Virtualzone [COMPLETED]

By renaislaminrazizah

29.3K 3.2K 4K

[Hak Cipta dilindungi Allah] . Untuk yang selalu menunggu kabar melalui notifikasi Untuk yang sedang bertema... More

Trailer dan Visual
Virtualzone - Chapter 1
Virtualzone - Chapter 2
Virtualzone - Chapter 3
Virtualzone - Chapter 4
Virtualzone - Chapter 5
Virtualzone - Chapter 6
Virtualzone - Chapter 7
Virtualzone - Chapter 8
Virtualzone - Chapter 9
Virtualzone - Chapter 10 + Tailer Baru
Virtualzone - Chapter 11
Virtualzone - Chapter 12
Virtualzone - Chapter 13
Virtualzone - Chapter 14
Virtualzone - Chaper 15
Virtualzone - Chapter 16
Virtualzone - Chapter 17
Virtualzone - Chapter 18
Virtualzone - Chapter 19
Virtualzone - Chapter 20
Virtualzone - Chapter 21
Virtualzone - Chapter 22
Virtualzone - Chapter 23
Virtualzone - Chapter 24
Virtualzone - Chapter 25
Virtualzone - Chapter 26
Virtualzone - Chapter 27
Virtualzone - Chapter 28
Virtualzone - Chapter 29
Virtualzone - Chapter 30
Virtualzone - Chapter 31
Virtualzone - Chapter 32
Virtualzone - Chapter 33
Virtualzone - Chapter 34
Virtualzone - Chapter 35
Virtualzone - Chapter 36
Virtualzone - Chapter 37
Virtualzone - Chapter 38
Virtualzone- Chapter 39
Virtualzone - Chapter 40
Virtualzone - Chapter 41
Virtualzone - Chapter 42
Virtualzone - Chapter 43
Virtualzone - Chapter 44
EXTRA CHAPTER
BONUS CHAPTER
AU VIRTUALZONE

Virtualzone - Chapter 45

635 46 42
By renaislaminrazizah

Ini pertemuan terakhir sama mereka, guys. Gimana perasaan kalian?

Langsung aja, ya. Tapi sebelumnya jangan lupa tinggalkan jejak kalian di cerita ini.

Enjoy 💜

Seperti janjinya pada Bara kemarin, sepulang sekolah Rayya kembali mengunjungi rumah sakit bersama Raga. Selama beberapa hari ke depan mungkin dia akan menambahkan hal ini ke dalam salah satu agendanya. Di sepanjang jalan menuju rumah sakit tidak ada yang membuka obrolan sama sekali. Dugaan Gita memang benar. Sejak mendengar keputusan Raga yang ingin mendonorkan hatinya pada Bara, sikap Rayya sedikit berubah pada Raga. Dia memberi jarak dengan mengurangi intensitas obrolan di antara mereka.

Jika ditanya bagaimana perasaannya pada dua laki-laki yang sekarang sedang dekat dengan dirinya, Rayya sendiri bingung. Dia tidak ingin kehilangan mereka berdua. Itu sebabnya Rayya kesal pada Raga. Biarkan orang lain menganggapnya egois, tapi itu yang dia rasakan. Namun, di saat seperti ini Rayya tidak melupakan biasnya di NCT. Sebelum tidur malam tadi, gadis ini menyempatkan untuk mengirim pesan melalui DM Instagram pada Jaehyun. Dia mencurahkan isi hatinya pada sang idola, meskipun tahu tidak akan pernah mendapat balasan.

Tujuh meter menuju pintu IGD yang Bara tempati, mereka berpapasan dengan ayah Rayya yang akan pergi ke ICU untuk melihat pasiennya yang beberapa jam lalu baru selesai operasi. Rayya memanggil sang ayah karena kemarin beliau tidak pulang ke rumah, sedangkan Raga pamit pergi ketika mendengar Rayya ingin bertanya sesuatu pada ayahnya.

"Ayah pasti udah tau kalo Bara sakit, tapi kenapa nggak bilang sama Rayya?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Awalnya Raga yang ngelarang ayah buat ngomong sama kamu, terus pas Bara udah siuman dia juga bilang hal yang sama. Tanpa ayah kasih tau, kamu juga sekarang ada di sini," papar tenang.

"Jadi ini alasan ayah nggak marah waktu kita ngomongin Bara malem itu?"

"Kamu tau jawabannya." Beliau mengusap puncak kepala putrinya pelan. "Semoga kita secepatnya dapet kabar soal donor hati buat Bara."

"Amin," sahut Rayya.

"Jadi cowok yang bikin kamu senyum-senyum waktu dianterin ayah ke sekolah itu Bara?" Senyuman terbit di bibir sang ayah melihat kegelisahan yang tersirat di wajah cantik putri semata wayangnya.

"Ayah apaan, sih." Air muka Rayya berubah seketika. Dia memutuskan kontak mata dengan ayahnya dan melihat ke arah yang lain dengan gestur tubuh yang mulai tidak tenang. Jelas sekali memperlihatkan jika dirinya salah tingkah.

"Jawabannya iya atau nggak. Bukan apaan, sih."

"Ish, Ayah. Udah, ah, Rayya mau liat Bara dulu."

"Kalo nanti mau pulang telepon ayah aja. Jangan ngerepotin Raga," pintanya memperingati sang anak.

"Eh, ayah loh yang bilang kalo Raga nggak bakal ngerasa direpotin sama Rayya."

"Sekarang, kan, kondisinya beda."

"Jadi ayah restuin Rayya sama siapa?" Pertanyaan itu terlontar tanpa aba-aba. Spontan Rayya menutup mulutnya ketika sadar.

Menyadari pertanyaan putrinya, kening beliau berkerut beberapa saat. "Liat aja nanti siapa yang minta izin duluan ke rumah," jawabnya enteng.

"Siap kalo gitu. Nanti Rayya suruh Jaehyun duluan yang dateng menghadap ayah." Rayya berdiri tegak dan menyahuti jawaban sang ayah dengan tegas untuk menutupi rasa paniknya.

Sang ayah tersenyum dan menggeleng kecil mendengar respons yang Rayya berikan. Nama itu selalu terselip dipikiran Rayya. "Jaehyun terus kamu, tuh."

***

Baru saja tangannya terangkat untuk menyetuh daun pintu, tetapi pintu itu sudah dibuka dari dalam. Muncul seorang dokter dan perawat di balik pintu itu. Rayya mundur beberapa langkah dan membalas senyum mereka kemudian masuk ke dalam setelah mereka berlalu. Matanya menangkap raut senang di wajah kedua laki-laki yang belum menyadari kehadirannya.

"Ada kabar bahagia apa, nih? Auranya kok seneng banget." Rayya bertanya sambil berjalan mendekati ranjang tempat tidur Bara.

Refleks dua kakak-adik itu menoleh pada sumber suara. "Barusan dokter abis lihat kondisi gue, terus ngasih tau kalo gue udah dapet donor yang cocok."

Mata Rayya membulat tidak percaya dengan informasi yang masuk ke telinga. Spontan Rayya menghadap kemudian memeluk laki-laki yang berdiri di sampingnya untuk menyalurkan rasa senang yang menyelimuti hatinya pada Raga. sedangkan yang dipeluk mematung kaget.

"Gue yang dapet donor, kok Raga yang dapet peluk?" protes Bara melihat adegan tersebut tepat di depan matanya. Dia berdecak dan memasang raut kesal. "Tiba-tiba gerah banget ruangan ini." Bara menyerukan sindiran untuk menyadarkan satu-satunya gadis di ruangan ini.

Sadar apa yang dilakukannya salah, Rayya melepas pelukan itu dan tersenyum canggung menatap Raga. Dia mengalihkan pandangan pada Bara. "Lo serius, kan?" tanyanya memastikan jika dia tidak salah dengar.

"Iya, tapi Bara harus ke Cina karena donornya ada di sana." Suara Raga membuat Rayya menoleh lagi pada sahabatnya.

"Jauh banget," keluhnya setelah mendengar ucapan Raga, "tapi nggak apa-apa, deh. Asal lo bisa sehat lagi. Jadi janji, ya, lo harus pulang dengan selamat dan sehat."

Raga menoleh pada Rayya dan berujar. "Gue keluar sebentar. Mau ke kantin. Ada yang mau dititip, Ra?"

Rayya menggeleng pelan. Raga beranjak keluar IGD membiarkan dua orang terdekatnya membicarakan apa yang ingin mereka bicarakan. Sementara di dalam IGD, Rayya duduk di kursi yang kemarin ia duduki. Senyum itu tidak hilang dari bibirnya. Namun, tiba-tiba di kepalanya muncul satu pertanyaan.

"Cewek yang dijodohin sama lo udah tau kondisi lo sekarang?" Hati Rayya meringis. Mengingat Bara sudah mempunyai seseorang yang dijodohkan dengannya, tidak wajar jika sikap Rayya seperti ini. Namun, ada sesuatu yang menahan Rayya untuk bersikap tak acuh melihat kondisi laki-laki di hadapannya.

"Dia ada di sini, kok."

Rayya menoleh ke segala penjuru untuk menemukan perempuan itu, tapi tidak melihat siapapun selain mereka berdua. "Di ... ruangan ini?"

"Iya."

Mimik wajah Rayya seketika berubah sedikit menegang. Sekali lagi dia menoleh untuk memastikan. "Dia ngumpet?"

Bara tergelak mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Rayya. "Iya, biar nggak keliatan sama lo, katanya."

"Eh? Kalo gitu gue keluar, ya. Nggak enak sama cewek lo." Baru saja dia beranjak, tetapi Bara mencegahnya. Jadi terpaksa Rayya duduk lagi dengan perasaan tidak menentu.

"Duduk dulu. Biar gue kasih tau," ujarnya, "jadi sebenernya yang dijodohin sama gue itu penyakit ini."

"Hah?" Rayya mengernyit. Dia mencoba memahami apa yang didengarnya. Tatapan tanya yang dilemparkan Rayya hanya dibalas senyuman oleh Bara. "Bentar, bentar, tapi waktu itu lo ngomongnya orang. Makanya gue ngira cewek," ucap Rayya ketika mulai mengerti apa yang dimaksud Bara.

"Gue juga manusia, bisa salah. Salah satunya ya ... salah ngomong," elak Bara. Mendapat tatapan sinis dari Rayya justru membuat Bara kembali membuka mulutnya dan berkata, "Lo waktu itu nangis pas gue bilang begiu. Berarti lo juga suka, ya, sama gue?" Dia menaik turunkan salah satu alisnya menggoda Rayya.

"Nggak usah geer!"

***

Berkali-kali Rayya menatap jam dinding yang ditempel di atas papan tulis dengan perasaan resah. Sepuluh menit menuju bel pulang rasanya sangat lama. Semalam Raga memberi tahunya jika Bara akan berangkat ke Cina untuk melakukan pengobatan di sana pukul 15.25, sedangkan jam pulang sekolah pukul 14.40. Waktu tempuh dari sekolah menuju bandar kurang lebih satu jam jika menggunakan sepeda motor. Bisa dipastikan Rayya akan terlambat.

Sebelumnya Rayya memutuskan untuk tidak sekolah atau izin di tengah-tengah pelajaran agar bisa mengantarkan Bara ke bandara. Namun, Bara melarangnya dengan alasan Raga juga akan tetap sekolah dan mereka bisa menyusul ke Bandara sepulang sekolah. Raga yang memperhatikan gestur tubuh Rayya dari belakang mengerti perasaan gadis itu karena dia juga merasakan hal yang sama.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya bunyi yang ditunggu-tunggu Rayya menyapa telinga. Dia bergegas membereskan semua alat perangnya dan segera menarik Raga untuk keluar dari area sekolah. Rayya memberhentikan satu unit taksi yang lewat di depan gerbang sekolah. Mereka segera naik dan memberitahukan tempat tujuan. Kabar baiknya jalanan sore ini cukup lenggang. Selama perjalanan Rayya berkali-kali menatap ponselnya untuk melihat jam yang tertera di layarnya.

"Pak, bisa agak cepat nggak? Kita lagi ngejar pesawat."

Raga meraih satu tangan gadis yang duduk dengan gelisah bahkan dia tidak menyandarkan punggungnya pada kursi penumpang. Tangan itu Raga simpan di atas pahanya dengan jari mereka yang saling bertaut. Berharap bisa menyalurkan rasa tenang. Mendapat perlakuan demikian, Rayya menoleh. Namun, Raga sama sekali tidak menatapnya. Pandangan laki-laki ini lurus memperhatikan jalanan di depan.

"Pak, tetep hati-hati, ya, nyetirnya." Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Raga.

Tiga puluh menit berlalu, mereka segera turun dari taksi. Namun, saat kaki mereka akan melangkah masuk ke dalam bandara, satu pesawat melintas di udara. Mata Rayya mengikuti arah terbang pesawat itu, begitu pula Raga. Rayya melihat jam di layar ponselnya yang menunjukkan pukul 15.30. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Saat itu juga Rayya menerima telepon dari Bintang.

"Kak, kalian di mana? Pesawatnya baru aja terbang." Ucapan Bintang tepat seperti dugaan Rayya.

"Kita baru aja sampe di bandara."

"Sori, Abang nggak bisa nunggu kalian. Tadi dia titip pesen, katanya bakal ngehubungin Kak Rayya kalo udah sampe sana."

"Iya."

"Kakak sama Kak Raga tunggu di situ. Bunda, Bintang sama Oma ke sana sekarang. Kita pulang bareng." Selepas mengatakan hal tersebut, Bintang mengakhiri teleponnya. Bara sekarang pergi sendiri, tetapi akan disusul papahnya ketika beliau menyelesaikan jadwal penerbangannya.

"Nggak apa-apa. Kita tunggu kabar baik dari Bara setelah dia sampe dan selesai operasi nanti," hibur Raga tanpa melepaskan genggaman tangan mereka sejak tadi.

***

Dua jam waktu yang Rayya habiskan untuk belajar malam ini. Namun, selama itu pula dirinya tidak fokus karena pikirannya ikut terbang bersama laki-laki yang tidak sempat dia temui hari ini. Mencoba menghubungi Raga untuk diajak belajar bersama, tetapi tidak ada balasan sama sekali. Akhirnya dia membuka YouTube dan menonton beberapa video NCT untuk mengalihkan pikirannya.

Tujuan Rayya keluar dari kamar adalah membasahi tenggorokannya yang mulai kering. Dia meneguk satu gelas penuh kemudian menyandarkan tubuhnya di samping kulkas. Mencoba menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan agar rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya berkurang. Rayya mengurungkan langkahnya untuk pergi ke kamar karena panggilan Bunda yang sedang menonton televisi.

"Ada ap-" Ucapannya terpotong begitu saja ketika melihat berita yang tampil di layar kaca. Dunia seakan menghentikan waktu perputarannya. Pandangannya mengabur ditambah dengan tubuhnya yang gemetar. Bunda menuntun Rayya untuk duduk di kursi.

Nggak mungkin. Tangannya sibuk mencari kontak Bara di ponsel dan mencoba menghubungi nomor tersebut. "Bara ayo angkat telepon gue. Gue yakin itu bukan pesawat lo. Bara, please, angkat telepon gue," gumamnya memohon dengan suara yang mulai bergetar. Berulang kali Rayya menghubungi Bara, tetapi nomor yang dihubungi selalu tidak aktif.

"Bara, janji lo bakal ngasih kabar kalo udah sampe, tapi kenapa malah kabar ini yang gue dapet? Lo ke sana buat operasi, bukan ninggalin gue tanpa pamit kayak gini." Racauan itu keluar dari mulut Rayya sambil memukuli kursi dengan kepalan tangannya.

"Sayang, kamu tenang." Sang bunda merengkuh badan putrinya yang gemetar mendengar kabar yang ditayangkan di televisi. Tangis Rayya pecah di pelukan sang bunda. Kepalanya memutar memori kenangan bersama laki-laki itu saat mereka pertama kali bertemu dan menghabiskan waktu bersama di pantai.

Bunda melepas pelukannya ketika mendengar suara pintu diketuk. Beliau meminta Rayya menunggu sebentar. Air matanya masih berderai, tatapannya kosong. Dia mengabaikan telepon dan pesan yang masuk ke dalam ponselnya.

"Ra." Panggilan itu membuat Rayya menoleh. Matanya mendapati Raga berdiri dengan jarak satu meter di sampingnya. Rayya berdiri dan berlari kepelukan sahabatnya untuk menumpahkan semua perasaan yang menyesaki dadanya. Raga membalas pelukan itu, dia mengusap lembut rambut Rayya. Satu nama yang langsung terlintas di benaknya ketika mendengar berita tersebut.

"Bara, Ga. Bara ...," gumam Rayya di sela-sela tangisnya. Raga mengangguk mengerti.

Tiba-tiba Rayya melepas pelukannya. Mata mereka beradu. "Ayo kita ke bandara," ajaknya.

"Udah malem, Ra. Besok, ya. Kita ke bandara besok," tolak Raga lembut.

"Sekarang aja, Ga."

Raga menggenggam kedua tangan Rayya dan menatapnya tulus. "Ada sesuatu dari Bara buat lo. Mau liat?" tawarnya dengan sudut bibir yang terangkat.

Melihat Rayya mengangguk, Raga menuntunnya untuk duduk diikuti oleh bunda di belakang yang memegang sebuah kotak berbentuk kubus. Setelah mereka duduk, Raga mengeluarkan ponselnya yang ada di saku hoddie-nya dan menunjukkan sesuatu. "Pulang dari Bandari tadi, gue tiba-tiba pengen ngedit video ini," tutur Raga sembari menyerahkan ponselnya pada Rayya.

"Halo, Ay. Nanti sore gue mau ke Jakarta. Gue pengen ngasih kejutan sama lo. Oh, iya, video ini gue bikin karena pengen cerita soal apa yang gue rasain selama ngobrol sama lo."

Di video ini Bara duduk di kursi. Dia mengenakan kaus berwarna putih yang dilapisi lagi dengan sweater berwarna hitam. "Lo masih inget malem itu? Malem pertama kali kita ketemu di aplikasi. Saat itu gue gabut, dan lagi nyari orang yang bisa diajak ngobrol. Pertama kali main, langsung ketemu sama lo. Kita match. Walaupun baru pertama kali ngobrol, nggak tau kenapa rasanya gue nyambung aja sama lo. Waktu itu gue sengaja ngakunya seumuran, biar lo nggak canggung dan manggil gue pake embel-embel Kak.

"Seiring berjalannya waktu, kita makin sering ngobrol, beberapa kali telepon dan video call. Hati gue yang awalnya gersang jadi subur karena tersiram sama candaan dan obrolan kita. Sampai akhirnya perasaan itu mulai tumbuh. Rasa penasaran terhadap apa yang lo tanyakan sama gue tentang bunda lo waktu itu terjawab. Walaupun gue nggak tau, gue doang yang ngerasain perasaan ini atau lo juga merasakan hal yang sama.

"Soal gue yang nggak ngasih kabar sama lo selama tiga hari itu sebenarnya bukan karena HP gue rusak, tapi gue takut lo menghindar setelah tau kalo gue penyakitan. Ceritanya sampe sini dulu, ya. HP gue udah lowbat. Nanti gue lanjut kalo nggak lupa.

"Halo, Ay. Gue balik lagi. Spot video kali ini berbeda. Ada Raga di belakang layar yang videoin gue. Sekarang lo udah tau apa yang gue alami. Lagi-lagi gue bohong sama lo soal penyakit ini. Gue nggak mau lo jadi kasihan sama gue. Seperti yang lo bilang, gue bisa bagi rasa sakit ini. Sayangnya gue nggak mau orang-orang di sekitar gue merasa iba atas apa yang menimpa gue."

"Video yang ini direkam malam kemarin. Dia tiba-tiba minta gue buat rekamin sekaligus nyuruh gue ngedit videonya juga. Mungkin dia udah dapet firasat buat hari ini," terang Raga.

"Ay, gue sangat berharap bisa ngomong langsung sama lo dan ngasih hadiah itu tanpa perantara siapapun, tapi kalo video ini sampe ke tangan lo ... artinya gue udah nggak bisa nemenin lo lagi. Jujur, gue iri sama Raga yang bisa kenal lo lebih lama dan bisa selalu ada di sisi lo kapanpun. Kesempatan itu nggak dikasih buat gue, Ay.

"Gue mau bilang terima kasih pernah hadir di hidup gue. Terima kasih karena udah mengizinkan gue kenal sama lo. Terima kasih pernah mewarnai cerita gue dengan nama lo. Lo adalah cerita yang panjang di hidup gue yang singkat. Sayangnya takdir Tuhan menolak cerita kita buat happy ending. Semoga lo nggak nyesel pernah kenal sama cowok kayak gue.

"Maaf gue banyak bohong dan sering menorehkan luka di hati lo. Maaf kalo ada janji yang nggak bisa gue tepati. Soal hadiah yang gue kasih itu anggap aja kado ulang tahun buat lo buat tahun depan. Kalo udah dibuka, mungkin lo udah tau apa isinya. Kenapa miniatur pesawat? Karena gue pengen dikenang sebagai calon Pilot sama lo.

"Oh iya, walaupun sekarang kita sejauh kedua telinga, tapi tolong inget kalo kita pernah sedekat lubang hidung, jadi jangan sedih. Satu pesen gue buat lo. Dekap perpisahan dengan lapang dada. Pastikan lo jaga diri dan wujudkan apa yang lo mau tanpa paksaan dari siapapun. Gue tunggu kabar baiknya. Dan satu lagi ... selamat memupuk rindu tanpa temu."

Satu hal yang kini dia sadari. Kata selamat tidak selalu tentang merayakan kebahagiaan, tetapi juga tentang merayakan perpisahan.

Selama menonton video itu Rayya tidak bisa membendung air matanya. Bunda memberikan kotak yang isinya sudah Rayya ketahui dari video tersebut. Tanpa membuka dan melihat seperti apa isinya, kotak itu dipeluk Rayya. Membayangkan kehangatan yang disalurkan Bara melalui kotak ini.

Bara, meskipun sekarang kita nggak jalan beriringan, gue sama sekali nggak nyesel pernah kenal sama lo. Semoga gue bisa ketemu sama cowok kayak lo dengan versi lain.

Guys, akhirnya aku bisa nyelesain cerita ini. Terima kasih udah selalu ngasih notifikasi dan meluangkan waktu buat baca cerita yang belum sempurna ini. Aku seneng banget kalo kalian bisa ngasih masukan biar cerita ini bisa lebih baik lagi ke depannya.

Kalo kalian bingung Rayya jadinya sama siapa, jawabanku adalah ... Rayya nggak sama siapa-siapa unuk saat ini. dia mau fokus dulu buat ngejar FK UI. Nggak tau kalo beberapa ahun ke depan siapa tau dia ketemu tokoh baru, hehe.

Ada yang mau disampein buat pada tokoh?

Rayya

Bara

Raga

BangSat-si anak bebek peliharaan Bara

atau mungkin tokoh yang lain? Boleh tulis dikomen, ya.

TOLONG INGAT SATU HAL. INI CERITA FIKSI, JADI JANGAN DISANGKUT-PAUTKAN SAMA IDOL TERKAIT. AKU YAKIN KALIAN SMART READERS, JADI BISA BEDAIN HAL ITU.

Bakal ada satu extra chapter dan versi au-nya, tapi aku nggak bisa janjiin kapan. Soalnya dalam waktu dekat ini aku ada projek cerita baru. Buat yang penasaran cerita selanjutnya apa, nanti aku kasih tau di sini, begitupun buat versi au dan extra chapternya.

Semoga kalian selalu bahagia dan diberikan kesehatan.

See you on the next story, papay 👋🏻

11 Maret 2022

Continue Reading

You'll Also Like

4.8K 592 53
WARNING⚠️⚠️ Cerita ini mengandung berbagai emosi. Raiya, seorang perempuan yang sangat menyukai langit. Dia yang sangat pintar untuk menyembunyikan...
1.6K 73 5
Ketika seorang siswi berprestasi hampir di keluarkan dari sekolah karena ketahuan sudah menikah. Bisakah Annettha meraih impiannya sebagai Dokter, ke...
251K 13.5K 60
Pilih mana antara orang yang sempurna dimatamu tapi tak bisa memberikan kesempurnaan di hidupmu atau orang yang dari awal sudah kamu cap buruk tapi m...
8.8K 731 28
Seorang anak remaja bernama Arfan bercita-cita menjadi seorang penulis. Namun dalam kehidupannya ia mengalami banyak masalah; kegagalan cinta, ketida...