EX

By laevanter

148K 6.5K 148

Dunia itu berputar. Di dunia berlaku yang namanya hukum alam. Artinya, apa yang kau lakukan ke orang, baik at... More

Prologue
One
Two
Three
Four
Five
Six
Seven
Eight
Nine
Ten
Eleven
Twelve
Thirteen
Fourteen
Sixteen
Seventeen
Eighteen
Nineteen
Twenty
Twenty One
Twenty Two
Twenty Three
Twenty Four
Twenty Five
Twenty Six
Twenty Seven
Twenty Eight
Twenty Nine
Thirty
Thirty One
Thirty Two
Thirty Three
Thirty Four
Thirty Five
Thirty Six
Thirty Seven
Thirty Eight
Thirty Nine
Forty
Forty One
Forty Two
Epilogue
VS Gallery

Fifteen

2.1K 127 0
By laevanter

Tak lama setelah kepergian Kylie, Vigo bersuara pelan, "Mama...."

Tak ada jawaban.

Vigo menghela napas. Walaupun tak pernah ada jawaban untuk kata-katanya, namun Vigo tetap berbicara kepada Rania. Sebenarnya sejak tadi ia ingin curhat kepada ibunya—tentang segalanya. Namun, rencana itu sempat tertunda karena saat ia membuka pintu kamar Rania, ada Kylie di sana. Ia tidak bisa berbicara leluasa dengan Rania jika masih ada Kylie.

Lebih tepatnya, ia malu.

Vigo menggenggam tangan kanan Rania dengan erat. Perlahan ia menegakkan tubuhnya dan menciumi tangan ibunya dengan penuh kasih sayang. "Vigo kangen Mama. Kangen banget, Ma."

Suasana hening beberapa detik, sampai akhirnya Vigo melanjutkan kalimatnya, "Vigo gak tau kapan Vigo bakal kuat nungguin Mama di sini sampe Mama bangun. Vigo kangen. Kylie sama papa juga kangen Mama. Vigo kangen Mama ngomel-ngomel ke Vigo lagi kalo Vigo pulang kemaleman bareng anak ZC atau berantem sama orang lain."

Vigo memejamkan kedua matanya. Ia benar-benar sudah lelah dan hampir putus asa sekarang. Ia tidak bisa bercerita kepada siapapun tentang isi hatinya, kecuali kepada Rania.

"Ma, Sherlyn pergi, Ma. Sherlyn udah pacaran sekarang sama Devon. Dan Vigo gak ngerti kenapa Vigo harus sesedih ini. Vigo belom bisa nerima itu, Ma. Vigo harus apa?"

Hening selama beberapa saat lagi.

"Ma, Sherlyn keliatan bahagia banget sama Devon. Entah Vigo udah bilang begitu ke Mama berapa kali. Vigo seneng ngeliat Sherlyn seneng. Tapi sekarang, susah buat Vigo ikut seneng ngeliat dia seneng. Ma, sekarang Sherlyn bener-bener pergi dari Vigo. Maafin Vigo karena Vigo gak bisa lagi sama-sama Sherlyn, gak bisa lagi jagain dia. Karena sekarang, ada cowok yang lebih baik di sisi Sherlyn yang bakal ngejaga dia, Ma."

Tenggorokan Vigo tercekat. Ia menggenggam erat tangan Rania, menyentuhkannya ke dahinya.

"Ma, Vigo tau Vigo berengsek. Tapi Vigo butuh Mama. Kylie sama papa juga butuh Mama. Bangun, Ma ... Vigo mohon. Vigo butuh Mama sekarang, Vigo bener-bener butuh Mama..." tanpa sadar, air mata itu kembali keluar dari kedua mata elang Vigo. Ia bukanlah anak yang cengeng, karena ia lelaki. Ia bahkan hampir tidak pernah menangis sejak lama sekali. Namun, sekarang ia merasa air matanya sangat mudah untuk terjatuh, membuatnya merasa bahwa dirinya lemah dan tak berguna. Dan rasanya amat sesak di dada. Sakit.

"Ma ... Vigo butuh Mama. Vigo capek, Ma. Vigo capek sama semuanya. Vigo nggak mampu nanggung beban ini sendirian tanpa ada Mama..." Vigo terus terisak dalam diam. Ia berharap Kylie tidak masuk ke kamar rawat Rania dulu sekarang. Bisa malu besar ia di hadapan adiknya karena ketahuan menangis.

Vigo menengadah, menatap wajah ibunya dengan sendu. Dieratkannya genggaman tangannya di tangan Rania. "Ma ... Vigo mau nyerah aja rasanya. Ma, kalo Vigo nyerah, Mama janji sama Vigo, Mama gak akan nyerah. Ya, Ma?" Vigo kembali menunduk dalam. Ia tahu semua perkataannya kepada Rania hanyalah sia-sia. Rania tidak akan bisa mendengarnya. Rania tidak akan bisa menyahuti ucapan-ucapannya. Rania tidak akan bisa bangkit dan memeluknya hangat seperti dulu jika ia sedang ada masalah.

'Semua ini sia-sia....'

Dan saat itulah, di saat harapan hampir habis, di saat langit seakan-akan hampir runtuh menimpa bumi, di saat semuanya seakan-akan berada dalam titik-titik terbawah dalam jurang kehidupan yang curam, keajaiban itu datang. Secepat mata berkedip.

Tiba-tiba saja, tangan Rania yang basah oleh air mata Vigo, yang sejak tadi terus digenggam erat oleh lelaki itu, bergerak pelan. Pelan sekali, sampai Vigo hampir tidak menyadarinya. Namun Vigo menyadari pergerakan itu. Kedua matanya yang memerah terbelalak. Ia menatap wajah Rania lekat-lekat.

"M-Mama?"

Pergerakan itu kembali datang. Vigo sedikit mengguncang tangan itu, mungkin saja bisa membuat pergerakannya lebih terasa dan Rania langsung terbangun dari tidur panjangnya.

"Mama? Mama, ini Vigo. Mama denger Vigo?"

Sekali lagi pergerakan, kali ini lebih jelas, ditambah kedutan di kening Rania dan bola matanya yang sedikit bergerak di bawah kelopak matanya. Vigo menunggu. Waktu terasa berjalan lambat sekali, namun ia tetap menunggu dengan harap-harap cemas. Ya, harapan itu belum hilang sepenuhnya. Harapan itu nyatanya masih ada, dan kini hampir berubah menjadi sebuah kenyataan.

10 detik ... 30 detik ... 60 detik. Dan tepat pada detik ke-90, kedua mata kuyu yang selalu tertutup rapat itu kini perlahan membuka. Sepasang mata sayu yang selalu Vigo rindukan jernih warnanya. Sepasang mata dengan tatapan lemah yang mengitari seluruh ruangan, dan berhenti tepat saat mata itu berpapasan dengan milik Vigo. Vigo tersenyum haru. Ia benar-benar tidak bisa mendeskripsikan perasaannya saat itu. Satu yang ia tahu; ia bahagia.

Ya, Rania telah memutuskan untuk mengakhiri tidur panjangnya.

Vigo langsung bangkit, buru-buru menekan bel darurat untuk memanggil dokter.

********************

Sherlyn bergelung di balik selimut tebalnya. Ia menatap kosong ke arah tirai jendela kamarnya. Kemudian, tatapannya jatuh kepada boneka bunny raksasa berwarna putih di sisi ranjangnya, hampir terjatuh. Gadis itu sedikit bangkit untuk meraih boneka itu. Ia terduduk, menatap boneka itu lekat-lekat.

'Vigo ... kenapa di saat-saat kayak gini, gue harus kepikiran sama lo? Please lah, kenapa gue jadi khawatir gini?'

Sherlyn menjitak kepala boneka itu dengan lemah, memukulnya berkali-kali.

'Harusnya gue biasa aja. Lagian Vigo juga kayaknya udah punya yang baru deh, si Anak JNHS itu. Tapi kenapa gue khawatir pas liat ekspresi wajahnya tadi?'

Belum habis pikiran-pikiran Sherlyn tentang Vigo, ponselnya bordering pelan. Ia melirik ponselnya, membaca caller ID. Dari Devon. Sherlyn langsung meraih ponselnya dan menempelkannya di telinga. "Halo, Dev?"

"Ada waktu gak malem ini?" tanya Devon di seberang sana.

"Oh, hm ... kebetulan karena nggak ada PR dan besok hari Sabtu, jadi aku free. Kenapa?"

"Dinner di luar yuk?" ajak Devon langsung saja. "Aku jemput kamu jam 7 nanti."

Sherlyn melirik jam dinding yang terpampang di salah satu sisi dinding kamarnya. Pukul 16.30.

"Oke, aku tunggu."

********************

Kembali ke rumah sakit. Vigo yang kini tengah bolak-balik di depan pintu kamar rawat Rania berkali-kali menelepon Kylie, namun tidak juga diangkatnya. Ketika ia menelepon untuk yang ke-15 kalinya, suara Kylie menyahut dari sana.

"Halo? Kenapa?"

"Lama banget sih lo ngangkat teleponnya! Dek, ke kamar mama sekarang!" balas Vigo, sedikit mengomel.

"Lho? Sorry, hp gue tadi di  flight-mode. Mama kenapa, Kak?"

"Mama udah bangun, Dek. Mama siuman," jawab Vigo cepat. Kylie terdiam. Tidak ada lagi suara di ujung sana. Vigo mengernyitkan keningnya. "Ky?"

Tuuuutt ... tuuuutt ... tuuuutt.

Telepon terputus. Vigo menghela napas menatap layar ponselnya, membaca tulisan 'panggilan diakhiri'. Kylie pasti sangat kaget mendapat berita ini, jadi ia langsung mematikan ponselnya dan berlari menuju kamar rawat Rania.

********************

Suara cempreng Kylie terdengar ketika Vigo sedang berusaha menelepon Jamil, ayahnya. "Kak! Mama gimana?"

Vigo menoleh cepat, menatap Kylie yang berlari-lari ke arahnya. Kedua matanya memerah dan wajahnya sembab. Pasti Kylie berlari-larian sembari menangis karena berita mencengangkan ini.

"Eh ... mama masih diperiksa di dalem."

"Kak, lo gak bercanda kan, Kak?" Kylie bertanya, mendesak kakaknya dengan suara mencicit menahan tangis.

"Nggak, gue nggak bercanda. Ngapain juga gue bercandain hal kayak gini?" balas Vigo. Tidak tega juga lama-lama ia melihat Kylie menangis.

"Alhamdulillah ... Mama ... hiks," Kylie mengucap syukur berkali-kali, terus menangis di hadapan Vigo.

Vigo meraih bahu adiknya, merangkulnya hangat. "Udah, lo gak usah nangis mulu. Kita berdoa yang terbaik aja untuk mama."

Kylie mengangguk samar, membiarkan Vigo merangkul dirinya. Padahal tadi sebelum kedatangan adiknya Vigo menangis sesenggukan karena khawatir. Untung saja Kylie tidak menyadari wajah sembab Vigo. Lagi, Jarang sekali Vigo melakukan hal ini, karena biasanya Kylie dan Vigo selalu bertengkar seperti kucing dan anjing. "Papa gimana, Kak? Udah dikasih tau?" Kylie menoleh menatap Vigo yang lebih tinggi beberapa senti darinya.

"Ini gue lagi berusaha ngehubungin dia—ah! Halo, Pa? Pa, mending Papa ke rumah sakit sekarang. Mama siuman, Pa."

********************

Sementara itu di tempat lain....

Sherlyn menatap sekeliling. Kini ia dan Devon sudah berada di salah satu restoran yang terkenal di kota mereka.

"Kamu mau pesen apa?" tanya Devon. Sherlyn terdiam, tidak sadar diajak bicara oleh Devon. Devon yang heran mengapa ia didiami menatap Sherlyn yang sedang melamun. "Lyn...."

"Eh, i-iya. Kenapa, Dev?" tanya Sherlyn, gelagapan. Semenjak pacaran dengan Devon, Devon melarangnya untuk memanggilnya dengan sebutan 'kakak'. Dan sepertinya Sherlyn pun sudah mulai terbiasa dengan hal itu dan gaya pacaran Devon yang manis.

"Hhh ... kamu bengong, Lyn. Aku tadi nanya, kamu mau pesen apa?"

"O-oh ... itu. Hm ... apa aja deh, Dev," balas Sherlyn. Ia benar-benar sedang tidak bisa berpikir jernih sekarang. Entah mengapa sejak tadi ia malah kepikiran Vigo, sejak mereka bertabrakan di tikungan koridor sekolah secara tak sengaja.

"Kamu mikirin apa?" tanya Devon, tidak peduli lagi terhadap buku menu di hadapannya. Lelaki itu menatap Sherlyn khawatir.

Sherlyn menunduk, bingung ingin menjawab apa. Tidak mungkin ia mengatakan kepada Devon bahwa sekarang ia sedang kepikiran Vigo.

"Hm ... bukan apa-apa kok, Dev. Aku cuma ... cuma...."

"Laper?" Devon tersenyum manis, menggoda.

Sherlyn mengerjap beberapa saat, kemudian tertawa pelan. "Kamu tau aja."

Devon ikut tertawa. "Ya udah, aku yang pesenin aja ya makanannya? Daripada ditanya kamu-nya bengong terus gara-gara kelaperan," usul Devon.

Sherlyn hanya mengangguk, balas tersenyum. Padahal Devon tahu, Sherlyn bengong pasti karena sedang memikirkan sesuatu, bukan hanya kelaparan. Namun, Devon memilih untuk tidak bertanya lebih jauh karena ia tahu Sherlyn tidak akan memberitahunya. Biarlah kali ini Sherlyn larut dalam pikirannya sendiri. Ia tidak ingin memaksa gadis itu.

********************

Di rumah sakit....

Jamil berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar rawat Rania, istrinya. Ia menatap Vigo dan Kylie yang sedang berdiri tepat di depan pintu kamar rawat Rania yang tertutup dengan ekspresi cemas.

"Vigo! Mama gimana?" tanya Jamil langsung ketika sudah berada di hadapan anak-anaknya.

"Dokter masih meriksa mama, Pa," jawab Vigo. Jamil menghela napas panjang. Ia sedikit ngos-ngosan. Pasti Jamil habis berlari-larian. Wajahnya yang lelah pun berkeringat dan menunjukkan kecemasan yang luar biasa.

Tak lama kemudian, pintu kamar rawat Rania pun terbuka dan menampakkan sosok Dr. Roy, seorang dokter berwajah tampan nan hangat yang selama 7 bulan ini mengurusi Rania. Beberapa orang suster pun keluar bersamaan dengannya. Jamil, Vigo, dan Kylie langsung menghampiri Dr. Roy.

"Dok, gimana keadaan istri saya?" Jamil bertanya dengan nada suara bergetar karena khawatir.

Dr. Roy tersenyum. "Ini keajaiban, Pak. Padahal saya sendiri tidak bisa memprediksi kapan Ibu Rania akan terbangun dari komanya. Keadaan Ibu Rania membaik, walaupun sekarang masih sangat lemah. Namun hal itu bisa kami atasi. Bapak dan keluarga bisa melihat Ibu Rania sekarang."

Wajah Jamil, Vigo, dan Kylie mendadak cerah. Bahkan Kylie kembali menangis haru, tak sabar menemui ibunya yang sangat ia rindukan. Jamil menjabat tangan Dr. Roy dengan erat, berterimakasih berkali-kali. "Terima kasih, Dokter. Saya sungguh berterimakasih!"

Setelah kepergian Dr. Roy, Jamil, Vigo, dan Kylie langsung menghambur ke dalam kamar rawat Rania. Rania yang terbaring lemah di ranjangnya menatap mereka bertiga yang tersenyum cerah. Wajahnya masih menunjukkan kebingungan yang luar biasa, namun ia tersenyum. Senyuman hangat khas seorang ibu. "Mama tidurnya lama banget ya? Sampai Kylie rambutnya jadi sepanjang itu dan Vigo jadi makin tinggi sekarang, papanya kalah."

"Mama..." Vigo dan Kylie bersamaan menghambur dalam pelukan Rania. Vigo di kiri, dan Kylie di kanannya. Mereka berdua sama-sama menangis haru, melepas kerinduannya kepada sang Ibu.

Rania ikut menangis haru, balas memeluk anak-anaknya dan menciumi kepala Vigo dan Kylie bergantian. Jamil menghapus air mata bahagianya, menatap istri dan anak-anaknya tercinta sedang melepas rindu dengan ibu mereka. Isak tangis kebahagiaan memenuhi langit-langit ruangan yang tidak terlalu besar itu. Ia menyatukan kedua tangannya, bersyukur habis-habisan pada Yang Mahakuasa. Setelah itu, ia mendekati Rania. Vigo dan Kylie berbaikhati melepas pelukan mereka, memberi kesempatan ayah mereka untuk melepas rindu. Jamil memeluk istrinya hangat, tak habis-habis mengucapkan kata sayang dan rasa syukur. Ia menciumi wajah Rania, wanita yang amat dicintainya berkali-kali.

'Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih atas segala nikmat yang telah Engkau berikan pada keluarga kecil kami, terlebih hari ini. Terima kasih atas hadiah yang mahaindah ini. Terima kasih karena telah menjawab banyak doa dan harapan kami yang tak pernah lelah kami untai. Terima kasih, Ya Allah.'

********************

"Mama mau?" Vigo yang habis mengupas jeruk mendekati Rania, mengarahkan satu slice jeruk ke mulutnya. Rania mengangguk, menerima jeruk itu. Terasa manis. Vigo tersenyum, kemudian memakan jeruk itu juga. Kylie yang sedang mengerjakan PR di atas sofa menatap itu semua sambil tersenyum, kemudian kembali fokus pada buku PR-nya. Sebentar lagi ia ujian nasional, dan ia harus lebih ekstra belajar.

Tak lama, Jamil keluar dari kamar mandi. Wajahnya sudah jauh lebih segar, karena ia habis mandi. Padahal di kantor tadi kerjaannya belum selesai, namun ia meminta izin kepada bosnya untuk pulang lebih cepat demi Rania. Jamil tersenyum menatap keluarga kecilnya ini. "Papa mau cari makan malem dulu di luar. Ada yang mau ikut?"

Vigo langsung menggeleng, tentu saja. "Vigo mau sama mama di sini," ucapnya. Jamil memaklumi, beralih ke Kylie.

"Kalo Adek Kylie?"

"PR aku belom selesai, Pa. Lagian juga aku maunya di sini aja, sama mama dan Kak Vigo," Kylie nyengir lucu.

Jamil lagi-lagi hanya mengangguk, memaklumi. "Sayang, aku nyari makan malem dulu ya untuk anak-anak?" Jamil menghampiri Rania, mengecup keningnya sekilas. Rania tersenyum, mengangguk. "Vigo, Kylie, jaga mama kalian!" Vigo dan Kylie patuh mengiyakan.

Tak lama setelah kepergian Jamil, wajah Rania teralih ke Vigo yang sedang memakan sisa jeruknya. Sadar karena diperhatikan, Vigo pun berkata, "Eh, Mama mau lagi jeruknya? Biar Vigo kupasin lagi—"

"Nggak usah, Sayang," ucap Rania, menahan lengan Vigo untuk mengambil sebuah jeruk di atas nakas. Vigo menurunkan tangannya, kemudian mengangguk, tersenyum salah tingkah. "Mama cuma mau nanya."

"Nanya apa, Ma?" tanya Vigo penasaran, sembari memasukkan sebuah potongan jeruk lagi ke dalam mulutnya.

"Sherlyn nggak ke sini? Mama kangen banget sama dia."

"Uhuk!" Vigo tersedak seketika mendengar pertanyaan ibunya. Bahkan Kylie ikut-ikutan terkejut sampai menghentikan kegiatan menulisnya. Diam-diam, ia melirik ke arah Vigo dan Rania.

"Eh, kenapa? Minum dulu, minum," sergah Rania. Vigo yang masih shock dengan pertanyaan tiba-tibanya Rania segera meraih botol air mineralnya dan meneguk setengahnya.

"Hhh ... Mama—Mama kenapa nanya itu?" tanya Vigo, tergagap.

Rania cemberut, "Lho, emangnya kenapa? Mama kan kangen sama Sherlyn. Kamu masih sama dia kan?"

Vigo terdiam beberapa saat, bingung ingin menjawab apa. Rania memang tidak tahu-menahu soal hubungan Vigo dan Sherlyn yang sudah kandas sejak dua bulan yang lalu.

Kedua mata Vigo melirik Kylie. Yang dilirik segera berpura-pura fokus pada buku PR-nya kembali. "I-itu ... masih kok, Ma."

Kylie sontak melotot, menatap Vigo. Vigo yang menangkap pelototan itu balas memelototi adiknya, menyuruhnya diam. Kylie yang sedikit ngeri mendapat pelototan galak dari Vigo langsung buru-buru menatap buku PR-nya lagi.

"Ya udah, ajak ke sini dong, ketemu Mama," ujar Rania dengan nada memohon.

Vigo mengusap tengkuknya dengan gugup. Ia bingung ingin mengatakan apa lagi. Bagaimana ini?

"Vigo...."

"I-iya, Ma. Kapan-kapan Vigo ajak Sherlyn ke sini. Kan sekarang udah malem, Ma. Terus juga Sherlyn kayaknya lagi sibuk akhir-akhir ini, tugas emang lagi banyak-banyaknya. Hm ... nanti Vigo bilangin ke dia deh, terus Vigo ajak ke sini."

********************

Continue Reading

You'll Also Like

422K 5.8K 66
Cinta, sahabat and, mantan
1.5M 55.2K 20
Sebagai perempuan modern yang sukses dalam karier, dijodohkan adalah sesuatu yang sangat konyol dalam hidupku. Tapi ketika aku mulai mengenalnya apak...
3.4M 163K 26
Kepada : dr. Erlangga Abiandra Pemohon : Aranea Chrysana Puspandari Perihal: Permohonan Pemberian Jarak Saya, Aranea Chrysana Puspandari, meminta den...
578K 27.5K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...