EX

By laevanter

148K 6.5K 148

Dunia itu berputar. Di dunia berlaku yang namanya hukum alam. Artinya, apa yang kau lakukan ke orang, baik at... More

Prologue
One
Two
Three
Four
Five
Six
Seven
Eight
Nine
Ten
Eleven
Thirteen
Fourteen
Fifteen
Sixteen
Seventeen
Eighteen
Nineteen
Twenty
Twenty One
Twenty Two
Twenty Three
Twenty Four
Twenty Five
Twenty Six
Twenty Seven
Twenty Eight
Twenty Nine
Thirty
Thirty One
Thirty Two
Thirty Three
Thirty Four
Thirty Five
Thirty Six
Thirty Seven
Thirty Eight
Thirty Nine
Forty
Forty One
Forty Two
Epilogue
VS Gallery

Twelve

2.4K 120 1
By laevanter

"Sherlyn! Berhenti di situ! Lyn, berhenti saya bilang!" Devon terus mengejar Sherlyn yang berlari menuju taman kota tak jauh dari Turner Café. Devon terpaksa mencengkeram pergelangan tangan Sherlyn untuk menghentikan gadis itu.

Dan benar saja, Sherlyn berhenti berlari. Ia terus terisak. Wajahnya sembab oleh air mata. Ia terus membelakangi Devon. Ia tidak berani menatap cowok itu. Atau lebih tepatnya, ia tidak bisa. Dirinya merasa amat sangat bersalah dengan Devon, dan ia merasa bahkan ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri akibat hati, pikiran, dan ulahnya.

"Lyn..." Devon menyentuh kedua bahu Sherlyn dengan lembut, kemudian memutar tubuhnya, menghadapnya. Sherlyn menunduk dalam sembari menutupi kedua matanya dengan tangan-tangannya, tetap menangis keras. "Sherlyn—"

"A-aku bener-bener minta maaf, Kak. Aku nggak sengaja ... hiks, aku nggak bermaksud ngelukain Kakak...."

"Iya, iya. Lagian saya gak kenapa-napa kok, beneran."

"Aku ngerasa bersalah banget sama Kakak. Aku kayak gak punya rasa terima kasih sama sekali sama Kakak. Aku ngelukain Kakak, nggak cuma tangan Kakak aja. Maaf karena aku seemosi tadi, aku juga gak tau kenapa aku langsung ngerasa aneh pas liat Vigo ada di sana sama cewek lain. Aku gak ngerti, aku gak paham sama diri aku sendiri. Aku gak terima," Sherlyn sambil menangis terus saja berbicara, menyebabkan kata-kata yang keluar dari mulutnya jadi tidak terdengar jelas.

Namun Devon masih mampu memahami kata-katanya. Lelaki itu terus mendengarkan Sherlyn dengan sabar.

"Kakak selama ini udah baik banget sama aku, Kakak udah sabar banget ngadepin aku. Tapi aku gak tau kenapa pada akhirnya aku harus balik lagi ke dia! Aku ngerasa aku terkurung di lingkaran yang sama, aku mau keluar dari lingkaran itu dan pergi ke Kakak, tapi nggak tau kenapa aku nggak bisa. Aku tau aku gak tau diri, aku bikin Kakak sakit. Kalo Kakak mau, Kakak boleh pergi dari samping aku, gak usah peduliin cewek yang bilang mau move on tapi nyatanya masih stuck di mantan.

"Aku ngerasa bener-bener bersalah. Aku ngerasa aku gak berguna. Kenapa aku harus marah saat liat dia sama cewek lain sementara aku sendiri udah deket sama cowok lain dan itu Kakak. Aku bener-bener ... ngerasa bersalah. Aku gak tau aku harus apa sekarang. Aku marah, aku kecewa, sama diri aku sendiri! Aku berusaha keras ngelupain dia. Bahkan Kakak dengan baik hati mau nolong aku. Aku pengen banget bisa move on dari Vigo dan beralih ke Kakak. Aku mau Kakak. Aku mau, tapi susah banget buat ngilangin perasaan aku dari Vigo.

"Kakak bener-bener baik sama aku, tapi aku bener-bener jahat sama Kakak. Aku bener-bener gak tau diri, iya kan? Aku gak pantes sama-sama Kakak, aku gak pantes sama sekali dapetin posisi penting di hati Kakak. Yang aku bisa lakuin cuma nyakitin Kakak doang, bahkan di saat kita sama sekali belom ada hubungan! Maaf ... aku, aku bener-bener minta maaf. Kakak boleh benci sama aku, boleh ngejauh dari aku. Aku pantes digituin...."

Devon merasa terenyuh hatinya mendapati Sherlyn berkata sedemikian panjangnya dengan air mata yang deras membasahi wajah cantiknya. Lelaki itu sudah tidak tahan lagi untuk menahan perasaan ingin mendekap erat gadis itu. Devon menyentuh bahu Sherlyn, menariknya ke pelukannya dengan lembut. Didekapnya dengan erat gadis itu yang masih terisak menyedihkan. Dibiarkannya Sherlyn menangis sejadi-jadinya di pelukannya. Dielusnya kepala Sherlyn dengan penuh kasih sayang.

Baru setelah tangisan Sherlyn mulai mereda, Devon berbicara, "Maaf kalo saya tiba-tiba meluk kamu, tapi saya udah gak tahan lagi. Kamu boleh nangis sepuasnya, tapi saya gak bakalan lepasin pelukan saya kalo kamu nggak mau berhenti."

Sherlyn terdiam sesaat, kemudian terisak kembali. Kini ia kembali menangis bukan karena hal tadi, namun lebih karena ia terharu dengan kata-kata dan perlakuan Devon kepadanya. Mengapa Devon bisa sebaik ini padanya?

Perlahan namun pasti, Sherlyn melingkarkan kedua tangannya yang gemetar hebat ke pinggang Devon, memeluknya erat. Ia benar-benar membutuhkan pelukan saat ini, dan Devon telah mengabulkannya bahkan di saat ia belum memintanya.

********************

Sherlyn berusaha mengabaikan Enno—adik laki-lakinya, yang mengintip ia dan Devon dari kamarnya di lantai dua, bersebalahan dengannya. Ia juga tidak mempedulikan Reynand yang entah mengapa terus keluar-masuk dari kamarnya yang berada di dekat ruang tamu, entah itu mengambil cemilan, minuman, benda-benda di luar, ke kamar mandi, dan lain sebagainya. Karena kenyataannya Reynand sama saja dengan Enno. Remaja berusia 18 itu hanya penasaran dengan Devon, seorang lelaki asing baginya yang dibawa adiknya ke rumah. Tanpa mengucapkan salam dan berbicara sedikitpun, Sherlyn langsung mengambil kotak P3K di lemari penyimpanan barang dan mengobati luka sayatan di telapak tangan kiri Devon yang sebelumnya dibalut oleh slayer berwarna putih yang ia ketahui milik Sherlyn, yang kini telah bernoda darah membekas.

Devon melirik Reynand yang kembali melewati mereka dari arah dapur sembari membawa segelas jus jeruk dingin, bertepatan dengan Reynand yang juga menatapnya. Devon tersenyum tipis sembari menganggukkan kepalanya dengan sopan, dan Reynand membalas senyuman serta anggukan kepala itu dengan sedikit kecanggungan. Selama Sherlyn mengobati lukanya dalam diam, Devon terus menyapu pandangan ke sekeliling rumah itu. Rumah Sherlyn lumayan besar dan nyaman, juga semua barang-barangnya tertata dengan rapih. Wallpaper dindingnya bermotif bunga-bunga indah berwarna dasar cokelat. Terkesan klasik, indah, dan hangat.

"Itu kakak aku, namanya Reynand," ucap Sherlyn tiba-tiba. Devon sedikit terkejut, namun reaksi yang dapat ia tunjukkan hanya mengangguk tipis, mengerti. "Aku rasa Bang Rey penasaran sama Kakak. Ah—Bang Rey! Kenapa sih bolak-balik terus?" protes Sherlyn ketika mendapati Reynand yang kembali keluar dari kamarnya dan langsung menghentikan langkahnya ketika Sherlyn memprotes.

Reynand memamerkan cengirannya—yang menurut Devon, mirip sekali dengan milik Sherlyn. Mereka seperti kembar identik, hanya saja Reynand lebih tinggi dan ia lelaki. "Hehehe, Abang mau ambil laptop di kamar Enno, Lyn, buat nugas. Enno nih emang, minjem apa-apa nggak pernah dibalikin lagi," Reynand beralasan, yang membuat Enno yang masih mengintip di lantai atas berseru keras.

"Enak aja! Kapan gue minjem laptop lo, Bang?" kini gantian Enno yang memprotes.

"Kemaren malem! Gak inget?" balas Reynand.

Sherlyn memutar kedua bola matanya menatap perdebatan adik dan kakaknya itu. Sementara Devon hanya menatap Reynand dan Enno yang ada di lantai atas secara bergantian dengan wajah bingung. Lucu.

"Sampe ada di kamar lo?" tukas Reynand dengan nada mengancam, menunjuk-nunjuk wajah Enno di atas sana.

"Nggak ada, Masya Allah ... sini, liat sendiri!" habis kesabaran, akhirnya Enno mengatakan demikian. Padahal laptop milik Reynand benar-benar tidak ada di kamarnya dan ia tidak merasa telah meminjamnya.

"Awas aja lo!"

"Sini kalo gak percaya! Dasar lo, jadi kakak nggak percayaan banget sama adeknya!"

"Dasar lo, Adek durhaka!"

"Berisik! Apaan sih kalian?! Ada tamu juga," Sherlyn menengahi, mengomeli Reynand dan Enno. Kini tatapan Devon beralih ke arahnya. "Kak, maaf ya. Mereka emang begitu. By the way ... Bang, kenalin, ini Kak Devon, kakak kelas aku."

Devon sedikit terkejut ketika Sherlyn mengenali dirinya kepada Reynand. Reynand beralih ke Devon, lalu tersenyum lebar, seolah rasa penasarannya yang ia pendam sejak kedatangan Devon ke rumah ini terobati sudah. "Oh, jadi ini yang namanya Devon? Wah, salam kenal ya! Gue Reynand, kakaknya Sherlyn. Panggil aja Bang Rey."

"I-iya, Bang," hanya itu yang keluar dari mulut Devon. Lelaki itu membalas senyuman lebar Reynand dengan canggung. Beberapa saat kemudian, Reynand segera pergi menuju kamar Enno, untuk membuktikan apakah laptopnya ada di sana atau tidak. Sherlyn hanya menghela napas lelah, melanjutkan kegiatannya membalut luka di tangan Devon.

********************

Di kamar Enno....

"Laptop lo nggak ada—"

"Iye, gue tau. Laptop gue ada kok di kamar," potong Reynand cepat.

"Hah—"

"Masuk!" Reynand menyeret Enno masuk ke dalam kamarnya, lalu menutup pintu kamarnya rapat-rapat.

"Apaan dah, Bang?" Enno yang merasa dihakimi di wilayahnya sendiri merasa jengkel.

Reynand menatapnya lekat-lekat. "Lo pasti tau apa yang ada di pikiran gue, karena gue rasa pikiran kita sama."

Enno yang hanya setinggi dagu Reynand mengernyitkan keningnya. "Maksudnya—"

"Lo udah gede, jangan bego-bego banget kenapa?" Reynand menyentil dahi Enno, meninggalkan bekas kemerahan di sana. Enno meringis pelan. Baru saja ia ingin meninju Reynand—seperti yang biasa ia lakukan, Reynand selau bisa menangkis kepalan tinju Enno dengan Cepat. "Itu Devon, gebetan baru Sherlyn!"

Dan kedua mata Enno langsung terbelalak, menyadari sesuatu. "Bener kan dugaan gue, itu Devon!" ucapnya heboh.

"Makanya, gue bilang pikiran kita sama," sahut Reynand.

"Mereka udah pacaran, Bang?" tanya Enno.

"Mana gue tau. Tapi gue merasa aneh, kakak lo pulang-pulang diem aja, gak ngomong apa-apa. Keliatan banget unmood-nya. Dia kenapa ya? Jangan-jangan diapa-apain sama si Devon," ujar Reynand, menebak-nebak.

Kini gantian Enno yang menyentil dahi kakaknya itu. "Lo udah gede, Bang. Jangan bego-bego banget kenapa? Kalo penyebab Kak Elyn unmood itu dia, gak bakal Kak Elyn pulang-pulang bawa dia kemari."

"Sialan lu, Dek!" Reynand memiting leher adiknya itu, menyisakan erangan-erangan Enno yang berisik minta dilepaskan. Namun Reynand juga diam-diam membenarkan ucapan Enno dalam hatinya.

********************

"Kakak kamu mirip banget ya sama kamu," celetuk Devon, sesaat setelah teriakan Enno dari lantai atas mulai mereda.

Sherlyn hanya tersenyum tipis, berusaha tidak mempedulikan Reynand dan Enno yang ia yakini sedang saling memiting di atas sana. "Banyak yang bilang begitu."

"Sherlyn versi cowok, hahaha," balas Devon. Ia menatap tangan kirinya yang sudah diperban oleh Sherlyn. Sherlyn menatapnya, kemudian menunduk. Rasa bersalah masih bersemayam di hatinya. "Makasih ya—"

"Maaf," potong Sherlyn cepat. "Aku bener-bener minta maaf soal tangan Kakak."

"Nggak apa-apa. Kamu minta maaf mulu, sayanya jadi nggak enak," timpal Devon sembari tersenyum tipis.

"Harusnya aku yang ngerasa nggak enak. Aku pikir minta maaf sama Kakak doang itu nggak cukup, makanya—"

"Kalo gitu gak usah minta maaf lagi," potong Devon. Ia bergerak sedikit, merapikan letak duduknya di depan Sherlyn, menatap gadis itu dengan penuh arti. "Ngomong-ngomong, soal kata-kata kamu di taman tadi...."

"Ah, nggak usah dipikirin, Kak. aku lagi di luar kendali tadi, jadi—"

"Satu yang saya tau, orang yang lagi di luar kendali itu biasanya ngomong sesuatu yang jujur dari hatinya, dan saya tau kamu jujur. Saya gak marah sama kamu, tenang aja."

"Tapi—"

"Saya gak tau sebenernya apa yang saya rasain. Saya ... bingung harus ngerespon apa. Pas kamu bilang begitu ... saya cuma bisa diem. Saya rasa saya gagal dalam nolong kamu, untuk move on," ucap Devon lirih. Terdengar nada kesedihan di dalam suaranya yang menenangkan. Ia menatap Sherlyn pas di mata, membuat Sherlyn sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Sherlyn tercekat. Ia menggeleng lemah. "Kak, tolong, jangan nyerah."

"Saya gak bilang saya nyerah. Saya ngerasa saya udah gagal bahkan di saat kita belom ada hubungan."

Sherlyn terkelu. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan tangis. Gadis itu menunduk, menatap kedua tangannya yang terkepal kuat di atas paha. "Aku mohon ... jangan nyerah. Kakak nggak gagal. Aku gak bakal nyerah, jadi aku mohon ... Kakak juga jangan nyerah."

Devon terdiam beberapa saat. Ia tahu Sherlyn bersungguh-sungguh dalam ucapannya. Sebenarnya ia sendiri pun tidak ingin menyerah begitu saja, namun ia rasa akan sangat sulit dengan keadaan Sherlyn yang belum bisa melupakan Vigo. Ia sendiri sakit jika melihat Sherlyn bersedih seperti ini karena Vigo. Entah ia harus marah kepada siapa. Ia tidak mungkin dan tidak akan bisa marah dengan Sherlyn yang notabene ia sayangi. Ia juga tidak bisa marah kepada Vigo, karena Vigo sama sekali tak ada hubungannya dalam masalah ini. Bukan salahnya karena memiliki kekasih baru. Toh Vigo dan Sherlyn kan sudah tidak ada hubungan apa-apa.

Namun, ini semua masalah Sherlyn. Sherlyn dan hatinya.

Devon memejamkan kedua matanya beberapa saat, bertekad kuat. "Saya gak akan nyerah. Kita harus berjuang sama-sama, oke?"

Dan seulas senyuman pun terbit di wajah Sherlyn. Ia menatap Devon dengan penuh rasa terima kasih.

********************

"Go, lo kenapa sih diem aja?" kata-kata Alice membuyarkan lamunan Vigo soal Sherlyn dan Devon. Lelaki itu menatap Alice cepat, memasang tampang bertanya. Alice mendengus, sedikit jengkel. "Lo yang ngajakin kita jalan, tapi lo-nya malah diem aja. Dari tadi kan gue tanya, bagusan dress yang ini, atau yang ini? Mikirin apa sih?" tanya Alice lagi, seraya meletakkan kedua dress pilihannya di deretan gantungan baju.

Mereka berdua memang sedang ada di suatu mall yang cukup terkenal di Jakarta, dan Vigo yang mengajak Alice ke sana. Ia pikir ia bisa melupakan insiden Sherlyn tadi di Turner Café dengan mengajak Alice jalan-jalan, namun ternyata ia salah. Ia masih saja kepikiran.

Vigo terdiam beberapa saat, menatap dalam kedua mata Alice. Mereka baru bertemu dan mengobrol secara langsung hari ini, namun entah mengapa cara Alice berbicara dan memperlakukannya seolah-olah mereka sudah lama kenal. Tidak buruk sih, namun Vigo hanya merasa sedikit aneh akan hal tersebut. Ia tidak biasanya menjadi sedekat ini dengan orang lain hanya dalam waktu beberapa jam saja, walaupun ia mengakui ia yang pertama kali mengajak Alice jalan-jalan ke mall.

"Go?" Alice memanggil nama Vigo dengan lembut, hampir tak terdengar karena musik yang mengalun di langit-langit toko baju tersebut cukup keras terdengar.

"Ah, s-sorry, Lice. Gue ... cuma..." Vigo menghentikan kata-katanya, bingung ingin beralasan apa. Ia menggigit bibirnya dan mengacak rambutnya beberapa kali, pertanda ia sedang merasa tidak enak. Bahkan ia menghindari tatapan Alice yang kedua matanya memakai soft-lense berwarna biru koral, yang menyebabkan kedua pupil matanya menjadi lebih besar. Ia jadi teringat Sherlyn yang sama sekali tidak bisa memakai soft-lense. Kedua mata anjingnya lebih lucu dan lebih indah dari semua mata maupun jenis soft-lense di dunia ini. 'Please, Go. Kenapa Sherlyn mulu sih?'  Vigo merutuk dalam hati.

"Lo capek? Kalo capek, kita bisa pulang sekarang," tukas Alice, menatap Vigo dengan khawatir. Sejenak Vigo merasa tidak enak dengan Alice. Alice benar-benar baik padanya. Walaupun mereka baru pertama kali bertemu, namun cara Alice memperlakukan dirinya dan menyikapi segala hal yang ada di sekitarnya bisa dikatakan sangat baik dan terkesan classy.

"Gue nggak capek. Cuma lagi mikirin sesuatu aja," jawab Vigo. Dan sedetik setelahnya ia menyesal karena telah menjawab demikian.

"Mikirin apa?"

Vigo tahu ia harus mengatakannya.


Continue Reading

You'll Also Like

56.2M 5.6M 51
"πš‚πšŽπš™πšŠπšœπšŠπš—πš πš•πšžπš”πšŠ πš’πšŠπš—πš πš‹πšŽπš›πšŠπš”πš‘πš’πš› πšπšžπš”πšŠ." -π’œπ“‚π‘’π“Žπ“ˆπ’Ύπ’Άπ’Ά, 𝟒𝟒.𝟒𝟒 "Tolong jemput gue, Ka," pinta gadis itu. "Gak bisa, gue...
6.6M 594K 48
"A-aku h-harus panggil kalian ... a-apa?" "Kakak aja." -Alderion "Abang." -Alzero "..." -Alvaro "Sayang juga boleh." -Alvano . . . Ini hanya tentang...
16.8M 1.9M 87
SUDAH TERBIT VERSI NOVEL. Bisa didapatkan di toko buku dan marketplace fav kamu seperti shopee, tokped, webstore MIZAN. "Dia cewek gue." Atlanta Nath...
53.6M 3.1M 50
SUDAH DIFILMKAN🎬 SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS DAN RINCINYA ONLY NOVEL! #03~Fiksi remaja (19 maret 2021) Argantara the me movie season 1 -Ketika tawam...