Should I?

By verenalowe

7.5K 426 95

[COMPLETED] [jumlah part: 39 +epilog] Sebuah kisah yang menceritakan tentang kehidupan dan masalah-masalah s... More

Chapter 1: Malapetaka
Chapter 2: Salah Paham
Chapter 3: Godaan
Chapter 4: Kesedihan
Chapter 5: Pencerahan
Chapter 6: Cowok itu Ngeselin
Chapter 7: Pertemuan
Chapter 8: Tak Terduga
Chapter 9: Permintaan Maaf
Chapter 10: Barbeque Party
Chapter 11: Rapuh
Chapter 12: Problem (1)
Chapter 13: Problem (2)
Chapter 14: Social Media
Chapter 15: Awal yang Baik
Chapter 16: Penyelesaian
Chapter 17: Terjebak
Chapter 18: Happy Sunday
Chapter 19: Balikan?
Chapter 20: Pertama Kalinya Kehilangan
Chapter 21: Akankah aku kembali ke pelukanmu?
Chapter 22: Pelindung
Chapter 23: Holiday
Chapter 24: Kebahagianku Bersamamu
Chapter 25: Kedatangannya
Chapter 26: Bukan Rahasia Publik
Chapter 27: Pertemuan
Chapter 28: Aku disini!
Chapter 29: He's Back
Chapter 30: Two Idiot Man
Chapter 32: Terkejut
Chapter 33: Surprised
Chapter 34: Monopoli?
Chapter 35: Gara-Gara KPOP
Chapter 36: Murid Teladan?
Chapter 37: Ujian Nasional
Chapter 38: Amal dan Ice Cream
Chapter 39: Apakah Ini Akhir Dari Segalanya?
Epilogue.

Chapter 31: Rahasia pun Perlahan Terbongkar

105 2 1
By verenalowe

Pagi ini cuaca begitu cerah. Bahkan awan putih yang menyerupai salju yang lembut pun tidak nampak di langit yang biru ini.

Gevin mengeluarkan mobil Audi A5-nya yang baru saja di belikan oleh kakaknya. Ia turun dari mobil itu dan masuk kedalam rumah.

"Ma! Sepatu Gevin yang kemarin kemana? Kok nggak ada di lemari sepatu." teriak Gevin dari depan lemari sepatu di ruang keluarga.

"Mana mama tau! Tanya aja sama istri kamu itu!" ujar mamanya dari dalam dapur.

Gevin menghela nafas berat. Ia berjalan perlahan menuju kamar Jihan di sebelah kanan ruang keluarga.

Tok Tok Tok

"Han, kamu tau sepatu aku yang kemarin?" tanya Gevin tanpa masuk ke kamar Jihan.

"Eh? Itu di rak belakang, Gev. Kamu ambil sendiri ya, aku masih mandi nih." sahut Jihan.

Gevin berjalan menuju teras belakang rumah lalu mengambil sepatu nike flyight warna biru dari rak sepatu. Kemudian dia memakai sepatu itu.

Jihan berjalan kearah Gevin yang duduk di kursi sebelah rak sepatu. Ia menatap Gevin sambil tersenyum kecil.

"Han, hari ini kamu ada acara kemana? Kayaknya hari ini mama lagi libur. Kalo kamu dirumah tak—"

"Gak papa, Gev. Aku coba ngedeketin diri sama mama kamu. Lagian 'kan gak baik, mertua dirumah aku malah gak ada." sahut Jihan dengan cepat.

Gevin memejamkan matanya sebentar lalu membukanya. Ia salut dengan Jihan yang sabar menghadapi mamanya. Meskipun mereka dalam satu keyakinan atau agama yang sama tapi mamanya masih belum bisa menerimanya dengan baik.

Namun, jika dibandingkan dengan Vera, meskipun mereka berbeda keyakinan, mamanya malah menyukainya. Memang sikap Vera dalam suatu kata kekeluargaan, ia bisa menjaga apa yang namanya kekeluargaan. Ia begitu baik pada keluarganya.

Tapi hal itu pula yang membuat mamanya tidak merestui jika mereka menikah. Mamanya akan merestui jika Vera mau berpindah keyakinan.

Mamanya pun pernah mengatakan itu kepada Vera secara terang-terangan. Tapi Vera membalas dengan kata-katanya, "Saya tidak tahu siapa jodoh saya, jadi saat ini saya masih belum bisa memutuskan itu. Memang saya serius dengan hubungan ini. Tapi masalah agama lebih serius dari apapun."

Itu adalah salah satu alasan yang membuat mamanya luluh. Begitu pula dengan Gevin. Ia tahu jika sikap Vera terkadang egois. Itu karena dia tidak ingin apa yang sudah dimilikinya diambil oleh orang lain.

"Gev? Kok malah ngelamun?"

"Eh iya. Aku berangkat ya?" ujar Gevin. Jihan mengamit tangan Gevin dan mencium punggung tangannya.

***

"Gev? Kenapa sih? Dari tadi ngelamun mulu?" tanya Vera yang duduk di depannya.

"Tau nih. Mentang mentang udah ada yang nungguin di rumah." sahut Aldi yang duduk disebelah Vera.

"Gue mau cerita. Tapi gue gak tau harus gimana. Ini masalah serius. Gue gak mau mama gue makin gak suka sama Jihan." ujar Gevin.

"Whats wrong, bro? Ayolah, disini ceritanya lo masih sahabat gue. Lo takut bocor? Gak akan lah."

"Bukan gitu, Di. Gue juga gak mau lo makin gak suka sama dia. Gue jadinya gak enak."

"Gini Gev. Okelah, kamu punya alasan sendiri. Paling gak kita bisa bantu masalah kamu. Kita juga gak mungkin diem ajakan?" kini giliran Vera yang angkat bicara.

Aldi menganggukkan kepalanya dengan cepat. Gevin tersenyum lalu menghela nafas.

"Gue pernah denger, kalo dalam agama gue 'kan gak dibolehin nikah kalo lagi hamil, gue curiga dong ya." ujar Gevin.

"Maksud lo? Jihan bohong?" tanya Aldi dengan santai. Dia tidak ingin marah tanpa ada bukti.

"Gini, Di. Bukannya gue nuduh Jihan. Gue cuma curiga. Terus gue ikutin dia ke dokter kandungan langganannya. Awalnya dokternya gak mau ngomong. Jadi gue nyuruh suster sana buat ngefoto hasil setiap pemeriksaan Jihan.

"Suster itu bilang, gak ada data tentang kehamilan Jihan. Gue kaget. Gue ketemu dokternya terus gue tanya dia. Dia gak mau jawab, jadi gue ancam. Akhirnya dia bilang kalo Jihan gak hamil. Dia datang ketempat itu cuma bicarain tentang bayi tabung. Lo tau maksud gue?"

"Jadi Jihan, dia gak hamil gitu?" suara Vera kali ini cukup keras. Aldi membekap mulutnya setelah ia mengatakan itu.

"Jangan keras-keras kali." ujar Aldi.

"Aww! Jorok banget sih? Duh." ujar Aldi setelah Vera menggigit tangannya yang telah membekap mulut Vera.

"Iya maaf." ujar Aldi. Vera mengacuhkannya dan menatap Gevin.

"Tanya dulu sama Jihan. Tanya apa yang sebenernya. Kalo itu bener, tanya alasannya. Kan gak baik tiba-tiba nuduh orang." ujar Vera.

"Eleh, kok jadi bijak gini sih? Makan apa kamu, baby?" ujar Aldi.

"Kok lucu yah liat lo ngomong aku kamu? Ga pantes, Di!"

"Masih belom baikan kalian? Yaampun, gue kira udah balikan malah. Mesra-mesraan tapi masih lo-gue? Hahaaha," tawa Gevin menggema.

"Shut up!" jawab Aldi dan Vera dalam waktu yang hampir bersamaan.

"Udah. Sekarang mau lo gimana?" tanya Aldi

"Gue bingung. Gue harus apa? Gue capek seolah gak ada apa-apa. Gue capek bohong sama perasaan gue. Gue capek bohong sama orangtua gue. Gue capek, Di."

"Gev, gue tau lo masih belom bisa nerima Jihan. Dia gak seperti yang lo lihat. Dia baik, Gev. Sangat baik malah. Dia juga—"

"Baik itu relatif, Di. Lo gini karena perasaan lo masih ditutupi sama dia. Gue gak peduli kalo gue balik sama lo. Gue cuma mau bilang kalo baik itu relatif. Baik itu bisa beneran bisa juga bohongan. Baik itu bisa bikin orang bahagia bisa juga bikin orang menderita. Baik bisa bikin nyelamatin orang bisa juga ngebunuh orang."

"Ve, please. Lo ga tau apa-apa. Jangan nuduh yang enggak-enggak."

"Gue gak nuduh. Gue cuma bilang. Ini semua emang bukan keinginan Jihan. Dia hanya dimanfaatkan." ujar Vera. Ia menyesap teh hangat dari cangkir di depannya.

"Maksud lo? Ve, please, Ve." ujar Aldi. Vera menggeleng pelan.

"Lo gak tau gimana kejamnya orang tua Jihan!"

"Orang tuanya udah meninggal. Jaga omongan kamu," Aldi menaikkan suaranya.

"Enggak, Di. Dia masih punya ibu tiri." ujar Vera. Gevin masih diam dari tadi. Dia ingin tau apa yang ingin di bicarakan oleh Vera.

"Kenapa diam? Jangan bilang lo gak tau, Di?"

"Ve, orang itu—itu ibunya Jihan?" tanya Gevin.

"Ibu tirinya." ralat Vera.

"Lo tau Gev?" tanya Aldi.

Gevin menggeleng pelan, "Awalnya gue gak tau. Cuma, waktu gue nganterin Vera dua minggu lalu, didepan sebuah rumah ada orang yang nampar Jihan. Waktu itu gue gak tau kalo itu Jihan. Terus Vera bilang kalo itu rumah Jihan. Dia pindah kesitu dua hari sebelum kejadian itu." jelas Gevin.

"Bangsat! Siapa ibu tirinya sih?!" ujar Aldi.

"Mira. Miranda Bramantyo." jawab Vera.

Aldi menatap gadis itu lekat. Ia menatap tepat pada bola matanya. Vera yang mengerti itu pun angkat bicara.

"Dia temen arisan mama. Mama pernah bilang kalo anaknya namanya Jihan. Seumuran sama gue."

"Gak mungkin. Terus, papanya Jihan nikah sama mama tirinya? Mamanya Jihan apa gak bertindak? Diem aja?"

"Kecelakaan, Di. Mama tirinya hamil." sahut Vera.

"Ya Tuhan."

"Jadi, tanya yang sebenarnya sama Jihan. Kalo dia gak jawab, biarin dulu. Berarti itu bukan waktu yang tepat." ujar Vera.

Gevin menganggukkan kepalanya. Vera mengambil sebuah map berwarna coklat dari dalam tasnya. Ia memberikan map itu kepada Aldi.

"Kalo penasaran siapa yang kasih bukti ini. Bisa telfon nomer didalamnya."

Vera berdiri dan meninggalkan kantin. Saat ini kantin sepi karena sudah dimulai jam ke-lima. Tentunya, pelajaran pun sudah di mulai.

Aldi membuka map itu dan menemukan kertas dengan tulisan 'Hasil pemantauan Jihan Salshabila'

Surat keterangan dari detektif? Sebegitu penasaran sama Jihan atau peduli sama Gevin, Ve?

To be continue...

Continue Reading

You'll Also Like

5.1M 215K 52
On Going ❗ Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
9.7M 881K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

1.9M 101K 56
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...