GEOGRA

By iceynda

2.3M 95.1K 4K

Pertemuan yang tidak disengaja karena berniat menolong seorang pemuda yang terjatuh dari motor malah membuat... More

PROLOG
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
CHAPTER 31
CHAPTER 32
CHAPTER 33
CHAPTER 34
CHAPTER 35
CHAPTER 36
CHAPTER 37
CHAPTER 38
CHAPTER 39
CHAPTER 40
CHAPTER 41
CHAPTER 42
CHAPTER 43
CHAPTER 44
CHAPTER 45
CHAPTER 46
CHAPTER 47
CHAPTER 49
CHAPTER 50
CHAPTER 51
CHAPTER 52
CHAPTER 53
CHAPTER 54
EPILOG

CHAPTER 48

31.8K 1.5K 119
By iceynda

"Apa yang kalian lakukan?!"

Suara lengkingan seseorang disertai dobrakan pada pintu membuat kedua orang yang tengah saling berpelukan itu terlonjak kaget.

Geogra mendesis, sedikit mendongak melihat adiknya datang dengan wajah memerah dengan mata melotot sembari berkacak pinggang. Giselle, gadis itu berjalan mendekat, menarik lengan Camela agar terlepas dari pelukan sang kakak.

"Apa yang kau lakukan, Giselle?" ujar Camela, tersentak. Keningnya mengernyit tak suka atas tindakan Giselle yang menarik paksa dirinya. Dia berdiri di samping ranjang dengan Giselle yang mencengkeram lengannya.

"Harusnya aku yang bertanya padamu, apa yang sedang kau lakukan di sini, huh?" Giselle mengangkat dagu, dia menatap Camela tanpa rasa takut. Sejak tadi dirinya mencari keberadaan Camela karena titah ibunya, tetapi gadis ini malah berdiam diri bersama Geogra dengan kondisi ruangan yang gelap. Sungguh, tidak tahu malu.

Camela memutar bola mata. "Tentu saja menemani kakakmu."

Tatapan Giselle beralih pada Geogra. Laki-laki itu terlihat sedang memijit pelipisnya. Dia menggeram rendah. Baru menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan. Jadi, gadis yang ia kira Zeyra ternyata Camela? Sialan!

"Kakak, kenapa diam saja!" Ketika Giselle menemukan Geogra bersama Camela, jantungnya berdetak cepat. Dia tidak bisa berpikir jernih. Ia hanya takut Camela berbuat macam-macam pada kakaknya. Gadis itu menghela napas pelan, dia melepas cengkeramannya. Giselle memandang kecewa ketika Geogra hanya diam saja.

Padahal ia sangat berharap Geogra berusaha terus mencari keberadaan Zeyra. Giselle pun masih tidak percaya bahwa Zeyra telah tiada. Dia yakin, Zeyra masih hidup. Tapi apa yang ia lihat? Laki-laki itu malah asyik berduaan dengan gadis lain.

Apa benar Geogra hanya berpura-pura mencintai Zeyra? Jika iya, kakaknya adalah laki-laki brengsek. Giselle tidak akan pernah memaafkan Geogra. Dia membenci laki-laki itu. Sebagai perempuan, Giselle turut merasakan bagaimana perasaan Zeyra. Dia mengerti mengapa Zeyra memilih mengakhiri hidupnya. Sekarang Giselle mengerti.

"Giselle," panggil Geogra. Dia mengepalkan tangan ingin meraih tangan adiknya yang sudah memasang wajah berkaca-kaca.

"Kakak jahat!" pekik Giselle sembari mengusap sudut mata. "Kakak brengsek mempermainkan perasaan Kak Zey! Aku benci Kakak!"

Alis laki-laki itu menukik tajam. Dia bangkit, meraih lengan Giselle. Tetapi ditepis kasar oleh sang adik.

"Giselle, kakakmu tidak mempermainkan perasaan gadis itu. Dia saja yang terbawa perasaan. Padahal kakakmu tidak mencintainya." Camela berujar dengan wajah penuh percaya diri sembari memainkan kuku tangannya.

Giselle memandang Camela dengan tatapan penuh kebencian. Merasa muak, akhirnya Giselle melangkah pergi meninggalkan ruangan itu, mengabaikan Geogra yang menyuruhnya untuk tetap berada di tempat.

"Ada apa dengan adikmu itu, Kak Geo? Mengapa ia marah melihat kita berdua di sini? Bukankah itu wajar? Lagipula sebentar lagi kita akan bert—K-Kak Geo?" Ucapan Camela terpotong bersamaan dengan napasnya yang tercekat. Kedua tangan gadis itu memegang lengan kekar Geogra.

Sepertinya Camela telah memancing emosi Geogra. Laki-laki dengan wajah memerah itu mencekik lehernya. Bahkan dia menyeret Camela hingga  punggungnya membentur dinding dengan keras.

Camela menjerit kesakitan. "K-kak l-lepaskan..."

Namun, Geogra menulikan pendengarannya. Dia amat sangat membenci gadis sialan itu. Jika saat ini ia sedang tidak menjalankan rencana bodoh atas perintah ayahnya. Mungkin Camela sudah ia lenyapkan detik ini juga.

Camela tersungkur ketika Geogra menghempaskannya. Dia terbatuk-batuk sembari memegangi leher yang memerah. Gadis itu meringis merasakan lehernya berdenyut nyeri.

"Keluar!"

Camela menelan ludah, bulu kuduknya merinding. Bisa saja ia membujuk laki-laki itu tetapi saat ini Geogra terlihat berbeda. Demi acara pertunangannya, akhirnya Camela memilih mengalah. Ia berjalan tertatih keluar dari ruang kamar itu. Tepat saat ia telah keluar, suara geraman laki-laki itu terdengar bersamaan dengan pecahan barang dari dalam sana.

Gadis itu mengusap dadanya. Dia mengatur napas. Menetralkan degup jantungnya. Walaupun Geogra berbuat kasar padanya, tetapi keputusan Camela tetap sama. Dia sudah bertekad. Ingin hidup bersama Geogra. Laki-laki yang sangat ia cintai. Laki-laki yang sangat ingin dia miliki.

Camela akan berusaha membuat laki-laki itu luluh. Camela sangat yakin, lambat-laun perasaan Geogra padanya akan tumbuh, pikirnya.

***

Mendengar suara isak tangis, Alesa terbangun dari tidurnya. Dia melirik ke arah tempat tidur Zeyra kemudian buru-buru beranjak dari sofa menghampiri sahabatnya yang menangis dalam tidurnya.

"Zeyra?"

"Tidak. Ibu, ayah, nenek. Jangan tinggalkan Zey..." gumam Zeyra. Cairan bening menetes ke pipinya.

Panik, Alesa mengguncang pelan bahu Zeyra. "Hei, Zeyra."

"Jangan tinggalkan Zey! Ayah, ibu!"

"Zeyra bangun. Zeyra," panggil Alesa, kini menepuk-nepuk kedua pipi gadis itu.

Tangis Zeyra semakin menjadi disertai hidungnya yang memerah. Alesa yang tidak tahu harus melakukan apa, ia beranjak keluar dari kamar memanggil ibunya.

Tak lama kemudian ia kembali bersama seorang wanita memasuki ruang kamar. Alesa terkejut begitu melihat Zeyra yang sudah membuka mata. Dia mendekat kemudian mengucapkan syukur.

"Zeyra, akhirnya kau sadar."

Zeyra dengan wajah sembab terus menangis. Dia terus memanggil ayah dan ibunya membuat Alesa menatap iba. Gadis itu melirik ibunya yang dibalas anggukan kecil.

Perlahan ibu Alesa mengusap puncak kepala Zeyra guna menenangkan. "Zeyra, apa kau sudah merasa baikan? Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit?"

Zeyra yang sesenggukan seketika terhenti. Gadis itu menatap ibu Alesa dengan pandangan berkaca-kaca. Lantas tiba-tiba memeluk ibu Alesa membuat Alesa kebingungan.

"Ibu jangan tinggalkan Zey," lirih Zeyra, memeluk erat.

"Bun?" Alesa mengatupkan bibir ketika ibunya menggelengkan kepala.

"Tidak apa-apa, sekarang Zeyra aman," ujar ibu Alesa, membalas pelukan Zeyra. Alesa menghela napas, wajahnya mendongak ke atas, menatap langit-langit kamarnya. Entah mengapa, melihat sahabatnya seperti itu membuatnya sedih.

Zeyra yang ia kenal selalu tampil ceria dan bersemangat ternyata menyimpan banyak luka di hatinya. Alesa merasa bodoh, dia bahkan tidak tahu apa-apa tentang sahabatnya.

"Zeyra minum dulu ya," ucap ibu Alesa, Verly. Ia menguraikan pelukan lantas membantu Zeyra untuk minum segelas air putih. Verly dengan telaten mengusap sisa-sisa air mata di pipi Zeyra.

"T-terima kasih, Tante," jawab Zeyra serak. Dia baru menyadari bahwa seseorang yang ia peluk adalah ibunya Alesa.

Mimpi itu terasa nyata. Zeyra mengira bahwa dirinya telah mati dan akhirnya bertemu kedua orang tua beserta neneknya. Ternyata tidak. Harapannya pupus ketika menyadari bahwa ia masih hidup. Raut wajah Zeyra tertekuk lesu.

"Tidak perlu sungkan. Jika kau membutuhkan sesuatu, katakan pada kami. Kalau begitu kau harus beristirahat agar kondisimu cepat pulih, " tutur Verly, tersenyum tulus.

"Bunda pamit sebentar ya. Bunda akan siapkan makan malam untuk kalian. Alesa temani Zeyra ya, Sayang."

Alesa mengangguk cepat. Verly tersenyum kemudian beranjak pergi dari sana menyisakan Alesa dan Zeyra yang kini hanya berdua di ruang kamar.

Tanpa aba-aba Alesa berhambur memeluk Zeyra. Sedangkan yang dipeluk terkejut dengan tindakan tiba-tiba itu. Dia tertegun mendengar suara Alesa yang menangis.

"Alesa? K-kenapa menangis?" tanya Zeyra.

"Maafkan aku, Zey. Bukankah aku sahabat yang buruk?" ujar Alesa lirih.

"Mengapa Alesa bicara seperti itu?"

"Aku sahabat yang buruk. Aku bahkan tidak ada di sisimu saat kau sedang terpuruk. Maafkan aku, Zey..."

Mendengar ucapan Alesa, Zeyra terdiam sebentar. Gadis itu memejamkan mata kemudian menghela napas pelan. "Zey tidak apa-apa, Alesa."

"Bohong! Kau selalu saja berbohong padaku! Jika saja aku tidak segera menarikmu dari tempat itu, apa kau akan pergi meninggalkanku?" Alesa sedikit menaikkan nada bicaranya sembari menangis.

"J-jadi Alesa yang telah—"

"Ya, aku! Apa kau tidak pernah mengingatku, Zeyra? Mengapa kau ingin melakukan itu? Mengapa? Apa sahabatmu tidak berarti dihidupmu hingga kau ingin meninggalkanku?"

Zeyra membulatkan mata sembari menggeleng ribut. "Tidak, Alesa. Tidak begitu." Ia menggigit bibir, menahan diri agar tidak menangis. "Maaf," ujarnya.

Alesa menarik diri, ia menatap wajah Zeyra yang memerah. Lalu kedua mata Zeyra yang berkaca-kaca. Lantas Alesa kembali memeluk Zeyra, kali ini lebih erat. Dia menepuk-nepuk punggung sahabatnya.

"Menangislah. Tidak usah ditahan. Tumpahkan semua rasa sedihmu sekarang, Zeyra."

Detik itu juga, suara tangis Zeyra pecah. Gadis itu membalas pelukan Alesa tak kalah erat sembari menggumamkan kata maaf.

"Maaf, maafkan Zey, Alesa."

"Tidak. Seharusnya aku yang minta maaf padamu, Zey. Maaf karena aku tidak menemanimu di saat kau sedang membutuhkanku. Maaf, Zeyra. Sungguh, aku minta maaf. Tapi aku berjanji, mulai saat ini aku akan selalu ada untukmu. Maka dari itu, jangan pernah berniat untuk meninggalkanku."

Alesa takut kehilangan sahabat terbaik seperti Zeyra.

***

Krak

"Aghhhh!"

Krak

"Arghhh! Ampun!"

Suara jeritan kesakitan seseorang yang menggema di ruangan minim pencahayaan itu membuat beberapa orang yang berada dalam satu ruangan bergidik ketakutan.

Keringat dingin membasahi kening mereka, tubuhnya menggigil. Dalam suasana hening dan hanya terdengar rintihan kesakitan itu membuat mereka tidak berani sedikitpun mengeluarkan suara.

Masing-masing dari mereka saling berdo'a dalam hati agar tuannya mengampuni mereka. Namun, sepertinya hal itu sia-sia.

Bruk!

Dalam kegelapan, wajah sosok itu terlihat samar. Ada seringai tipis di sudut bibirnya. Sebelah tangannya terangkat, memberi kode kepada salah satu diantara mereka untuk maju. Pupil mata mereka bergetar ketakutan. Mereka serentak sujud di hadapan sosok itu.

"Ampun, Tuan Muda. Kami telah lalai menjalankan perintah Anda. Mohon ampuni kami."

Hening.

Tak mendapat jawaban dari tuannya, mereka yang tengah bersujud, gemetaran bukan main. Ditambah suara langkah kaki yang mendekat. Napas mereka tercekat. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka yakin, tuannya itu tidak akan mungkin berbelas kasih pada seseorang yang tidak becus dalam menjalankan perintahnya.

"Hm. Bagus. Kalian melanggar perintahku."

Grep!

"Aakkk!"

Mereka tak berani untuk sekedar melirik rekan kerjanya yang kini tengah dicengkeram oleh tuan mudanya, Geogra.

Laki-laki itu memegangi kepala orang suruhannya. Lantas dalam sekali gerakan, ia memelintir kepala itu tanpa belas kasih. Suara jerit kesakitan kembali terdengar.

Setelah itu, ia membiarkannya tergelatak tak berdaya. Kemudian tatapannya beralih pada mangsa selanjutnya. Dia terus melakukan itu. Melampiaskan segala emosinya pada mereka semua.

"Jangan harap aku akan mengampuni kalian."

"Tidak becus!"

"Sialan!"

Dug!

Brak!

"Arghhhhhh!"

Semuanya dari mereka telah ambruk tepat di bawah kaki Geogra. Laki-laki itu menepuk telapak tangannya sembari tersenyum tipis. Sudah lama sekali ia tidak melakukan permainan menyenangkan ini.

"T-tuan."

Geogra menoleh, dia menyeringai. Diantara mereka yang sudah tergeletak tak berdaya, kini hanya tersisa satu. Orang itu memundurkan langkah ketakutan. Tubuhnya gemetar hebat.

"Kau ingin seperti mereka atau langsung kuhabisi?" tawar Geogra, nada suaranya terdengar ramah namun menyeramkan bagi orang itu.

"M-maafkan saya, Tuan Muda. Ampuni saya. I-istri s-saya sedang m-menunggu di rumah. S-saya—Ahkkk!"

"Apa wajahku terlihat peduli?" ucap Geogra, sedikit berbisik.

"T-tuan... Uhukk!"

"Geogra!"

Panggilan seseorang dari arah pintu mengalihkan atensi Geogra. Orang yang tengah ia cekik terjatuh begitu saja sembari terbatuk-batuk.

"Pergilah. Bawa Zeyraku kembali atau kalian semua akan aku lenyapkan," ucap Geogra, tegas. Sontak mereka langsung mengangguk mengerti kemudian dengan tertatih meninggalkan tempat itu.

Naden, laki-laki itu datang. Dia berlari dengan sedikit ngos-ngosan.

"Kau menggangguku sialan!" Geogra berdecak seraya menoyor kening Naden dengan keras.

Naden mengaduh lantas mengumpat pelan. "Ah, sial!"

"Aku datang membawa informasi penting untukmu. Kau malah memukul keningku, sial. Ini sakit sekali," lirih Naden, mengusap-usap keningnya.

"Katakan. Jika hanya omong kosong, aku akan menghabisimu."

"Ck, ini tentang gadis itu."

Rahang Geogra mengeras. Kedua tangannya terkepal. Dia menarik kerah kemeja Naden. Netra gelapnya menyorot tajam. "Katakan."

"Keberadaan gadis itu telah ditemukan."

***
To be continue

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya 💐

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 277K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
27K 4K 17
CLEAR☑️ AU (alternate universe) Joohyun sebagai ibu tunggal. Seulgi kembali ke dalam hidup Joohyun setelah 10 tahun pergi. Apa yang mereka inginkan...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.1M 289K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.3M 71.5K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...