EX

By laevanter

148K 6.5K 148

Dunia itu berputar. Di dunia berlaku yang namanya hukum alam. Artinya, apa yang kau lakukan ke orang, baik at... More

Prologue
Two
Three
Four
Five
Six
Seven
Eight
Nine
Ten
Eleven
Twelve
Thirteen
Fourteen
Fifteen
Sixteen
Seventeen
Eighteen
Nineteen
Twenty
Twenty One
Twenty Two
Twenty Three
Twenty Four
Twenty Five
Twenty Six
Twenty Seven
Twenty Eight
Twenty Nine
Thirty
Thirty One
Thirty Two
Thirty Three
Thirty Four
Thirty Five
Thirty Six
Thirty Seven
Thirty Eight
Thirty Nine
Forty
Forty One
Forty Two
Epilogue
VS Gallery

One

9.8K 324 1
By laevanter

Sherlyn menutup laptopnya sambil menembuskan napas berat. Entah sudah yang keberapa kalinya ia menonton video itu, video yang sengaja teman-temannya buat saat perayaan ulang tahun SMP-nya dulu. Semua pasangan yang sudah berpacaran diwawancarai seperti itu, entah apa motivasinya. Dan entah apa pula nyambungnya ulang tahun sekolah dengan wawancara pasangan yang sudah berpacaran. Hanya keisengan belaka murid-muridnya, sebenarnya.

'Kan kasihan yang jomblo.

Dan akhir-akhir ini, setiap selesai menonton video berdurasi pendek itu, Sherlyn selalu berakhir galau sendiri. Pikirannya kacau akhir-akhir ini. Hubungannya dengan Vigo, kekasihnya, sedang tidak berjalan dengan baik karena suatu hal.

Sherlyn menelungkupkan wajah di antara bantal-bantalnya di atas kasur. Lagi-lagi ia kepikiran Vigo. 'Kenapa gue bodoh banget? Kenapa gue waktu itu mau aja diajak pulang bareng Devon? Padahal Vigo nungguin gue di halte bus...' Sherlyn berkata dalam hati. Ia menyeka air mata yang tiba-tiba keluar dari kedua matanya yang indah. Pikirannya kembali terbang ke kejadian beberapa hari yang lalu, yang membuatnya menyesal sampai sekarang.

***

Hari ini adalah hari terakhir MOPDB (Masa Orientasi Peserta Didik Baru) di SMA Negeri Nusantara Raya alias Smanusra bagi anak baru kelas 10. Cukup melelahkan, tetapi tetap mengasyikkan.

Sherlyn berjalan di sepanjang koridor menuju pintu gerbang sembari memainkan ponselnya. Keningnya langsung mengernyit kala menyadari baterai ponselnya yang low. Tak perlu menunggu waktu lama, ponsel itu mati seketika—kehabisan daya. Gadis itu mendengkus, lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia menghentikan langkahnya, menoleh ke sana-kemari, mencari-cari sosok seseorang. 'Vigo mana, ya? Jadi pulang bareng gak, sih, sebenernya hari ini? Ish,' gerutu Sherlyn dalam hati. 'Ah, mungkin di parkiran kali ya?' lanjutnya. Akhirnya, Sherlyn pun memutar tubuhnya, berjalan menuju tempat parkiran Smanusra.

Ketika tiba di sana ....

'Kok gak ada ... apa mungkin dia lupa? Dia udah pulang kali, ya? Terus gue ditinggalin, gitu?' Sherlyn cemberut klimaks menyadari di tempat parkiran benar-benar sudah sepi, hanya ada beberapa murid di sana yang juga hendak pulang ke rumah masing-masing. Sosok yang ia cari-cari tidak ada di sana.

"Sherlyn Athena ya?" Sherlyn langsung menoleh ketika seseorang memanggil nama lengkapnya. Ternyata Devon, kakak pembina di kelompoknya saat ia MOPDB yang juga merupakan anggota OSIS. "Kok belom pulang? Lagi nungguin siapa?" tanyanya.

Sherlyn tersenyum menatap Devon. "Iya, Kak, lagi nunggu orang tadinya, tapi dia gak ada, kayaknya udah pulang duluan deh, hahaha," jawab Sherlyn sembari tertawa dipaksakan. "By the way, panggil Sherlyn aja, Kak."

"Oh, gitu. Oke. Pacar, ya? Hehehe," goda Devon. Sherlyn hanya terkekeh, lalu mengangguk tipis. "Ya udah, kalo gitu pulang bareng saya aja, yuk. Rumah kamu di mana?"

Deg. Sherlyn langsung terdiam. Apa? Devon mengajaknya pulang bersama? Apa ia tidak salah dengar? 'Duh, lumayan sih, tapi ....' Pikiran Sherlyn langsung melayang ke Vigo. Bagaimana jika Vigo melihat mereka pulang berdua? Bagaimana jika nanti Vigo marah padanya? 'Ah, gak mungkin Vigo marah. Gue bercanda sambil kejar-kejaran dan guling-gulingan sama Aldo dulu pun dia biasa aja. Lagian dia sekarang pasti udah ngebo di rumahnya, gak bakal ngeliat gue boncengan berdua sama Kak Devon,' batin Sherlyn.

"Jadi gimana? Mau gak? Ini udah sore, lho, kalo naik angkutan umum juga udah jarang. Bahaya lagian cewek naik angkutan umum sendirian," Devon kembai bertanya ke pertanyaan semula sembari mengenakan jaketnya, menatap Sherlyn serius.

"Serius nih, Kak, gapapa?" tanya Sherlyn ragu.

"Iya, serius. Ayo, naik," jawab Devon sembari menaiki motornya dan menstarternya. Sherlyn terdiam sejenak. Ia menghela napas sekali, lalu segera naik dan duduk di jok motor di belakang Devon. "Udah?" tanyanya. Sherlyn hanya mengangguk mengiyakan, dan Devon segera melajukan motornya keluar dari area Smanusra.

***

Sesampainya di depan rumah Sherlyn yang nampak sepi ....

"Ini rumah kamu? Kok sepi banget?" tanya Devon begitu Sherlyn sudah turun dari motornya.

"Iya, Kak, paling ada bunda doang di rumah. Ayah, sih, masih kerja jam segini, belom pulang. Adek aku juga belom pulang kayaknya, paling main dulu sama temen-temennya. Kalo kakak aku, mungkin masih di kampusnya, hehe," jawab Sherlyn sembari terkekeh pelan. "Ngomong-ngomong, thanks, ya, Kak, udah anterin aku pulang."

"Iya, sama-sama. Ya udah, masuk, gih, terus langsung bersih-bersih, abis itu istirahat. Udah gak MOPDB lagi, kok, jadi udah santai. Selamat, ya, sekarang kamu udah resmi jadi siswi Smanusra," tukas Devon sembari tersenyum manis ke arah Sherlyn.

Sherlyn yang mendengar itu terdiam sejenak, lalu mengangguk sembari membalas senyuman Devon. "Iya, Kak. Kakak gak mau masuk dulu?" tawar Sherlyn, berbasa-basi, berharap Devon menolak tawaran basa-basinya itu.

Dan ternyata, Dewi Fortuna berpihak padanya.

Devon langsung menggeleng. "Gak, gak usah, Lyn. Udah, ya, saya pamit pulang dulu. Salam sama keluarga kamu."

Sherlyn seketika membeku kala Devon yang tiba-tiba mengusap kepalanya, mengacak pelan rambutnya.

"Duluan, Sherlyn!" serunya sembari melajukan motornya dan melambai sekilas padanya. Sherlyn hanya mengangguk, lalu membalas lambaian itu.

Sherlyn menyentuh kepalanya sendiri, lalu menggeleng kuat. 'Gak, gak mungkin. Apa, sih, yang gue pikirin?' Sherlyn menepis pikiran-pikiran yang seketika memenuhi otaknya.

Saat ia ingin membuka pintu gerbang rumahnya ....

"Seneng, ya, pulang bareng si anak OSIS?" Sherlyn terperanjat kaget ketika Vigo tiba-tiba muncul di belakangnya. Dan tatapannya ....

"Vigo ...? Sejak kapan kamu di situ?" tanya Sherlyn gelagapan. Ia melirik motor milik Vigo yang terparkir rapi tak jauh dari rumahnya.

"Udah dari tadi," jawab Vigo dingin, tidak menghilangkan tatapan tajam menahan amarah itu. "Kenapa lo malah pulang sama Devon?"

"Ya lo ninggalin guelah, apa lagi?" jawab Sherlyn, berusaha membela diri. Bahkan, kata-kata 'aku-kamu' yang sering ia gunakan jika berbicara dengan Vigo, berganti menjadi 'gue-lo' akibat emosinya yang tiba-tiba naik.

"Gue ngapain ada di sini kalo gue ninggalin lo?" balas Vigo, membuat Sherlyn bungkam seketika. Benar juga. "Gue nungguin lo di halte bus depan sekolah dari tadi. Sejam-an ada kali gue nunggu di sana karena lo bilang lagi ada rapat ekskul. Gue udah chat lo, gue juga nelepon lo, tapi gak lo angkat-angkat. Dan lo malah pulang bareng Devon? Hahaha, kayak orang tolol gue nunggu di halte, tau gak."

"Hah ... lo serius?" tanya Sherlyn, entah mengapa rasa bersalah menyerangnya tiba-tiba. "S-sorry ... gue gak tau. HP gue lowbatt, jadi gue gak tau kalo lo nge-chat dan nelepon gue—"

"Seenggaknya lo cek dulu gue masih ada apa nggak!" sentak Vigo. "Gue kayak orang gak ada kerjaan tau gak nungguin lo di halte? Demi Tuhan, Sherlyn, gue bela-belain nunggu di sana walaupun lagi gak enak badan buat pulang bareng lo!"

"Gue bener-bener gak tau, Vigo! Maaf," ucap Sherlyn lirih. Gadis itu menunduk dalam, tidak berani menatap Vigo. Vigo marah padanya, dan itu sangat menyeramkan baginya. Vigo jarang marah meledak-ledak seperti ini. "Maaf ... gue gak tau lo lagi gak enak badan. Tau gitu gue nyuruh lo pulang duluan—"

"Gue yang minta lo pulang bareng gue, gue mau ditemenin sama lo bentar aja di rumah karena gue bakal sendirian sampe Kylie pulang." Vigo terdiam setelah berkata demikian. Ah, ia jarang menunjukkan perasaan dan keinginannya seperti ini kepada Sherlyn. Dan entah mengapa, kini ia merasa sedikit malu dan menyesal. Seharusnya ia tak meminta yang aneh-aneh, bukan? Seharusnya ia tak perlu berkata sejujur itu, sebab semuanya sia-sia saja.

Vigo memandang gadis itu cukup lama. Jujur, ia juga sangat tidak suka dengan apa yang baru saja ia lihat. Ia tidak terima Sherlyn pulang bersama Devon, melupakan keberadaannya yang sebenarnya menunggu gadis itu di halte bus untuk pulang bersama. Ia tidak terima sama sekali. Ya, Vigo cemburu melihat itu semua. Dan keadaannya yang sedang tidak baik, memperparah rasa cemburunya.

Sementara itu, Sherlyn nampak membeku di tempatnya. Ia sama sekali tak menyangka bahwa itulah yang sebenarnya Vigo inginkan. Kejujuran Vigo, membuat rasa bersalahnya semakin besar. "Kenapa Vigo gak bilang ...?"

"Lo serius gak, sih, sebenernya?" Vigo bersuara, tak memedulikan pertanyaan Sherlyn. Nada suaranya masih tetap dingin. Sherlyn terbelalak, menatap wajah kecewa milik Vigo yang lebih tinggi beberapa senti darinya dengan tampang tidak mengerti. "Lagian lo udah punya cowok, tapi lo gak nolak saat diajak boncengan sama cowok lain? Dan lo gak ada izin sama sekali ke gue. Ya kalo lo tau HP lo lowbatt, charge dulu kek gitu di kelas, atau pinjem charger-an si anak OSIS itu dulu, atau pinjem HP-nya sekalian buat hubungin gue. Gue cowok lo, She. Lo 'segampang' itukah?"

Jleb.

Sherlyn terdiam. Seakan ada yang menusuk hatinya ketika Vigo berkata demikian. 'Lo udah punya cowok'. Sherlyn terus terngiang-ngiang kata-kata Vigo itu, dan juga kata terakhirnya. 'Lo segampang itukah?'

Itu semua sukses membuat lidahnya kelu.

"Go." Sherlyn mulai bersuara setelah beberapa kali menghela napas. "Gue serius sama lo, dan gue tau gue salah, gue gak effort untuk hubungin lo. Gue yang bodoh karena mau aja nerima ajakan Kak Devon untuk pulang bareng dia. Tapi gue bukan cewek gampangan, Go."

Dan kali ini, gantian Vigo yang terdiam.

"Gue ... gue bener-bener minta maaf. Hal kayak gini gak bakal keulang lagi, gue janji. Gue tau gue salah. Dan gue mohon, Go, lo sama temen-temen lo itu jangan ganggu Kak Devon. Dia gak tau apa-apa, biarin aja. Anggep aja gak ada apa-apa. Dia baik, Go."

"Mana bisa begitu?" potong Vigo. "Mana bisa gue anggep gak ada apa-apa di saat dia seenaknya ngajak cewek gue pulang bareng, dan gue yakin dia sebenernya udah tau kalo cewek gue udah punya pacar? Pake basa-basi ingetin bersih-bersihlah, istirahatlah, ngusap kepala lo. Maksudnya apa?"

Sherlyn terbelalak mendengar kata-kata Vigo. Pemuda itu benar-benar marah padanya. Dan baru kali ini Vigo mengatakan hal seperti itu. "Iya, dia emang baik, ya? Nggak kayak gue, hahaha."

"Bukan gitu, Vigo! Kenapa lo semarah ini, sih? Gue cuma pulang bareng, gak lebih. Hanya itu, Vigo. Please, ini masalah kecil. Udahlah. Besok-besok gue gak bakalan nerima ajakan pulang bareng siapa pun."

"Gue cemburu."

Dan kali ini Sherlyn benar-benar terdiam. Tubuhnya kaku mendengar lirih suara Vigo.

"Gue pacar lo, She. Wajar, kan, gue marah?" Vigo menepis pelan tangan Sherlyn yang menggenggam erat pergelangan tangannya. Bahkan di saat seperti ini, ia masih memanggil Sherlyn dengan sebutan 'She', seperti yang selalu ia lakukan. Ia menatap gadis itu beberapa detik, sampai akhirnya ia memutar tubuhnya, berjalan menuju motornya dan menaikinya. Ia segera melajukan motornya, pergi dari sana tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, meninggalkan Sherlyn yang kini hanya bisa meneteskan air mata, menyesali apa yang telah terjadi.

********************

"Gila lo, Lyn." Sherlyn yang sudah selesai bercerita menengadah frustrasi, menatap wajah Kinta, salah satu teman sekelasnya sekaligus teman sebangku dan sahabat karibnya. "Udah tau lo punya Vigo, masih aja mau diajak boncengan sama cowok lain, apalagi gak izin. Ya gue kalo jadi Vigo pun gue bakal marah, Lyn. Bahkan bisa lebih dari itu. Wajar, sih, kan dia pacar lo, makanya dia semarah ini."

"Ya kan gue kira Vigo gak akan semarah itu, Kin ... gue kira dia gak akan tau. Gue juga nyesel, kali. Iya gue salah, I know it well," tukas Sherlyn. Ia kembali mengacak rambutnya dengan frustrasi, lalu menelungkupkan kepalanya di antara tangan-tangannya di atas meja kantin. "Gue harus apa sekarang? Vigo bener-bener marah sama gue. Ini udah lima hari, Kin, lima hari. Lima hari dia ngacangin gue."

"Sherlyn ... Sherlyn. Gue kira lo pinter, tapi ternyata bisa bego juga." Kinta menghentikan kegiatan menyeruput capucchino dinginnya, menghela napas pelan menatap Sherlyn sembari menggelengkan kepalanya. Dan mungkin sedikit menghina sahabatnya itu. "Kalo gue yang ada di posisi Vigo, mungkin gue langsung putusin lo saat itu juga."

"Lo mau nenangin gue apa menabur garam di luka gue sih, Kin?!" Sherlyn mendesis sebal, menatap Kinta sembari cemberut klimaks. "Lo gak liat apa, mata gue udah bengkak gini gara-gara nangisin dia lima hari? Lo gak liat gue gak make-up-an sama sekali lima hari ini? Lo gak nyadar gue kusut parah gini dari kemarin?"

Kinta hanya cengengesan menatap wajah frustrasinya Sherlyn yang jelas amat sangat frustrasi. "Eh, iya, iya ... sorry, Lyn, sorry, hehehe. Lagian lo nya juga, sih ...."

"Tuh, kan, nyalahin gue lagi...." Sherlyn kembali menelungkupkan wajahnya. Suaranya terdengar memarau. "Vigo belom pernah sejujur itu ke gue, dan sekarang gue takut banget, Kin."

"Udah, ah, jangan nangis lagi..." ucap Kinta pelan sembari menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu, tidak tega juga ia lama-lama melihat Sherlyn yang biasanya selalu ceria jadi mendung seperti ini. "Lo udah ngomong belum sama dia?"

"Ngomong apa?" tanya Sherlyn pelan.

"Astaga, Sherlyn Athena Ammodia...." Kinta geleng-geleng kepala sok iya, menatap Sherlyn tak percaya. "Ya ... ya ngomong. Masa lo yang nungguin dia ngomong duluan? Kan dia yang lagi marah sama lo. Ya elah, gimana sih lo, Lyn," jawab Kinta sedikit kesal. "Seenggaknya kalo dia ngacangin lo, lo harusnya jangan ikut diem, tapi berusaha biar dia gak ngacangin lo lagi. Biasanya juga gitu kan lo? Lo sendiri yang cerita, kalo pacar lo lagi unmood, lo selalu isengin dia biar dia gak unmood lagi."

"Tapi kali ini masalahnya beda, Kinta. Dia unmood gara-gara gue," tukas Sherlyn. "Sumpah, ya, gue takut."

"Ajak dia ngomong empat mata sama lo. Lo jelasin lagi ke dia tentang hari itu, lo harus ngaku salah dan minta maaf lagi ke dia. Yakinin dia," ucap Kinta sembari menatap miris ke arah Sherlyn. Sudah seperti pakar cinta yang handal saja tingkahnya.

Sherlyn menengadahkan wajahnya, balik menatap Kinta. "Jadi ... gue harus begitu, Kin?"

"Ya iyalah! Aduh, gimana sih lo, kayak belom pernah pacaran dan berantem sama pacar aja."

"Gue emang baru kali ini pacaran dan berantem serius sama pacar, Kinta."

Kinta menatap Sherlyn dengan tatapan datar.

"Kenapa?"

"Gak, gak kenapa-napa. Udah, sana samperin Vigo! Bujuk dia biar dia mau ngomong berdua sama lo," perintah Kinta.

"Temenin gue ke kelasnya," pinta Sherlyn dengan wajah memelas andalannya.

Kinta memutar bola matanya. "Males, ngapain amat jauh-jauh ke kelasnya. Tuh, orangnya udah di sini sama temen-temen setongkrongannya."

Jantung Sherlyn langsung berpacu lebih cepat dari biasanya setelah Kinta berkata demikian. Gadis itu terbelalak lebar. "Hah? S-serius lo, Kin?"

Kinta mengangguk. "Serius. Nengok kenapa? Dia sama temen-temennya duduk di meja pas di belakang lo."

Sherlyn terdiam beberapa saat, berusaha keras mengontrol dirinya sendiri. Tidak, ia tidak boleh gugup. Benar kata Kinta, ia harus berbicara empat mata dengan Vigo. Memang sejak kejadian beberapa hari yang lalu itu, Sherlyn dan Vigo sama sekali tidak berkomunikasi.

"Kin, serius? Sekarang, nih?" Sherlyn sedikit berbisik. Kinta hanya mengangguk mengiyakan.

"Cepetan, keburu dia pergi. Gue tunggu dari sini, tenang," ujar Kinta, tidak kalah pelannya.

Sherlyn menghela dan mengembuskan napas beberapa kali, lalu segera bangkit dari posisinya. Ia sedikit merapikan rambut panjangnya yang tadi sempat ia acak-acak, lalu memutar tubuhnya, menghadap meja itu, meja yang sedang dikerumuni oleh lima remaja lelaki.

Benar saja, Vigo ada di antara mereka.

Sherlyn menggigit bibirnya sendiri, lalu berjalan perlahan menghampiri meja itu. Dan betul dugaannya, kelima pasang mata yang tadinya sibuk bercanda ria kini menatap ke arahnya. Salah satu dari mereka yang duduk di sebelah Vigo—Alvin namanya—menyenggol lengan lelaki itu, membuat Vigo menatap galak ke arahnya.

"Ehm, permisi. Gue boleh minjem Vigonya sebentar, gak? Ah, m-maksud gue ... Vigo, gue mau ngomong sama lo, berdua." Sherlyn dengan susah payah berkata demikian, lalu memberanikan diri menatap Vigo.

"Hahaha, ngapain minjem? Dia kan pacar lo. Lo Sherlyn, kan?" Seorang lelaki yang di tag namanya tertulis "Romeo Grenza R." menatap Sherlyn sembari sedikit tertawa. "Bawa aja ni anak. Go, pacar lo, tuh."

"Apaan, sih, Ro?" balas Vigo dengan tampang juteknya, kemudian beralih ke Sherlyn. "Ngomong aja." Ia mengalihkan pandangannya kembali, berpura-pura mengaduk jus alpukatnya, terlihat tidak peduli dengan keberadaan Sherlyn. Kejam, sama seperti saat pertama kali Sherlyn mengenal Vigo di bangku kelas 7 SMP.

Sherlyn terdiam mendapati sikap seperti itu dari Vigo. Entah mengapa dadanya terasa sesak, dan bisa ia pastikan tak lama lagi air matanya akan kembali tumpah. Keempat teman dekat Vigo pun saling menatap, merasa kasihan dengan Sherlyn yang diperlakukan seperti itu.

Vigo yang merasa tidak nyaman karena suasana hening yang mencekam tiba-tiba muncul langsung mengalihkan pandangannya ke Sherlyn kembali. "Kenapa diem? Lo mau ngomong apa? Ngomong."

"Ah, g-gue ... gue bener-bener mau ngomong sama lo, Go. Berdua, dan bukan di sini," ucap Sherlyn akhirnya.

Vigo mengembuskan napas pelan, menatap Sherlyn dengan tatapan dinginnya. "Ribet banget, sih, ngomong tinggal ngomong. Oh, kalo lo mau ngomongin soal si anak OSIS, gue udah gak peduli. Terserah. Gue gak mau tau lagi."

Sherlyn mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Tanpa sadar, air matanya telah jatuh melewati pipinya yang putih. Sherlyn menggigit bibirnya sendiri agar isakannya tidak terdengar.

"Eh, Bego, dia nangis, tuh."

Sherlyn tetap bisa mendengar suara Raka, salah satu di antara mereka yang berbisik kepada Vigo, yang juga merupakan teman satu SMP-nya.

"Kasian, Go. Ngomong aja dulu sama dia berdua," tambah seorang lelaki berwajah tenang bernama Dean.

Vigo tetap tak bergeming, lalu mengalihkan pandangannya. Sherlyn mengeraskan kepalan tangannya. Ia juga mengalihkan pandangannya. "Gue gak suka lo bersikap dingin begini ke gue hanya karena gue pulang bareng Kak Devon. Gue harus minta maaf berapa kali ke lo, Go? Gue harus apa biar lo gak begini?"

"Kan gue udah bilang, gue gak mau ngebahas cowok itu," tukas Vigo tajam. "Gak usah minta maaf, percuma. Lo bikin gue gak nyaman, tau gak? Lo malah nanya lo harus apa ke gue biar gue gak begini, ya mana gue tau? Gue lagi gak mood untuk bersikap hangat, sorry. Gak ada lagi yang perlu diomongin kalo topiknya si Devon."

"Hiks." Sherlyn benar-benar terisak saat itu juga. Ia tidak bisa menahannya lagi. Ia menutupi wajahnya dengan sebelah kuasa. Kinta yang ada di belakangnya tampak cemas, namun ia memutuskan untuk tidak ikut campur dalam urusan mereka. Keempat lelaki itu selain Vigo yang melihat itu pun saling pandang kembali, melemparkan kode satu sama lain yang hanya mereka dan Tuhan yang mengerti.

"Vigo ... aish," desis Alvin. "Kasian, anjrit, pacar lo. Gak bisa apa lo ladenin dia dulu sebentar?"

Vigo hanya terdiam menatap wajah menangis itu. Ada perasaan yang aneh di benaknya melihat Sherlyn menangis. Walaupun ia tahu Sherlyn adalah anak yang cengeng, namun baru kali ini Sherlyn menangis karena sikapnya.

'Malu-maluin banget kalo gue terus di sini. Jelas-jelas Vigo sama sekali gak mau ngeladenin gue,' batin Sherlyn. Sherlyn mengusap kasar air matanya, lalu segera pergi dari hadapan mereka, entah ke mana.

"Kok lo tolol si, Nyet?!" sentak Dean. Vigo hanya menatap Dean tidak mengerti. "Kejarlah, Bego! Ngapain diem?"

"Gue tau lo marah banget sama dia, gue juga kalo jadi lo pasti kesel banget. Gue juga tau dia salah, tapi kan seenggaknya dia udah berusaha jujur dan minta maaf ke lo. Apa lo tega ngeliat cewek lo nangis sesenggukan gara-gara sikap lo itu? What the fuck, Nge..." umpat Alvin kesal.

"Status dia masih cewek lo, Go. Kalo lo masih sayang, kejar," tambah Raka.

"Lo jahat, anjrit. Sumpah," timpal Rome sembari menggelengkan kepala, tak habis pikir.

"Ah, sial." Vigo meringis tertahan mendengar ucapan teman-temannya, lalu segera bangkit dan pergi mengejar Sherlyn. Kinta yang tadinya hendak menyusul Sherlyn langsung terduduk kembali di bangku kantin, menghela napas lega karena akhirnya Vigo yang lebih dulu menyusul gadis itu daripada dirinya.

'Semoga hubungan mereka berdua tetep baik-baik aja,' batin Kinta.

********************

Continue Reading

You'll Also Like

884 129 45
Tidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020...
422K 5.8K 66
Cinta, sahabat and, mantan
3.7M 75.4K 14
Bagaimana rasanya menikah dengan upacara pedang pora?
493 22 1
[ JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA YAH FRIEND ] ─┈┈ ⋆ S I N O P S I S Teman, mereka yang memiliki seorang teman jika ingin sampai di puncakn...