Should I?

By verenalowe

7.5K 426 95

[COMPLETED] [jumlah part: 39 +epilog] Sebuah kisah yang menceritakan tentang kehidupan dan masalah-masalah s... More

Chapter 1: Malapetaka
Chapter 2: Salah Paham
Chapter 3: Godaan
Chapter 4: Kesedihan
Chapter 5: Pencerahan
Chapter 6: Cowok itu Ngeselin
Chapter 7: Pertemuan
Chapter 8: Tak Terduga
Chapter 9: Permintaan Maaf
Chapter 10: Barbeque Party
Chapter 11: Rapuh
Chapter 12: Problem (1)
Chapter 13: Problem (2)
Chapter 14: Social Media
Chapter 15: Awal yang Baik
Chapter 16: Penyelesaian
Chapter 17: Terjebak
Chapter 18: Happy Sunday
Chapter 19: Balikan?
Chapter 20: Pertama Kalinya Kehilangan
Chapter 21: Akankah aku kembali ke pelukanmu?
Chapter 22: Pelindung
Chapter 23: Holiday
Chapter 24: Kebahagianku Bersamamu
Chapter 25: Kedatangannya
Chapter 26: Bukan Rahasia Publik
Chapter 27: Pertemuan
Chapter 28: Aku disini!
Chapter 29: He's Back
Chapter 30: Two Idiot Man
Chapter 31: Rahasia pun Perlahan Terbongkar
Chapter 32: Terkejut
Chapter 33: Surprised
Chapter 34: Monopoli?
Chapter 35: Gara-Gara KPOP
Chapter 36: Murid Teladan?
Chapter 37: Ujian Nasional
Chapter 38: Amal dan Ice Cream
Epilogue.

Chapter 39: Apakah Ini Akhir Dari Segalanya?

230 5 1
By verenalowe

Hari ini adalah salah satu hari paling spesial bagi Aldi. Hari ini, lebih tepatnya malam ini, adalah hari pertunangannya dengan perempuan yang di cintainya.

Kini ia sudah berdiri di depan jendela kaca sambil menatap pemandangan belakang rumahnya. Disana terdapat pohon-pohon dan tanah yang diselimuti oleh rumput hijau dan sebuah kolam ikan yang cukup besar. Lampu-lampu taman pun menyala untuk meneranginya.

Ia tersenyum kecil. Di kepalanya hanya ada gambaran kegembiraan jika mereka telah bertunangan nantinya. Bahkan di sana ada gambaran saat mereka menikah dan memiliki anak. Aldi menggeleng-gelengkan kepalanya. Itu terlalu cepat.

"Ngapain?" tanya seseorang yang membuatnya terpenjat kaget. Aldi menoleh kebelakang dan menghela napasnya kasar.

"Tai. Gue kira hantu emaknya Jennie." ujar Aldi asal. Ia juga kelepasan karena beberapa minggu ibunya Jennie, Ratna, yang bertempat tiga rumah dari rumahnya meninggal dunia.

"Yakali hantu bisa ngomong." ujar Gevin sambil memukul pundak Aldi.

"Ada lah. Lah mereka teriak 'ihihhihihi' itu juga ngomong." jawab Aldi sambil menirukan suara hantu.

Gevin menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Aldi yang masih seperti tujuh tahun yang lalu.

"Ngapain lo disini?" tanya Aldi sambil meninggalkan tempat ia berdiri tadi. Ia pindah ke kursi yang berada di pantry. Gevin mengikuti Aldi dan duduk di sebelahnya.

"Kan lo mau tunangan, bro. Masa gue kagak dateng."

"Kagak usah dateng. Ngapain juga," ketus Aldi.

"Sewot benget lo. Eh sebenernya sih mau ngomongin sesuatu. Yah, info yang gue dapet sih." ujar Gevin. Aldi langsung menatapnya dan menaikkan Alisnya.

"Gak ada hubungannya sama lo ataupun Veve."

"Terus? Javier? Nathan? Jihan?" tepat ketika Aldi menyebutkan nama Jihan, Gevin menganggukkan kepalanya.

"Masalah kehamilannya?" tanya Aldi yang membuat Gevin memukul kepalanya dengan cukup keras.

"Akh! Apa-apaan lo Gev?" Aldi meringis cukup keras dan menggosok bagian kepalanya yang terkana pukulan dari Gevin.

"Geblek. Jangan keras-keras."

"Iye, etdah. Apaan?" tanya Aldi yang masih menggosok kepalanya.

"Jihan ngaku kalo dia nggak hamil." ujar Gevin pelan. Aldi menatapnya dengan ekspresi terkejut.

Aldi teringat dimana Vera memberinya amplop tentang fakta-fakta Jihan. Di dalam dokumen itu ada gambar hasil USG yang mengatakan jika memang ia tidak hamil. Lalu ia juga menemukan dokumen persetujuan bayi tabung yang akan dilakukan Jihan. Disitu sudah ada tanda tangan Jihan, namun belum ada tanda tangan dari Gevin.

"Gev, jangan bohong sama gue. Gue kagak suka di bohongi, lo tau itu, Gev." Ucap Aldi. Gevin menatapnya dalam dan menggela nafasnya.

Saat itu, hujan turun. Tidak deras, hanya gerimis. Sehingga air yang turun pun tidak sampai menggenangi halaman rumah Gevin.

Gevin baru saja turun dari mobilnya. Ia membawa sebuah shopping bag berwarna hitam di tangan kanannya. Ia berjalan ke depan pintu dan membukanya.

Terlihat Jihan yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tersenyum kepada Gevin. Tak mau disangka benci, Gevin pun membalas senyuman Jihan.

"Ehm, Han, kamu nggak tidur? Udah malem." tanya Gevin seraya berbasa-basi dengan Jihan yang sekarang sudah berdiri dari sofa yang didudukinya.

"Nungguin kamu pulang, Gev." jawab Jihan dengan santainya.

"Oya, ini ada hadiah kecil buat ulang tahun kamu. Maaf kalo nanti kamu nggak suka." ujar Gevin sambil memberikan tas itu kepada Jihan.

Jihan menatapnya dengan pandangan aneh. Ia pasti terkejut jika Gevin memberinya kado untuk ulang tahunnya yang ke depalan belas. Tapi ia segera menepis ekspresinya lalu tersenyum kepada Gevin.

"Makasih, Gev."

Gevin mengangguk pelan lalu duduk di sofa yang tadi di duduki oleh Jihan.

"Gev, aku mau ngomong sama kamu,"

"Ya, ngomong aja." jawab Gevin sambil menatap Jihan.

"Tapi jangan marah ya?" ujar Jihan sambil menatap mata Gevin. Gevin mengangguk dan ia memalingkan wajahnya dari Gevin.

"Gev, sebenernya a-aku—aku gak hamil, Gev." ujar Jihan sesantai mungkin.

Namun ia tidak bisa menahan rasa takutnya. Jari-jari tangannya bergetar hebat. Tubuhnya terasa panas dingin. Ia memejamkan matanya. Ia merasa aneh karena Gevin tidak menjawab pernyataannya. Ia pun membuka matanya. Menatap Gevin yang memandangnya sendu.

"Gev?"

"Aku udah tau, Han." ujar Gevin sambil tersenyum. Jihan membelalakkan matanya.

"Gev, k-kamu, kamu udah t-tau?" tanya Jihan dengan gugup. Ia merasa jika selama ini dia merasa bersalah kepada Gevin.

"Kamu buka tas itu." ujar Gevin.

Jihan pun membuka tas pemberian Gevin. Di dalam tas itu terdapat sebuah amplop cokelat. Jihan mengambilnya dan bertanya kepada Gevin apa isinya. Gevin menyuruhnya agar membuka sendiri amplop itu. Tangan Jihan bergetar ketika mengetahui apa yang ada didalam amplop itu.

"Kamu gak perlu bohong, Han. Kamu tau jika itu dosa. Seharusnya kamu tidak perlu menurut sama ibu tiri kamu jika kamu tau itu salah. Sekarang kamu membohongi banyak orang, Han." ujar Gevin.

"Gev aku—"

"Kamu bisa minta bantuanku, Aldi, Vera, dan yang lain agar kamu tidak terjebak dalam masalah ini. Lalu, aku harus bagaimana? Bagaimana aku menjelaskan kepada mama jika kamu tidak hamil. Bahkan mama saja tidak menyukaimu, Han. Apa yang harus ku katakan?" tanya Gevin.

"Lalu, kenapa kamu mau melakukan ini? Karena dia ibu kamu? Atau kerena diancam?" tanyanya lagi.

Jihan terdiam tak berkutik. Ia memilih diam hingga Gevin menyerah untuk mendapatkan jawaban darinya.

"Jihan gak mau jawab?" tanya Aldi. Gevin mengangguk pelan.

"Sorry, Gev. Bukannya gue gak mau bantu elo atau apa, tapi gue bener-bener gak tau harus bantu apa. Ini rumah tangga lo. Lo harus tau mana keputusan terbaik yang bakal lo ambil." ujar Aldi pelan.

"Gue tau. Gue juga udah tau kalo lo bakal jawab kayak gini, woles, bro." ujar Gevin.

Tiba-tiba saja seseorang memasuki Dapur. Ia menatap Aldi dan Gevin. Lalu ia membuka kulkas dan menuangkan air kedalam gelas. Setelah ia minum, ia kembali menatap keduanya.

"Ngapain lo berdua disini?" tanya Nadia, kakak sepupu Aldi yang tinggal di Bandung.

"Biasa lah. Ngobrol, penghilang rasa nervous." jawab Aldi sambil tersenyum pada Nadia.

"Ada-ada aja lo, Di. Udah cepet keluar. Udah mau di mulai tuh," ucap Nadia lalu meninggalkan dapur. Aldi dan Gevin pun juga meninggalkan dapur. Mereka menuju ruang tamu yang sudah dirombak menjadi ruangan yang cukup indah dengan hiasan mawar putih dan juga bunga lili.

Vera sudah berada disana. Ia mengenakan gaun panjang berwarna putih dan berenda di sepanjang tangannya. Rama menatap kedatangan putranya dan Gevin.

"Nah, akhirnya datang juga." ucap Rama.

"Baiklah, kalau begitu kita mulai saja acara pertunangannya." ucap Farhan—kakek Vera.

Tak lama kemudian mereka saling bertukar cincin. Para keluarga yang menyaksikan pun bertepuk tangan.

Aldi memeluk Vera dengan erat seakan dia tidak ingin kehilangannya. Vera pun membalas pelukan Aldi dan menyandarkan kepalanya di dada bidang Aldi.

Sejak tadi Aldi tersenyum gembira. Tak lupa, ia juga memeluk pinggang Vera dengan posesifnya. Mereka terlihat bahagia saat ini.

Setelah mengobrol antar keluarga dan juga makan malam bersama, keluarga Vera memutuskan untuk pulang. Mereka memilih rumah Aldi yang di gunakan sebagai tempat acara pertunangan ini karena rumahnya cukup sepi dan tak berdekatan dengan rumah yang lain. Jadi tak cukup banyak media yang akan memberitakan pertunangan mereka berdua.

Aldi memilih untuk mengantar Vera pulang ke rumah. Ia membukakan pintu mobilnya untuk sang tunangan tercinta. Ia menggenggam tangan Vera selama di dalam mobil.

"Di, perasaanku kok gak enak ya?" tanya Vera sambil menatap Aldi dari samaping. Ia melirik Vera sekilas lalu menggenggenggam tangannya lebih erat.

"Perasaan kamu aja. Mungkin terlalu bahagia." ucap Aldi dengan senyum manisnya.

"Bukan. Bukan kayak gitu. Beneran gak enak, Di. Aku rasa—ALDI?" teriak Vera ketika Aldi membanting setir ke arah kiri.

Mobil dari arah berlawanan berjalan sangat kencang dan meluncur dengan cepat ke arah mobil yang mereka tumpangi. Namun naas. Aldi kalah cepat dengan mobil itu dan mobil itu menabrak bagian depan mobil sport Aldi.

Kepala Aldi membentur setir. Pelipis kanannya berdarah. Kaca mobilnya retak parah. Ia menatap Vera dengan tangan yang bersimbah darah. Gaun putihnya kini sudah berubah warna menjadi merah. Ia memegang pipi Aldi dengan tangan yang penuh dengan darah.

BRUKK!

Tiba-tiba ada mobil yang menabraknya dari arah belakang. Kejadian ini begitu cepat. Tubuh mereka membentur jok depan.

"AKH!" teriakan Vera yang membuat Aldi memejamkan matanya.

Kepala Vera juga ikut berdarah. Darah segar mengalir dari kepala kirinya hingga ke pipinya. Dagunya memar. Tangannya mencengkeram tangan Aldi.

Vera meneteskan air matanya. Ia menatap Aldi dengan sendu dan penuh dengan darah di tubuh keduanya.

"D-di?" panggil Vera.

"Jangan bicara. Jangan bicara apapun." ucap Aldi yang menyadari bahwa Vera kesulitan untuk berbicara.

"Should I? S-should I go now?"

"No! Just stay with me and shut up your mouth! There's no reason to go okay?!" ujar Aldi yang menggebu-gebu.

"J-jangan per-pergi." gumam Vera. Suaranya tidak begitu jelas namun masih bisa dicernah dengan baik oleh Aldi. Aldi menggeleng pelan.

"Gak akan. Sekarang kamu diam. Berdoa kepada Tuhan. Agar kita selamat dan—"

"Je t'aime." gumam Vera. Lalu ia memejamkan matanya. Aldi sangat terkejut lalu menggoyang-goyangkan tubuh Vera.

"Bangun, sayang!" teriak Aldi. Vera diam tak merespon perkataan Aldi. Aldi menumpahkan air matanya.

"No! I wont to lose you! Wake up! Ve, please wake up!" isak Aldi yang masih membangunkan Vera. Ia berfikir apakah ia akan kehilangan orang yang dicintainya, lagi? Tidak. Dia tak sanggup hidup tanpa orang yang ia cintai saat ini.

"WAKE UP!"

END

Continue Reading

You'll Also Like

15.5M 874K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
2.3M 123K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
3.9M 231K 59
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...