DARENZA [END]

By __akusa

13.2K 2.9K 754

*DARENZA RIGO - SAVIZA EVELYN* "Vi tatap mata gue!" titah Darenza karena sedari tadi Vi terus menunduk. "Apa... More

satu. (DARENZA)
dua. (DARENZA)
tiga. (DARENZA)
empat. (DARENZA)
lima. (DARENZA)
CAST
enam. (DARENZA)
tujuh. (DARENZA)
delapan. (DARENZA)
sembilan. (DARENZA)
sepuluh. (DARENZA)
sebelas. (DARENZA)
dua belas. (DARENZA)
tiga belas. (DARENZA)
empat belas. (DARENZA)
lima belas. (DARENZA)
enam belas. (DARENZA)
tujuh belas. (DARENZA)
delapan belas. (DARENZA)
sembilan belas. (DARENZA)
dua puluh. (DARENZA)
dua puluh satu. (DARENZA)
dua puluh dua. (DARENZA)
dua puluh tiga. (DARENZA)
dua puluh empat. (DARENZA)
dua puluh lima. (DARENZA)
dua puluh enam. (DARENZA)
dua puluh tujuh. (DARENZA)
dua puluh delapan. (DARENZA)
dua puluh sembilan. (DARENZA)
tiga puluh. (DARENZA)
tiga puluh satu. (DARENZA)
tiga puluh dua. (DARENZA)
tiga puluh tiga. (DARENZA)
tiga puluh empat. (DARENZA)
tiga puluh lima. (DARENZA)
tiga puluh enam. (DARENZA)
tiga puluh tujuh. (DARENZA)
tiga puluh delapan. (DARENZA)
tiga puluh sembilan. (DARENZA)
empat puluh. (DARENZA)
empat puluh satu. (DARENZA)
empat puluh dua. (DARENZA)
empat puluh tiga. (DARENZA)
empat puluh empat. (DARENZA)
empat puluh lima. (DARENZA)
empat puluh enam. (DARENZA)
empat puluh tujuh. (DARENZA)
empat puluh delapan. (DARENZA)
empat puluh sembilan. (DARENZA)
lima puluh. (DARENZA)
lima puluh satu. (DARENZA)
lima puluh dua. (DARENZA)
lima puluh tiga. (DARENZA)
lima puluh empat. (DARENZA)
lima puluh enam. (DARENZA)
lima puluh tujuh. (DARENZA)
lima puluh delapan. (DARENZA)
lima puluh sembilan. (DARENZA)
enam puluh. (END DARENZA)
EXTRA PART

lima puluh lima. (DARENZA)

76 7 0
By __akusa

*
*
*

“Terus Vi bilang, cuma orang itu yang belum Adit selidikin,”

Vi paham sekarang. Ke mana arah pembicaraan Darenza tertuju.

“Siapa sih Dar?” tanya Mahesa geregetan.

“Orang yang gua maksud dari tadi tuh si Monica.”

“HAH?” Semua orang melongo mendengar penuturan Darenza tentang Monica.

“Lo nuduh Monica?” tanya Bondan akhirnya.

“Nggak nuduh sih, 'kan belum ada bukti. Cuma curiga aja,” sahut Darenza.

Atensi Mahesa terfokus ke satu orang. Seseorang itu sadar ditatap Mahesa, ia menangkap jelas dari sudut matanya. Gugup menguasai, ia meremas kedua tangannya.

“Lis?”

“Ah?”

“Lo ... serius gak tau?”

“Ngomong apaan sih lo?” Elis tak mengerti.

“Muka lo sendiri yang nunjukin, lo nyembunyiin sesuatu?” tanya Mahesa dengan tatapan intensnya.

“Emang wajah gue kenapa?” Elis bertanya balik.

“Kalo gak ada apa-apa, mata lu gak usah bergerak panik gitu kali.” Mahesa tersenyum miring.

“Sa? Lu mojokin Elis nih ceritanya?” tanya Bondan tersirat nada tak suka di dalamnya.

“Gak gitu. Tapi logika aja. Elis 'kan dulu dempet banget sama si Monica,” sinis Mahesa, “masa iya dia gak tau apa-apa. Kedengarannya mustahil banget.”

“Tapi cara lu ngomong bisa biasa aja 'kan? Gak usah nyolot gitu,” ucap Bondan.

“Biasa kok gue. Lu aja yang sensian,”

“Kok jadi kek ngajak ribut lo ya?” Bondan sudah mulai terpancing amarahnya.

Elis yang mengamati kedua temannya adu mulut, jadi bingung. Apa saat ini waktu yang tepat ia jujur ke semua orang? Di saat ramai seperti ini, pasti banyak yang bersuara nanti. Tanggapan mereka pasti berbeda-beda. Apa dirinya tidak akan terjerat oleh perbuatan kriminal Monica?

“Dih--”

“Stop!”

Ucapan Mahesa yang ingin membalas perkataan Bondan, terhenti saat Elis melerai keduanya.

“Gu-gua jelasin tapi janji dulu,” ucap Elis meminta syarat.

Anything for you,” balas Darenza.

“Gua serius Dar. Kalian mau janji gak?”

“Gua juga serius.” Darenza menegaskan.

“Yang lain?”

“Lo jelasin dulu. Sisanya tergantung apa yang mau lo ucap,” kata Vi.

Elis menghela napas. “Padahal gua cuma minta jangan jauhin gue setelah ini. Ya walaupun gua yakin kalian pasti benci,” gumam Elis. Entah terdengar oleh teman-temannya atau tidak.

Elis menegakkan badannya, menarik napas kuat-kuat, dan diembuskan perlahan. “Jadi, Darenza masuk ICU gara-gara Monica.”

“Pasang tuh kuping lo.” Mahesa melirik sinis ke Bondan.

“Monica bilang kalau gak bisa milikin Darenza, mending Darenza mati aja.” Elis menunduk. Kenapa rasanya sesak sekali mengucapkan kalimat itu.

“Dan dengan begonya lo nurutin kemauan Monica?” Mahesa memandang remeh ke arah Elis.

“Gue gak segila itu. Emang udah lama gua suka sama Darenza—”

Vi memalingkan wajah saat Elis mengungkapkan perasaannya. Entah kenapa ada yang mengganjal di hatinya. Terselip rasa tak suka.

“—tapi pikiran gua masih normal untuk gak ngebunuh orang. Monica terobsesi banget sama Darenza. Dia maksa gue buat ikutin rencananya. Gua gak bisa apa-apa jujur pas Monica maksa. Dia punya suntikan berisi cairan yang gua sendiri gak tau itu cairan apa karena dia gak mau ngasih tau. Dan setelah itu Monica suntikin cairan yang dia punya ke cairan infus Darenza,” jelas Elis.

“Abis itu kalian tau 'kan? Darenza langsung kejang-kejang.” Kali ini Elis tertunduk dalam. Ia menangis dalam diam. Hatinya sesak saat menyadari kebodohannya. Demi perasaan, rela mengkhianati persahabatan.

MEBDA dibentuk sudah lama dan lima orang di dalamnya benar-benar sudah seperti keluarga kandung. Saling support satu sama lain. Dan rumit memang, jika perasaan sudah ikut andil dalam persahabatan. Tidak ada yang bisa menyangka, pecah hanya karena sebuah perasaan suka.

“Hei?” Darenza mengangkat dagu Elis. “Kok nangis?” Terlihat jelas mata Elis yang sembab, bahkan air matanya masih mengalir melewati pipi.

“Maafin gue,” pinta Elis sedikit memohon.

Darenza menarik Elis ke pelukannya. Elis yang mendapat perlakuan hangat itu, ia membalas pelukan Darenza. Dan tambah menangis kencang di bahu Darenza.

“Udah jangan nangis lagi.” Darenza melepaskan pelukan keduanya saat dirasa Elis sudah tenang.

Elis mengusap kasar air matanya yang tersisa di pipi. Ia menghadap ke teman-temannya kembali. “Gua minta maaf. Karena gak bisa cegah aksi Monica waktu itu, jadi bikin Darenza masuk ICU dan ngebuat lo semua khawatir.”

“Gua dimaafin?” tanya Elis memandang teman-temannya.

“Dimaafin lah. Lu gak salah,” ucap Adit.

“Mahesa?” panggil Elis ragu-ragu.

“Sini lo.” Mahesa malah menyuruh Elis menghampirinya. Dan Elis menuruti saja.

Saat keduanya sudah berhadapan, Mahesa memiting leher Elis di keteknya. Elis tentu saja teriak meminta tolong dan merasa kegelian sebab Mahesa yang menggelitiki lehernya.

“Ya kali temen gue yang paling cantik ini gak gue maafin.” Mahesa melepaskan Elis dari keteknya.

“Tadi gaya bicara lo kayak marah pas ngomong sama gue.” Elis cemberut seraya merapikan rambutnya.

“Kalo gak gitu, lu gak jujur-jujur ke kita,”

“Jadi sebenernya lu udah tau?”

Mahesa menggeleng. “Nebak aja.”

“Tapi orang yang nusuk Darenza di pinggir jalan lu tau siapa?”

Dengan memajukan bibir dan menyipitkan mata, Elis menggeleng. “Suer, gak tau gue.”

“Dit? Lo suruh semua anak buah lo selidikin Monica. Gua punya firasat buruk soalnya. Dia sekelas sama gua sekaligus chairmate gua, tapi semenjak keluar dari rumah sakit dan gua balik lagi ke sekolah, gua udah gak pernah liat dia lagi,” jelas Darenza.

“Lo tenang aja. Biar gue sama Alex yang urus,” kata Adit.

🔥🔥🔥

Setelah kejadian di mana pengakuan Elis soal aksi kriminal Monica, kini semuanya kembali biasa saja. Mereka kembali asik dengan aktivitasnya masing-masing. Seolah-olah melupakan suasana tegang beberapa waktu sebelumnya.

Kegiatan Lana, sedang bersandar di badan sofa seraya menonton film di ponselnya. Sedang asik, tiba-tiba saja ada telepon masuk. Padahal cerita dalam film yang ditontonnya sedang memasuki konflik besar, terpaksa harus ia pause.

Kalau panggilan ini tidak diangkat, terancam sudah uang jajan tambahannya. Yang menelepon adalah Abangnya. Segera, perempuan itu menjauh dari teman-temannya.

Tak lama, Lana kembali lagi berkumpul bersama teman-temannya.

Sorry nih guys.” Lana membuka pembicaraan.

“Kenapa?” tanya Darenza.

“Tadi Abang gue telepon katanya mau ke apartemen gue sekarang. Jadi sorry ya gua gak bisa ikut nginep di sini. Gua harus balik,” ucap Lana tak enak.

“Punya Abang lu? Baru tau gua,” ujar Mahesa.

“Punya. Jadi, bonyok sama Adek gue tinggal di Jogja. Gua di sini sama Abang gua. Tapi karena dia udah nikah, ya gua gak mau ngerepotin aja. Tinggal di apartemen sendiri asik juga,” imbuh Lana.

“Oh gitu.” Mahesa mengangguk paham.

“Ngomong-ngomong soal Jogja, yang gue denger sih sekarang cabang kafe lo di sana lagi ramai-ramainya ya.” Lana tersenyum menatap Darenza sambil melipat tangan.

“Kok lu tau? Ini gua cerita aja ya, kafe di Jogja 'kan cabang, bukan center kayak di Bandung, tapi kenapa di Jogja membludak banget?” Darenza sendiri pun terlihat heran.

“Sungkem sini lu sama gue,” ucap Lana.

“Maksud lu?” tanya Darenza.

“Gua sih yakin ya, kafe lu di Jogja penuh gara-gara ulah Adek gue. Eh, karena gue sih yang mulai duluan,”

“Apaan sih? Gak ngerti,” cetus Darenza.

“Gua bilang ke Adek gue kalo tuh kafe punya temen SMA gua. Dia gak percaya gitu aja dong. Nah, yaudah gua kasih liat foto kita berdua make baju SMA. Terus Adek gua percaya. Dan jadinya dia pamer ke temen-temen sekolahnya, terus karena kepo, pada dateng mereka ke kafe lu dan gak sedikit juga yang neror Adek gue buat nitipin salam ke gue buat disampein ke lo,”

“Adek gue juga 'kan gaul ya. Dia temenan tuh sama tetangga yang anak SMA. Siska namanya. Adek gue bilang si Siska suka banget liatin foto lu yang ada di stand banner, kayaknya dia tertarik sama lu. Si Siska lumayan sih, lu mau liat fotonya? Kali lu minat. Adek gue pernah ngirim fotonya nih, sebentar,”

Lana membuka galeri fotonya dan menemukan foto Siska di salah satu album. Ia mengklik foto itu dan dipamerkan ke Darenza.

Tidak hanya Darenza yang melihat, ada pasang mata yang juga ikut melirik dan bergumam, “biasa aja. Menang make-up doang.”

“Cantik gak?” tanya Lana ke Darenza.

“Cantik. Tapi mukanya ngebosenin,” ucap Darenza jujur.

“Oh ya lagi nih, ngomong-ngomong soal bisnis, jualan online Vi juga lagi rame banget yang order loh. Strawberry cheesecake yang udah banjir orderan, terus si Vi ada jualan bakso goreng pedas alias basreng yang ternyata rame orderan juga,” jelas Lana.

“Wah gila sih. Darenza sama Vi bener-bener ya. Pasangan si paling bisnis. Cocok banget deh. Gua sih ngebayangin aja ya kalo mereka berdua nikah, apa anaknya lahir gak langsung jadi crazy rich tuh?”

Vi memutar bola matanya malas. Setelah sebelumnya Lana seperti menjodohkan Darenza dengan yang namanya Siska, kini malah memuji Darenza bersama dirinya yang seolah-olah akan bersama. Dasar Lana si labil.

“Pasangan? Gua gak pacaran sama Darenza.” Vi berkata ketus sekaligus mimik wajahnya yang berubah datar.

“Udah Lan, daripada lu banyak cerita jadi gak pulang-pulang, mending ayo pulang sekarang. Sorry ya, kayaknya gua juga gak bisa ikut nginep sekarang. Perut gua masih kerasa sakit.” Vi berkata demikian, lalu mengucap terima kasih kepada Elis atas masakan enaknya tadi, dan abis itu ia menarik tangan Lana keluar dari apartemen Elis.

🔥🔥🔥

Adit menyusuri lorong kelas IPA dengan membawa tentengan di tangan kanannya. Langkah kakinya ingin menuju kelas di mana Darenza berada.

Bel istirahat sudah berbunyi lima belas menit yang lalu. Tapi, Darenza tak kunjung kelihatan batang hidungnya di kantin.

Meja kantin yang biasanya mereka isi, hanya terlihat Lana dan Gemi. Adit menanyakan kabar Darenza kepada mereka malah dijawab gelengan kepala.

Jadinya Adit berinisiatif mencari. Dimulai dari taman belakang ia susuri, tidak ditemukan keberadaan Darenza, lalu ke rooftop juga tidak ada, dan berakhir di sini—kelas XI IPA 5.

“Gua cariin ke sana kemari taunya di sini.” Adit meletakkan tentengan yang ia bawa ke meja di sebelah Darenza.

Tidur Darenza terusik, ia yang sedang enak menjadikan kedua lipatan tangan untuk bantal dan menelungkupkan kepalanya di sana, terpaksa harus mengangkat kepalanya.

Darenza menyipit menatap lawan bicara yang duduk di depannya. Tangannya mengucek mata untuk memperjelas pengelihatannya.

“Sakit?” Suara yang terlontar dari Adit.

Darenza menggeleng. “Nggak.”

“Ngapain diem di kelas pas jam istirahat? Mau jadi penunggu kelas sendirian aja di sini?” kata Adit.

“Vi gak masuk ya?” Darenza bukannya menjawab pertanyaan Adit malah melontarkan pertanyaan balik.

“Iya. Vi sakit kata Lana,” papar Adit.

“Chat sama telepon gua gak ada yang di respons Dit dari kemaren sama Vi. Kata lu kenapa ya?”

“Oke, baik. Sesi curhat dibuka.” Adit memajukan bangku supaya lebih dekat, ia memposisikan duduknya lebih nyaman, dan terakhir menopang dagu di atas meja.

Darenza berdecak. Adit alay mode on. Tapi, ia sedang butuh teman curhat sekarang. Jadi, tak apa lah.

“Emang lu lagi berantem sama Vi?” Adit memulai mode seriusnya sekarang.

“Berantem dari mana? Gua baik-baik aja sama dia,” sahut Darenza.

“Terus kenapa gak di respons ya?” Adit juga ikut bingung. “Coba deh inget-inget, ada sikap atau omongan lu yang tanpa sadar udah nyakitin Vi mungkin?”

Darenza merenung. Matanya terfokus ke papan tulis, namun pikirannya melayang ke beberapa hari kemarin.

“Sebenernya dari yang kita ke apartemen Elis, Vi rada jutek gitu sih sama gue. Gak tau kenapa, gua juga bingung apa sebabnya,” ungkap Darenza.

“Sebelom kejadian di apartemen Elis, lo ngapain aja sama Vi?” tanya Adit.

“Gua baik-baik aja sama dia. Bahkan kita sempet seneng-seneng. Gue ajak jalan dia ke Tangerang, terus ...”

“Terus?” Adit penasaran dengan ucapan Darenza yang menggantung.

“Masa iya sih Dit?” Darenza menatap Adit dengan wajah bingungnya.

Adit malah tambah bingung karena Darenza tidak berbicara dengan gamblang.

“Iya apa anjir?” seru Adit.

“Inget gak lo sebelum kita ke apartemen Elis terus yang gua ajak Vi duel Ludo pake tantangan?”

Adit mencoba mengingat-ingat, beberapa detik, kepalanya mengangguk, tapi kurang yakin. “Lupa-lupa inget sih.”

“Nih jadi 'kan waktu itu gua ajakin Vi duel Ludo, terus tantangannya tuh gini kalo misalkan gua yang kalah, gua siap jadi bodyguard dia, tapi kalo misalkan dia yang kalah, gua minta dia buat jadi pacar gua,”

“Oh yang itu. Iya gua inget!” cetus Adit, “terus masalahnya?”

“Padahal sebelumnya gua nanya ke dia tentang hari ini udah suka belom sama gue? Jadi, kalo udah biar langsung gua tembak. Dan reaksi dia biasa aja kek gak ada penolakan gitu. Masa iya pas gua nembak dia beneran malah dia yang marah sih?” Darenza mengacak rambutnya frustasi.

Darenza mengembuskan napasnya kasar. “Gua bingung Dit. Vi itu suka gak sih sama gua? Apa selama ini dia deket-deket sama gua cuma karena kasian?”

“Kasian sebab gue yang ngejar dia udah lama.” Bahu Darenza merosot. Raut wajahnya berubah kecut. “Masa demi dapet perhatian dan biar Vi selalu ada di deket gue, harus masuk rumah sakit dan terbaring di brankar dulu sih gue?”  

“Gak gitu konsepnya goblok.” Adit menoyor kepala Darenza.

“Lagian nih kalo misalkan reaksi dia kelihatan marah waktu lo ajak dia duel Ludo berkedok nembak, ya wajar sih kata gue,” ungkap Adit.

“Lu yang modalan dikit lah bro.” Adit menepuk bahu Darenza. “Masa mau nembak cewek modal tantangan receh begitu. Gak romantis banget sih lo jadi cowok,”

Adit mencoba memberi pengertian kepada sahabat lemotnya ini. Harus sabar memang menghadapi orang yang lagi dimabuk asmara. Yang basicnya memang pintar, tapi kalau sudah menyangkut soal perasaan, terkadang bisa membuat seseorang jadi keliatan bego dan seolah-olah otaknya tidak bekerja.

“Lu 'kan kaya ya Dar. Coba lu ajak Vi ke tempat private apa kek gitu. Yang romantis tapi. Catet tuh. Terus lu berdua omongin kisah-kisah manis yang udah kalian jalanin apa aja, tapi bahasnya biasa aja jangan over. Nah nanti kalau suasananya mendukung, lu bahas hal sweet, dia bakal ikutan baper, nah itu puncaknya!” seru Adit.

“Apa?” Darenza menggaruk alisnya karena tak paham.

“Ya lu tembak dia lah goblok. Di jamin seratus persen lu bakal diterima sama dia. Yakin gua,” ucap Adit menggebu-gebu.

“Beneran?” tanya Darenza dengan tampang polosnya.

“Bener!” Adit meyakinkan.

“Yaudah,”

“Gak perlu gua ajarin 'kan cara nembaknya?” Adit tersenyum remeh.

Darenza menatap sinis. “Gimana bisa? Lu pernah pacaran aja nggak. Udah gak usah ngadi-ngadi. Gua bisa sendiri itu mah.”

“Ngeremehin gua banget lo. Gini-gini juga gua ahli tau,” ujar Adit.

Darenza mengangkat bahunya. Ia membuka tentengan yang Adit bawa tadi. Ternyata terdapat dimsum dan jus mangga. Langsung saja Darenza melahapnya. “Makasih btw. Untuk ini dan sesi curcolnya.”

“Santai. Udah makan yang banyak, ntar lo sakit, gua juga yang repot ngurus kafe lo,” tutur Adit.

“Kayaknya akhir bulan gua harus naikin gaji lo. Itung-itung bayaran selama gua ada di rumah sakit. Pasti lo keteteran 'kan?” ucap Darenza.

“Ya emang harus. Baru sadar lo?” Adit menyipitkan matanya.

“Iya udah sih santai.” Darenza yang lagi mengunyah dimsum, terkekeh geli.

“Hm..”

“Btw, gua kok tiba-tiba kangen ya sama Bunda lo,” celetuk Darenza.

“Dateng aja ke rumah. Pas gua kabarin kalo lo dirawat di rumah sakit aja Bunda gue khawatir banget, tapi 'kan gak bisa jenguk. Dia juga kangen sama lo, Dar,” ungkap Adit.

****

Eyyo!

Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ya gais!💖

-see u😙

Continue Reading

You'll Also Like

8.4K 1.2K 42
Original Title: 女配不想讓主角分手[穿書] Indonesian title: Peran pendukung wanita tidak ingin protagonis putus [Pakai buku] Pengarang: Lacquer Hitomi [漆瞳] Jenis...
2.7M 153K 39
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...
31.8K 821 58
AIDEN ALEXANDER seorang yang kejam, ganas, dan dingin. Ia memiliki wajah tampan, cool yang di idamkan oleh kaum hawa. Bukan hanya itu, aiden adalah...
198K 22.8K 36
Kisah singkat tentang Mars dan kedua adik kembar nya. "MALS, HAKA AMBIL CUCU PUNYA NAKA!! " "INI PUNYA HAKA!! " "Nyusahin aja nih bocil" - - - - Cer...