Ia menatap pada dinding kosong di hadapannya. Mencoba mengingat sesuatu yang sepertinya lebih pantas ia lakukan untuk saat ini. Terakhir kali ia membuka diri pada seseorang itu...
"Dila tenanglah. Pria itu brengsek. Kau tak perlu menumpahkan air mata hanya untuk pria seperti itu."
Ya, Dila mencintai pria itu. Tapi mengapa pria itu menyianyiakannya? Dila membuat sesuatu di hari ulang tahunnya. Dan ia mengabaikanya begitu saja. Itu membuatnya sangat terluka. Apa mungkin ini karena penampilannya yang tidak semenarik gadis lain? Atau apa? pertanyaan-pertanyaan konyol itu berputar di kepalanya.
"Kami temanmu. Tidak usah khawatir."
Teman apanya? Kalian hanya ingin menertawakan Dila.
Dila mendesah pelan. Ia mengedipkan matanya beberapa kali, keluar dari zona memori yang benar-benar luar biasa. Hari ini sudah cukup penat dengan semua pekerjaan yang menumpuk ditambah dengan Ayah yang memberikannya ceramah. Lagi pula apa yang harus Dila katakan pada Ayahnya?
Dila hanyalah seorang wanita karier yang tak mementingkan hubungan romantis dengan seorang pria. Sementara Ayahnya memaksa untuk segera menikah. Yang benar saja. Ia baru berumur 27 tahun. Tak terlalu tua untuk menjadi perawan tua.
"Dila! Apa kau mendengar ayah?" Hal itu sontak membuatnya terbangun dari pemikiran yang dalam.
"Ya Ayah. Aku mendengarkanmu secara jelas." Dila tentunya hanya menjawab sekenanya.
"Ya sudah. Kali ini kau mau menginap atau pulang. Menginap saja lah. Ini sudah malam."
"Aku harus pulang. Masih banyak pekerjaan yang menunggu dirumah."
Ia berjalan membawa tas dan mantel yang terbaring di kamar masa kecilnya. Kembali ia menghela napas. Ia merasa semakin tua ketika melakukan hal itu. Konyol sekali.
"Ayah tak ingin kau jadi gunjingan keluarga karena kau belum juga menikah."
Napasnya tercekat. Inilah mengapa ia tak pernah menyukai acara keluarga. Mereka selalu membicarakan keburukkan anggota keluarga lain, mencari-cari kesalahan orang lain, dan juga membanding-bandingkan anak mereka dengan yang lain. Itu sangat membosankan dan juga menyebalkan.
"Ya Ayah. Kalau begitu aku pulang dulu. Assalamualaikum."
Tanpa berbalikpun Dila masih bisa merasakan tatapan Ayah pada punggungnya. Dila Maulin Sucipto adalah anak pertama yang paling diharapkan untuk menjadi sukses oleh Ayahnya.
***
Dila melepas kancing kemeja secara paksa. Ia terduduk secara sembarang di sofa empuk itu. Kembali menghela napas dan mengistrahatkan punggungnya. Ini sudah lebih dari jam 10. Perjalanan dari rumah orang tua ke rumahnya sendiri cukup memakan banyak waktu.
Ia menanyakan apa yang spesial dari rumah ini hingga ia tak mau menginap di rumah Ayah. Di tempat ini begitu sunyi. Terdengar suara jangkrik di halaman belakang, dedaunan yang tertiup angin, dan dengkuran kucing di tempat tidurnya. Rumah ini hanya rumah bertema nature. Penuh dengan tanaman di setiap ruangan. Halaman belakang pun cukup luas, memberikan tempat yang cukup untuk menanam berbagai macam buah-buahan. Dan jangan lupakan apotek hidup, beberapa lahan untuk sayuran, dan rumah kaca mini tempat menyimpan bunga.
Ya, memang rumah ini ia desain sedemikian rupa agar ia dapat melupakan beberapa kepenatan yang hinggap di kepalanya. Dila, wanita yang tak pernah bisa berhenti untuk berpikir. Atau bisa disebut overthinking? Entahlah. Namun itulah dia.
Bahkan hanya duduk seperti ini saja, ia bisa memikirkan banyak hal. Plot untuk cerpen atau kelanjutan novel buatannya, atau beberapa gambaran untuk komiknya, nada-nada musik yang cocok untuk projek lagunya, atau pemikiran tentang program baru di pekerjaannya. Semua itu masuk kedalam kepala Dila secara bergantian.
"Untuk malam ini bagusnya aku mengerjakan apa?" Ia bergumam, berjalan dengan terseok ke arah lemari.
Namun kasur empuk itu sudah menggodanya. Ia menguap, merasakan kantuk yang tak tertahankan. Setelah berganti pakaian dengan piyama berlengan pendek berwarna biru, Dila membaringkan diri di kasur empuk favorit. Kasur itu sudah ia anggap sebagai kekasihnya. Hal itu membuatnya tertawa perlahan. Hingga akhirnya ia menutup kedua matanya. Merasakan betapa nyamannya kasur itu.
***
"Sudah saya katakan tadi. Itu kesalahan Pak Nugraha. Untuk itu saya minta maaf." Gemaan suara Dila terdengar di rumah luas itu.
Kerutan-kerutan di dahinya muncul. Ia cukup kesal dengan atasannya yang satu ini. Pagi adalah waktunya untuk membersihkan rumah, namun atasannya itu mengganggunya dengan menanyakan hal tentang pekerjaan. Sudah cukup ia menghabiskan waktu 8 jam selama 5 hari setiap minggu untuk bekerja, ia tak ingin ada lagi waktu yang tersita untuk hal itu.
"Ya kalau begitu hari senin saya akan kirimkan revisinya pada bapak."
Dila mengusap pelipisnya. Meskipun bosnya sedang menelepon, tapi ia masih bisa membayangkan bagaimana ekspresi pria tua sialan itu.
"Saya sudah menghabiskan waktu saya untuk bekerja. Untuk itu, ini saatnya saya untuk istirahat. Saya tepati waktu untuk menyelesaikannya dan mengirimnya hari senin." Kalimat telak itu meluncur dari mulut Dila.
"Terimakasih atas pengertiannya. Waalaikumsalam." Akhir dari perbincangan mereka dilanjut dengan helaan napas.
Dila melempar ponselnya ke sofa. Ini hari minggu dan seharusnya ia sudah menyelesaikan novel yang sudah memasuki tahap akhir. Namun belum juga ada ide untuk melanjutkannya.
Maka dari itu Dila beralih ke dapur. Mungkin dengan memasak, ia akan mendapatkan suatu motivasi untuk melanjutkan novelnya.
Kali ini ia bersiap untuk membuat Sachertorte. Kue asal Austria yang ia sukai. Rasa cokelat yang begitu menggiurkan sudah terbayang di lidahnya. Ia memang bukan wanita yang handal memasak. Namun kemampuannya ini bisa mengalahkan seluruh anggota keluarganya. Wanita mandiri yang satu ini memang seperti itu.
Dila mengikat rambutnya secara acak, menggunakan apron dengan gambar tulisan-tulisan Jepang. Ia sudah siap untuk memasak. Dila mulai mencampurkan bahan satu persatu. Ia sudah mencairkan cokelat. Tangannya dengan telaten mengaduk adonan. Pikirannya kembali tertuju pada permintaan sang ayah.
"Ayah ingin kau segera menikah."
Jujur saja, itu adalah permintaan tersulit yang ia dapatkan. Karena selama ini Ayahnya hanya ingin Dila menjadi wanita mandiri. Namun permintaan ini sepertinya cukup mustahil untuk Dila kabulkan.
Ting Tong
Dila mengangkat wajahnya. Menyadari bahwa ada tamu di luar sana. Ia segera melepaskan apron dan berusaha untuk membawa beberapa nyawanya kembali pada tubuhnya.
"DILA!!! APA KABAR?" Teriakan itu membuat Dila menutup kedua sisi telinganya.
"Ina, please. Aku ada di depanmu." Ucap Dila yang segera disusul dengan pelukan erat dari Lina, saudari perempuannya.
"Aku kemari seperti biasa."
"Kau meminta bantuanku untuk menempelkan screentone di komik mu?" Tatapan dingin dari Dila membuat Lina tertawa bodoh.
"Yuni? Kau datang juga?" Tanpa Dila persilahkan pun mereka segera memasuki kediamannya.
"Kebetulan Mbak Ina menjemputku di rumah. Mbak Dila kenapa? Murung begitu." Yuni menyimpan sepatu dan juga high heels milik Lina ke rak kayu disamping pintu.
"Ah tidak. Kebetulan aku baru saja akan membuat kue. Mau ikut membantu? Oy, Ina! Rapikan kertas-kertasmu itu. Aku tak ingin rumah ini jadi kapal pecah." Dila mengusap lehernya gusar.
Kedua saudarinya selalu saja begitu. Lina atau yang biasa Dila panggil sebagai Ina adalah seorang ibu rumah tangga berjiwa muda, yang memiliki pekerjaan untuk membuat serial komik. Ina adalah yang terpintar dari mereka bertiga. Imajinasinya cukup mengagumkan, tak salah jika ia pernah kuliah di luar negeri. Sementara Yuni, hanya mahasiswi biasa yang memiliki kepribadian baik dengan sopan santun tinggi. Ia memiliki otak yang cerdas. Namun ia kurang mengekspresikan diri dan lebih memilih untuk mengikuti Dila dan juga Lina.
"Tentu saja. Aku suka jika Mbak Dila mengajariku resep yang baru." Senyuman Yuni mengembang.
"Kalau begitu ikuti aku. Kali ini aku akan membuat Sachertorte. Kalau tidak salah aku belum pernah mengajarkannya padamu." Dila kembali mengenakan apron, dan memberikan apron lain pada Yuni.
"Maulin, jangan lupa untuk membantuku." Teriakan Lina terdengar di ujung ruangan.
"Lebih baik kau membantu kami, sesudah itu aku akan melihat name dari komikmu."
Derapan kaki yang cepat menandakan Lina sedang berlari ke arah dapur. Dila tertawa ketika akhirnya mereka bertiga saling membantu di dapur klasik itu.
***
"Waah! What an awesome chemistry?! Kue mu benar-benar ajaib Dila!"
Lina kembali menyuapkan potongan kue itu ke mulutnya. Ia bersenandung gembira.
Dila menatap kertas-kertas di hadapannya . Melingkari beberapa bagian dengan pulpen biru. Ia membenahi letak kacamatanya, tangan yang lainnya meraih garpu untuk memotong kue itu. Setiap kali Lina menulis name untuk komiknya, selalu saja ada banyak kecerobohan yang ia buat. Dila harus beberapa kali mengatakan pada Lina agar hal itu tak terulang lagi.
"Ada baiknya kalau bagian ini dihapus. Lebih baik, di sini masukkan gambar saat pemeran utama menebas kepala makhluk itu." Dila menyerahkan lembar terakhir yang ia nilai.
Lina tentunya mengangguk riang. Lalu ia mulai mengeluarkan segala bahan untuk menggambarnya. Banyak sekali alat yang ia keluarkan hingga hampir memenuhi meja bundar yang mereka gunakan.
"Mbak Lina tumben semangat."
"Ia belum memiliki momongan. Jadilah seperti itu. Kalau saja ia sudah memiliki anak, mana mungkin dia bisa melakukan hal seperti ini. Ia sedang menikmati waktunya sebagai komikus." Dila mengomentari pernyataan Yuni dengan nada tak peduli.
Ia bahkan melupakan skrip novel yang akan di ajukan ke penerbit.
Ia melupakannya...
Dila melupakannya....
"Shit! Aku lupa skrip novel ku!" Dila berlari mengambil laptop untuk melanjutkan cerita di novelnya.
"Mbak Dila juga makin semangat." Yuni hanya duduk memperhatikan kedua saudarinya sibuk dengan kesibukan mereka masing-masing.
***
A/n
Dan inilah cerita romance pertamaku. Jadi sebelumnya untuk di chapter ini memang belum keliatan. Tapi tunggu chapter chapter selanjutnya ya.
Oh untuk React, aku belum melanjutkan cerita itu. Filenya ga tau disimpen dimana. Tapi nanti saya coba cari lagi.
Warm regards
Matsushina Miyura