya siapa suruh lo ngikutin gue, hah?!" sentak Sherlyn.

Vigo memutar bola matanya. "Udah sih! Kalo gue gak ada di sini lo sendiri kan yang susah?! Udah untung kesasar berdua," balas Vigo, merutuk tertahan.

"Apanya yang untung?!" omel Sherlyn dengan galaknya. "Haish!" Sherlyn memutar tubuhnya, kembali berjalan tak menentu. Namun dalam hati, ia bersyukur juga karena harus tersesat berdua dengan Vigo. Daripada sendirian? Hanya saja ia gengsi mengakuinya. Tadinya ia sudah sangat bahagia karena Vigo muncul di saat yang tepat—karena ia kira Vigo tahu jalan kembali menuju camp Kalimati dan mereka akan ke sana berdua, namun ternyata harapan yang ia taruh kepada Vigo terlalu tinggi. Ia kira Vigo bisa diandalkan, namun ternyata lelaki itu malah ikut tersesat bersamanya. Cukup mengecewakan.

Vigo tidak mempedulikan gerutuan Sherlyn. Ia terus melangkah, mengikuti ke manapun Sherlyn berjalan. Tiba-tiba Sherlyn berhenti berjalan. Wajahnya pias. Vigo mendekat, bertanya, "Kenapa berenti?"

"Kayaknya kita udah lewat sini deh," ucap Sherlyn pelan.

Vigo menahan emosinya yang sudah sampai di ubun-ubun. Ia mengalihkan wajah, mengacak rambutnya dengan frustrasi. Salahnya juga membiarkan Sherlyn memandu jalan. "Gue lupa kalo lo buta arah. Udah deh, mending gue aja yang mandu jalan!" hardik Vigo. Sherlyn hanya cemberut lucu diejek seperti itu. Namun akhirnya ia pun berjalan di belakang Vigo, membiarkan Vigo memandu jalan, mengira-ngira jalan menuju camp Kalimati.

********************

Sementara itu di camp Kalimati....

Murid-murid OHS sudah bersiap-siap untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju Jambangan setelah mengisi persediaan air minum masing-masing di mata air Sumber Mani. Kinta berdiri dengan resah di barisan kelompoknya. Sherlyn benar-benar menghilang!

"Eh, Vigo mana dah?" celetuk Raka yang berdiri di depannya. Lelaki itu celingukan, mencari sosok salah satu sahabatnya.

Kinta terbelalak. Ia menepuk pundak Raka. "Vigo ilang juga?" tanya Kinta panik begitu Raka menoleh.

Raka memasang wajah bingung. "Ilang 'juga'? Lah, emang selain dia siapa lagi yang nggak ada?"

"Sherlyn juga gak ada!" Kinta benar-benar panik sekarang. Pekikannya terdengar oleh anggota kelompok mereka yang lain. Raka terbelalak lebar. Eldo langsung mendekati mereka.

"Ada apaan? Ada yang ilang?" tanya Eldo.

"Vigo sama Sherlyn gak ada!" jawab Raka. Sontak, mereka semua pias. Eldo berjalan dari depan ke belakang, memeriksa. Benar, dua anggota kelompoknya telah menghilang!

"Do, lapor Kak Doni aja!" seru Rome yang berada di barisan paling belakang.

Eldo mengangguk, lalu segera melapor ke Doni yang sedang mengatur barisan di depan. Terlihat Eldo yang membisiki Doni. Doni terbelalak lebar setelah Eldo selesai berbicara. Pria itu menegakkan tubuhnya, menatap kerumunan murid OHS satu-persatu.

"PERHATIAN, SEMUANYA! KEPADA SHERLYN DAN VIGO DARI KELOMPOK 11, JIKA MASIH ADA DI DALAM BARISAN, HARAP MAJU KE DEPAN!" perintah Doni dengan suara lantang. Ia ingin memastikan, apakah dua anak itu benar-benar menghilang. Suasana hening seketika. Mereka saling tatap, berusaha membantu menemukan keberadaan Sherlyn dan Vigo. Sia-sia, dua manusia itu tidak ada di sekitar mereka. Guru-guru yang mendengar itu terlihat panik. Beberapa guru memutuskan untuk mengelilingi barisan para murid, mencari keberadaan dua anak didik mereka. Tetap tidak ada.

"Kak, apa mungkin mereka ketinggalan rombongan di Sumber Mani?" Eldo angkat suara, memberikan kemungkinan.

"Hm, mungkin saja seperti itu. Apakah dua anak itu sudah tidak ada di antara kalian ketika makan siang?" Doni beralih lagi ke murid-murid. Kinta mengangkat tangannya. Doni mempersilakannya berbicara.

"Pas makan siang tadi, Sherlyn selesai duluan, Kak. Dia langsung pergi ke tenda untuk ambil minum, tapi nggak balik-balik. Pas rombongan kita mau ambil air minum dan pas kita masih di Sumber Mani juga saya nggak ngeliat dia. Temen-temen sekelompok saya yang lain juga begitu," jawab Kinta. Raka pun mengangkat tangannya juga. Doni segera mempersilakannya.

"Vigo juga gak keliatan sejak makan siang, Kak. Habis makan dia langsung pergi, gak tau mau ke mana," ujar Raka.

Doni berpikir keras mendengar kesaksian Kinta dan Raka. "Berarti kesimpulannya, mereka sudah tidak ada di rombongan sejak makan siang," Doni bergumam. Tak lama, Pak Syaiful yang tadinya sedang berbicara serius dengan guru-guru lain terkait masalah ini segera menghampiri Doni.

"Mas Doni, apa nggak lebih baik kita cari mereka aja sekarang? Mungkin mereka kesesat pas mau ambil minum di Sumber Mani atau terpisah dari rombongan. Kalau hilangnya baru-baru ini, mungkin mereka belum terlalu jauh," usul Pak Syaiful. Eldo yang berdiri di dekat mereka turut mendengarkan.

Doni berpikir kembali. Agen wisata lainnya ikut mendekat, begitu pula dengan guru-guru. Mereka mengadakan rapat dadakan di hadapan para murid, saling mengajukan usul dan kemungkinan. Seluruhnya berwajah khawatir. Tak lama kemudian, Doni kembali menghadap murid-murid. Keputusan final sudah didapat.

"Baik, jadi keputusan akhir dari para agen wisata dan guru-guru adalah sekarang kalian akan tetap turun gunung, kembali ke Ranu Pane. Perjalanan pulang untuk sementara akan dipandu oleh rekan saya, yaitu Kak Gilang, beserta rekan-rekan lainnya. Para guru pun akan ikut dengan kalian turun, kecuali Pak Syaiful. Sementara saya, Pak Syaiful, dan 4 orang rekan saya yang lain akan berusaha mencari Sherlyn dan Vigo terlebih dahulu, kami akan berusaha semampu kami sampai mereka berdua kami temukan. Doakan saja yang terbaik untuk mereka, semoga teman kalian baik-baik saja dan cepat kami temukan. Patuhi setiap peraturan yang ada dan jangan sampai terpisah dari rombongan! Mengerti, Anak-anak?" jelas Doni panjang-lebar. Murid-murid kompak mengiyakan, mematuhi kata-kata Doni.

Kinta di tempatnya berdiri bergerak dengan gelisah. Ia sungguh khawatir dengan keadaan Sherlyn sekarang. Di mana sebenarnya anak itu dan Vigo berada?

********************

Pukul 17.15.

Sudah sekitar 2 jam Sherlyn dan Vigo berjalan tak tentu arah, mencari keberadaan camp Kalimati. Suasana hutan pun semakin sunyi. Suhu semakin rendah. Tumbuh-tumbuhan yang menghalangi jalan mereka semakin lebat dan tinggi. Pohon-pohon yang mereka temui pun semakin besar, lebat, dan berdaun rimbun, membuat suasana menjadi agak gelap. Apalagi bisa dipastikan tak lama lagi matahari akan tenggelam di ufuk barat.

Sherlyn berhenti berjalan tiba-tiba. Ia berjongkok. Wajahnya antara pucat dan memerah karena kedinginan dan kelelahan. Entah mereka sudah sejauh mana sekarang dari camp Kalimati. Tetap juga tidak menemukan jalan keluar.

Vigo menghentikan langkahnya ketika mulai merasakan tidak ada lagi suara jejak kaki yang mengikutinya. Kedua matanya sedikit terbelalak melihat Sherlyn yang berjongkok lemah. Napasnya sedikit tersengal. Lelaki itu buru-buru menghampiri Sherlyn, ikut berjongkok.

"She, lo kenapa?" tanya Vigo, khawatir.

Sherlyn menggeleng. "Dingin, Go. Gue gak kuat, capek...." Dan setelahnya, Sherlyn terbatuk pelan.

Vigo menyentuh kedua bahu gadis itu. "Lo kenapa gak bilang sih kalo capek? Kan kalo lo pingsan gue juga yang repot!" omel Vigo. Ia melepas mantelnya, kemudian menyampirkannya di kedua bahu Sherlyn.

Sherlyn berusaha menepis mantel itu, berkata dengan suara paraunya, "Gak usah, Go. Gue gapapa. Nanti lo gimana? Lo kan—"

"Gak usah bawa-bawa hipotermia. Gue baik-baik aja. Lagian gue pake jaket lagi kok," potong Vigo cepat, memaksa Sherlyn mengenakan mantelnya yang kebesaran jika dipakai oleh gadis itu. Namun itu lebih bagus. Setidaknya akan menutupi telapak dan punggung tangan Sherlyn beserta jari-jemarinya yang lentik. "Kita istirahat dulu aja lah. Ayo, duduk di sana." Vigo menunjuk salah satu pohon besar tak jauh dari mereka.

Sherlyn—walaupun enggan, akhirnya terpaksa memakai mantel itu juga karena Vigo yang melemparkan tatapan mengancam padanya. Namun ia tidak setuju dengan kata-kata Vigo bahwa mereka harus istirahat dulu. "Nggak! Nanti keburu gelap, Vigo. Dan kalo sampe malem kita gak nemu jalan balik ke camp gimana? Gue masih kuat kok untuk jalan pelan-pelan."

"Gak usah keras kepala bisa gak sih?" omel Vigo, menatap Sherlyn tajam. "Gue yakin, Kak Doni sama agen wisata yang lain bakal turun-tangan nyari kita berdua kalo emang sampe gelap kita gak balik-balik. Atau bahkan, mungkin sekarang mereka lagi cari kita. Lo tenang aja," suara Vigo melembut setelah mendapati reaksi ketakutan dari Sherlyn.

Sherlyn menatap Vigo ragu. Wajah gadis itu sedikit pucat karena kedinginan. Kedua matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Jujur saja, Vigo tidak tega melihat Sherlyn seperti itu.

"Ya?" sekali lagi, Vigo meminta persetujuan dari Sherlyn. Tatapannya melunak pada gadis itu. Ia tahu Sherlyn akan ketakutan bila ia menatapnya tajam seperti tadi. Sherlyn tak menjawab. Ia yakin, apapun jawabannya jika ia memang menjawab, Vigo akan tetap memaksanya untuk istirahat terlebih dahulu.

Dan benar saja, tanpa menunggu jawaban Sherlyn yang hanya diam sembari menunduk menahan tangis, Vigo langsung membimbing gadis itu, berjalan pelan-pelan ke arah sebuah pohon besar tak jauh dari mereka dan langsung duduk di bawahnya.

********************

Suasana di dalam tenda kelompok 11 itu hening. Ya, mereka telah tiba di Ranu Kumbolo. Tiap kelompok juga hanya mendirikan sebuah tenda. Lagipula mereka tidak akan bermalam di sini lagi. Mereka hanya diberikan waktu beristirahat sampai jam 19.00 nanti. Sehabis makan malam, mereka akan melanjutkan perjalanan kembali ke Ranu Pane dan bermalam di homestay untuk bersiap-siap kembali ke Jakarta esok paginya. Sungguh melelahkan.

Jam sudah menunjukkan pukul 18.15. Kinta lagi-lagi meringis. Sejak tadi ia sama sekali tidak bisa tenang. Fellisa, Kanaya, Windy, Eldo, Raka, Rome, dan Brian menatapnya prihatin. Pasalnya, mereka juga khawatir dengan keberadaan Vigo dan Sherlyn sekarang.

Berkali-kali juga Eldo memandang keluar tenda, berharap-harap cemas Doni, Pak Syaiful, dan 4 orang agen wisata lainnya yang bertugas mencari Sherlyn dan Vigo kembali—tentunya dengan dua anak itu di sisi mereka. Namun hal yang diharapkan itu tidak terjadi juga.

"Belom pulang Do mereka?" tanya Brian—entah untuk yang keberapa kalinya—memecah keheningan. Eldo menggeleng lemas. Kini ia merasa amat terpukul dan menyesal, karena tidak bisa menjaga anggota kelompoknya dengan baik. Ia merasa ini semua juga merupakan kesalahannya.

"Haaa ... kalo mereka berdua kenapa-napa gimana?" Kinta mulai meracau lagi. Pikiran buruk terus berseliweran melintasi otaknya. Entah mengapa memorinya terus memutar kebersamaannya dengan Sherlyn. Ia teringat bagaimana hebohnya gadis itu kalau sudah bercerita dan mudahnya Sherlyn jika diajak bekerjasama—terutama dalam hal pelajaran dan ulangan. Wajah menangisnya, wajah tertawanya, semuanya terbayang oleh Kinta. Suaranya saat curhat tentang Vigo, semuanya terdengar secara otomatis di kedua telinganya.

"Mereka bakal baik-baik aja, Kin. Positive thinking kenapa sih?" Raka merasa tak senang dengan racauan Kinta. Pasalnya, karena Kinta yang terus berkata kemungkinan-kemungkinan buruk, ia jadi ikut berpikir buruk pada Vigo. Walaupun Vigo terkadang kejam padanya, namun ia tidak siap jika harus kehilangan Vigo sekarang.

Eldo menunduk mendengar perdebatan teman-temannya. Ia berbicara lirih, "Guys, sorry ya. Ini juga salah gue. Gue gak becus jadi ketua kelompok dan seeker. Harusnya gue lebih merhatiin anggota-anggota kelompok gue. Harusnya gue sebagai ketua bisa ngejaga kalian dengan baik."

Semua terdiam selama beberapa saat mendengar kata-kata Eldo. Lelaki itu merasa gagal menjadi ketua kelompok. Rome yang ada di sebelahnya merangkul Eldo, menepuk-nepuk bahunya. "Jangan nyalahin diri sendiri. Ini bukan sepenuhnya salah lo. Kita semua yang ada di sini juga harus masuk dalam pihak yang disalahkan, karena kita sama-sama nggak sadar pas Vigo sama Sherlyn ilang. Lagian lo becus kok jadi ketua. Lo ketua ter-amazing di Tour Week ini. Kak Doni aja sampe kagum sama lo. Untuk sekarang, mending kita berdoa aja yang terbaik untuk Sherlyn sama Vigo. Semoga mereka baik-baik aja sekarang, dan cepet-cepet ditemuin sama Kak Doni dan yang lain. Udah lah, gak usah galau-galau. Masa anak pencinta alam dan pramuka baperan gini? Kalian juga, gak usah mikir yang aneh-aneh. Positive thinking aja."

Mereka semua mengangguk, menyetujui kata-kata bijaknya Rome.

********************

Pukul 19.50.

Keadaan hutan benar-benar gelap-gulita. Sherlyn merogoh ponselnya di saku. Seperti biasa, tidak ada sinyal sama sekali. Beruntung baterai ponselnya masih banyak, walaupun tidak penuh. Ia mengaktifkan torch mode di ponselnya, menyebabkan cahaya seperti senter bersinar terang dari ponselnya. Sherlyn menepuk sebelah pipi Vigo. Sejak tadi lelaki itu memejamkan kedua matanya, memeluk dirinya sendiri sembari menunduk dalam. Sherlyn tahu Vigo masih terjaga. Vigo mengerjap beberapa kali, menatap Sherlyn dengan tatapan bertanya.

"Jalan lagi yuk? Gue udah nggak lemes," ajak Sherlyn. Sherlyn berpikir, lagipula mereka sudah cukup lama beristirahat.

Vigo terdiam beberapa saat. Ia mengernyitkan keningnya beberapa kali, kemudian terpejam lagi. Ia mengeratkan pelukannya sendiri di tubuhnya, berharap dapat menghalau rasa dingin yang menggigitinya sejak tadi.

"Go? Lo oke?" Sherlyn mengguncangkan tubuh Vigo lagi. Vigo membuka kedua matanya kembali, menatap Sherlyn, kemudian mengangguk. "Ayo, jalan lagi. Kita harus cari jalan keluar dari sini." Lagi-lagi Vigo hanya mengangguk. Ia dan Sherlyn bangkit, kembali berjalan—ke mana saja. Yang penting tidak terus-menerus berada di satu tempat yang sama.

********************

"Duh, gelap gini makin mempersulit kita," gerutu Sherlyn. Kini ia kembali berjalan di depan. Mantel milik Vigo yang dikenakannya membuat Sherlyn seakan-akan bertubuh besar. Padahal itu karena ia mengenakan 2 lapis mantel tebal di tubuhnya. "Kok gue mulai ngerasa dari tadi kita muter-muter doang ya? Go, menurut lo gimana? Ke mana lagi ini? Gue kan buta arah."

Vigo lagi-lagi hanya menghela dan menghembuskan napasnya dengan pelan—berkali-kali. Kepulan uap tipis terlihat saat ia menghembuskan napas. "Go ... ini ke mana?" Sherlyn jadi panik lagi. Habis sejak tadi Vigo hanya diam jika diajak berbicara. Oke, Sherlyn memang lebih sering menggerutu dan berbicara sendiri, mengira-ngira sendiri. Namun, ia juga berharap Vigo akan merespon kata-katanya.

"Go ... gue serius! Ini ke—" Sherlyn menghentakkan kakinya dengan kesal, berjalan ke arah Vigo dan menarik tangannya paksa—yang entah mengapa karena tarikan Sherlyn yang terlalu kuat atau apa, hampir membuat Vigo terjungkal ke depan. Kata-kata Sherlyn terhenti seketika merasakan betapa dinginnya tangan itu. Sebuah rasa takut—khawatir lebih tepatnya, menyelimuti Sherlyn saat itu juga. Sherlyn terus memegang tangan itu, merasakan dinginnya. Tangan itu sama sekali tidak merespon genggamannya. "V-Vigo..." Sherlyn bergumam. Ia mengarahkan torch lamp-nya ke wajah Vigo.

Vigo meringis merasakan silaunya cahaya yang menusuk kedua matanya. Wajahnya pucat, napasnya lemah dan tidak beraturan. Bibirnya sedikit bergetar dan tubuhnya menggigil—tentu saja. Sherlyn terbelalak lebar mendapati kondisi Vigo yang seperti ini. Ketika napas lelaki itu mulai cepat dan ia merunduk—hampir jatuh, Sherlyn langsung menahan tubuh Vigo, walaupun akhirnya gagal juga, karena mereka sama-sama tumbang ke tanah.

Hanya satu yang Sherlyn tahu saat itu; hipotermianya Vigo kambuh.

********************

Continue Reading

You'll Also Like

62.1K 8.1K 63
[ALL SERIES 2] Karena terlalu disibukkan dengan pekerjaan, Erico terlambat menikah. Dia meminta sang mama untuk dicarikan calon istri. Wanita itu ber...
311K 16.9K 37
Jangan pernah kembali, kepada apapun yang telah menghancurkanmu, bila tak ingin hancur berkali-kali. [ Beralur Campuran, ku ajak kau selami kisah pem...
26.3K 1.7K 31
#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menye...
45.2K 6.3K 32
Sejak kecil Aksal tau wajahnya tampan. Karena itulah tak sulit bagi Aksal untuk bergonta ganti pasangan. Pemuda itu juga tidak takut dengan karma ka...