Bloodstains (1D's Vampire Sto...

By paynefiction

191K 11.5K 218

" Meeting you was fate, Becoming your friend was a choice, but falling in love with you, ... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Final Chapter
Author's Note

Chapter 27

3K 214 2
By paynefiction

~Nathalie Pavin's POV~


Aku menunggu kedatangannya masih di tempat yang sama. Jemariku terus saja bermain diatas permukaan meja yang keras dan tampak mengkilat ini. Sesekali aku menghela napas perlahan sembari mengatupkan kedua tanganku di kedua pipi.

"Sorry for coming late." Liam menyeringai tajam. Ia menyentuh pundakku yang membuat perhatianku sontak tertuju padanya.

Aku menggelengkan kepala pelan selagi memberinya pandangan tak-apa-Babe.

"Kau bilang ingin pergi ke flat kan? Ini saatnya." bisiknya lembut ditelingaku.

Aku tak menyangka Liam akan menuruti kemauanku. Apakah aku harus menghapus pikiran negatif tentangnya?

"Hey! Kenapa kau malah melamun?" Liam membuyarkan lamunanku, aku langsung menyunggingkan senyum manisku padaku.

"Aku tak sabar."

Ia membawaku pergi menuju flat tepat saat bel terakhir berdering. Aku tak henti-hentinya menatap kedua mata Liam yang tampak indah dengan warna coklat keemasannya.

Kembali membicarakan soal warna mata, kenapa aku tiba-tiba teringat perubahan warna mata Harry ketika di taman beberapa waktu lalu? Ya, sama halnya seperti aku melihat perubahan warna mata Chris tapi kali ini berbeda. Aku yakin Chris bukan salah satu dari mereka, lantas apa yang terjadi? Ya Tuhan—semua membuatku bingung.

Kami saling diam disepanjang perjalanan Liam sama sekali tak mengajakku berbicara. Pandanganku terarah pada luar jendela. Jalanan makin gelap tertutup rimbunnya pepohonan, dan makin lama makin sempit. Aku bisa melihat beberapa jalan setapak menuju hutan. Waithutan?

"Kau serius?" tanyaku lirih. Liam menghembuskan napasnya perlahan.

"Ada yang aneh?"

"Kau tinggal di pinggiran hutan? Kau dan sahabat-sahabatmu itu?" aku menatap keheranan.

"Kami punya alasan. Kau harus tau bahwa kami suka berpetualang dan sangat mencintai alam."

"Lalu bagaimana jika ada binatang buas yang menyerang kalian?" tukasku dengan nada yang terdengar khawatir.

"Oh, tenang lah. Kami akan baik-baik saja." Liam meraih sebelah tanganku dan mengelusnya perlahan.

Sejenak, rasa dingin itu menjalar sampai ke dadaku. Rasanya aneh tak seperti biasanya, padahal aku sudah terbiasa dengan sentuhan dingin darinya.

Jalanan makin gelap dan tak ada secerca sinar matahari sama sekali. Pepohonan rimbun dan rasa lembab itu kian menjalar pada permukaan kulitku.

"Sudah sampai." Liam menghentikan mobilnya dihadapan sebuah rumah kayu dengan gaya arsitektur khas Eropa Timur. Dihadapannya ada beberapa tanaman hias yang sengaja ditata rapi.

"This is your flat?" bisikku perlahan, berusaha untuk meyakinkannya.

Liam menanggukkan kepala tanda mengiyakan. Ia lantas melangkah keluar dan membukakan pintu mobilnya untukku. Aku melangkahkan kakiku memijaki setiap jengkal tanah lembab dan dingin khas suasana hutan ini.

Rumah ini dibangun pada tengah hutan disebelah barat kota yang tentu saja jauh dari keriuhan khas daerah kota. Apa mereka mencintai ketenangan? Atau mereka sengaja menyembunyikan identitasnya?

Aku menghembuskan napas perlahan berusaha untuk tetap tenang dan bersikap sewajarnya. Jangan sampai Liam dan sahabatnya membaca gerak-gerikku.

Lelaki itu menuntunku melewati jajaran tanggan kayu yang tampak licin kemudian memutar knop pintu dan mendorongnya perlahan. Suasana hangat langsung menyergap ketika Liam memperlihatkan isi flatnya.

Pertama kali aku menemukan sebuah ruang tamu dengan sofa warna peach dan meja bundar dari kaca hitam. Menarik pandangan disebelah kanan, bukan tembok kayu yang aku temui melainkan jendela kaca tinggi yang menampakkan hutan dengan jajaran pohon yang rindang.

Kedua kalinya aku melihat rentetan kabinet-kabinet cantik dengan buku-buku tebal tertata rapi di dalamnya. Lagi saat mataku menghadap pada ruang yang bisa disebut sebagai ruang tengah untuk bersantai karena terdapat sebuah televisi besar juga karpet warna coklat yang tampak empuk dan lembut.

"So warm." bisikku terdengar pelan di telinganya.

"Hey Nathalie! Pleasant to meet you here." tukas Louis yang baru saja keluar dari sebuah kamar di samping kiriku.

"Hey Lou. Pleasant to meet you too." sahutku segera. Sebuah senyum manis terpancar dari dirinya.

"Nathalie?" seru Zayn dan Niall bersamaan. Aku tak menyadari keberadaan mereka sebelumnya. Mereka terduduk pada mini bar yang letaknya dekat dengan tangga menuju lantai dua.

"Yes Zayn and Niall. This is me."

"Oh ayolah, kalian sudah saling kenal 'kan? Lebih baik kita ke kamarku saja." Liam langsung meraih pinggangku seakan ingin segera menuntunku pergi dari sini.

Aku langsung mengangguk dan Liam membawaku ke lantai dua melewati tangga spiral yang terbuat dari kayu. Semuanya memang masih tampak alami. Di beberapa sudut, ada lukisan yang menghias ruangannya.

Di lantai dua ada setidaknya 6 ruang, aku dapat menemukan sebuah game room di sisi paling pojok. Empat diantaranya aku yakini sebagai kamar karena tertutup rapat. Liam membawaku menuju kamar paling ujung atau tepatnya dekat dengan balkon.

"Ini kamarmu?" tanyaku dan ia mengangguk.

"Oh ya, sebenarnya masih ada beberapa ruangan di bawah. Kami punya mini bioskop dan ruangan lain. Di lantai dua ada kamarku serta Harry dan Zayn." terangnya. Aku mengangguk mengerti.

"Kalian bilang ini flat? Yang ada dibayanganku sebelumnya bahwa kalian akan hidup dalam bangunan yang sempit dan tidur sekamar dengan sahabatmu. Tapi nyatanya? Ini bahkan lebih mirip apartemen yang dibangun di tengah hutan." Aku menyeringai tajam kearahnya sementara Liam mendorongku untuk segera masuk.

Ada satu bed dan beberapa furniture mahal lainnya. Ini fasilitas lengkap. Ada sebuah ruang kecil yang aku yakini sebagai kamar mandi. Kali ini berbeda, di sekitarnya bukan lagi tembok kayu melainkan tembok bata. Cat kamarnya penuh dengan nuansa grey dan glossy black. Saat mataku menatap lurus kedepan, sebuah jendela kaca tinggi dibiarkan terbuka lebar. Sejenak, rasa hangat menyergap dari luar. Lagi-lagi aku menemukan jajaran pepohonan rindang dari sini.

"The most beautiful bed room I've ever see. Bahkan kamarku tak sebagus dan serapi kamarmu." aku berdecak kagum dengan jemariku yang menelusuri sebuah kabinet kecil disudut sebelah pintu dari kamarnya.

"Tidak, kamarmu jauh lebih baik dibanding kamarku. Meja riasmu pasti selalu tertata rapi. Apalagi sepatu converse milikmu."

Aku menatapnya penuh keterkejutan. Liam belum pernah sama sekali masuk ke kamarku. Lalu, dari mana ia tau soal sepatu converse yang selalu aku tata dengan rapi pada sebuah rak dekat lemari pakaianku? Maksudku—bahkan orang yang masuk ke kamarku belum tentu dapat menemukannya.

"Bagaimana kau tau soal koleksi converse milikku?"

Mata Liam membulat, ia tampak terkejut dengan ucapanku. "Umm—kau tau jika aku hanya sedang menebak soal itu. Apa kau pikir aku tak pernah melihatmu memakai converse yang berbeda hampir tiap harinya?" ujarnya dengan nada yang tenang dan sama sekali tak ada kepanikan.

Aku langsung terduduk pada sebuah sofa warna keunguan yang letaknya dekat dengan balkon. "Nice. Kau memang tau segalanya tentangku, Babe." tukasku. Liam ikut terduduk disampingku lantas meraih pinggangku dan membawaku dalam pangkuannya.

"Aku bisa merasakannya. Kau selalu dingin dan menurutku—kau terlalu kuat." bisikku lembut di telinganya. Aku setengah memeluk tubuh kekar Liam dan lelaki itu langsung mengecup bibirku perlahan.

"Aku harap kau nyaman berada ditempat ini."

"Of course." dan aku mulai membenamkan kepalaku di dadanya sembari berpikir bagaimana caranya aku mencari tau soal jati diri mereka.

Aku melihat beberapa barang disekitar bed miliknya. Sebuah meja kecil dengan lampu tidur dan sebuah alarm digital disampingnya. "Kau sering telat bangun?" tanyaku.

"Tidak juga, memang kenapa?" ia balik bertanya sambil mengelus untaian rambutku dan menyelipkannya di belakang telingaku—masih dalam keadaanku yang terduduk di pangkuannya.

"Tidak. Kau menaruh alarm digital di situ, aku pikir kau susah bangun pagi." aku sempat memandang kearah alarm digitalnya dan Liam terkekeh pelan sembari memandangku.

"Hanya sebagai pemanis. Aku pikir kamarku terlalu kosong."

Tiba-tiba ponsel dalam sakunya berdering, ia meminta izin untuk menerima telponnya. Aku mengangguk tanda setuju lantas segera beranjak dari pangkuannya. Liam beranjak dari sofa dan berjalan keluar kamar.

Kesempatan,

Aku segera mencari sesuatu yang setidaknya akan jadi bukti untukku. Pandanganku langsung tertuju pada sebuah lukisan besar yang tergantung ada tembok sebelah kiri bed. Disana terlihat jelas gambaran tentang sebuah kota yang settingnya sekitar tahun 1900-an. Aku pernah melihat pemandangan kota yang khas ini saat History Class.

Saat mataku melihat tiap detailnya, aku menangkap gambaran sosok yang tak asing lagi. Liam, Zayn, dan Louis; sosok itu tampak sedang mengamati dari balkon sebuah rumah. Mereka bertiga dengan pakaian ala bangsawan kuno. Sementara di lain sisi lukisan itu menggambarkan sebuah perayaan yang entah dinamakan apa, yang jelas mereka berkumpul dan seperti saling melemarkan sesuatu.

"Sweetheart, sudah cukup untuk hari ini. Kita harus pergi." Liam mengejutkanku dengan tiba-tiba muncul sampingku.

"Ada apa? Kenapa kau tampak tergesa?" tanyaku penuh tanda tanya. "Ada urusan penting yang harus aku selesaikan. Perrie dan Sarah yang akan mengantarmu."

Ada apa ini? Kenapa Liam berubah panik? Dan kenapa ia menyuruh Perrie dan Sarah yang memgantarku, kenapa bukan dirinya sendiri?

"Okey—jangan berpikir lagi, aku sedang ada urusan mendadak." Liam langsung membawaku pergi dari kamarnya.

Perrie dan Sarah tengah terduduk pada sofa ruang tengah, Perrie terlebih dahulu menyapaku dengan senyumnya yang manis. Jujur, kali ini aku tak berharap bahwa Sarah mau sekedar tersenyum kecil padaku. Tapi nyatanya ia tersenyum lebar kearahku.

"Berhubung Liam harus pergi, kami akan mengantarmu pulang. Kau mau 'kan?"

"Of course, why not Perrie?" aku terkekeh pelan. Dan kami bertiga langsung melangkah meninggalkan flat.


»»»»»»»»»»»»»»««««««««««««««


Kalo dijelasin sih, ini story udah mencapai saat-saat menegangkan. Banyak konflik dan rahasia-rahasia yang bakal kebuka.

Tapi maaf banget, mungkin aku gak bakal update dalam waktu yang berdekatan. Bisa seminggu dua kali atau bahkan seminggu sekali. Harap maklum ya, soalnya mulai banyak jadwal try out. Maklum lah, udah kls 9 *kagak ada yg tanya*

Tetap setia nungguin next part kan?

NEED YOUR VOTE AND COMMENT(S)

~Big hug, Mrs. Payne {}

Continue Reading

You'll Also Like

13.5M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
4.2K 595 15
Ratusan tahun lalu, terdapat klan vampir yang bersumpah hidup mengabdi kepada nenek moyang mereka. Namun, ikatan sumpah itu harus putus dan menjadi m...
2M 328K 66
Angel's Secret S2⚠️ "Masalahnya tidak selesai begitu saja, bahkan kembali dengan kasus yang jauh lebih berat" -Setelah Angel's Secret- •BACK TO GAME•...
20.4K 4.1K 35
Kelanjutan dari kisah Christy bersama teman temannya didalam lingkup aliansi. setelah berhasil mendamaikan bangsa serigala dan juga bangsa vampir. Ch...