After We Divorce [New Version]

By hechanahessa

2M 195K 5.9K

Open Pre-Order | Part Lengkap _____________ Aleena pikir, menikah dengan laki-laki yang cintanya lebih besar... More

PROLOG
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Epilog
VOTE COVER
OPEN PRE-ORDER
Masih Bisa Dipesan

Chapter 22

39.2K 4.3K 204
By hechanahessa

"Saya terlahir sebagai seorang muslim. Saya bertemu Amira, yang notabenenya memiliki keyakinan berbeda dengan saya, ketika SMA. Kami sekelas dan semakin berkembangnya interaksi kami, kami jatuh cinta dan memutuskan menjalin hubungan. Perbedaan itu tidak menjadi penghalang hubungan kami yang langgeng sampai lulus sekolah." Pandangan Pak Josua mengawang ke depan. Senyum tipis terbingkai di wajah senjanya—sepertinya sedang memutar memori manis lama. "Amira melanjutkan kuliah ke Amerika atas titah orang tuanya. Sementara saya yang berasal dari keluarga pas-pasan memutuskan kerja serabutan. Jarak tidak menjadi hambatan hubungan kami, padahal pada waktu itu belum ada HP. Kami sering bertukar surat dan sampai sekarang surat-surat itu masih saya simpan rapi."

"Setahun selepas wisudanya, berbekal sebidang sawah di desa tempat tinggal saya dan beberapa ekor kambing, saya mengajaknya menikah. Saya berpikir, kami tetap bisa menjalin hubungan dengan keyakinan menjadi urusan masing-masing. Amira juga sepakat. Katanya, tidak ada yang mampu menghalangi perasaan suci di antara kami. Namun, kenginan itu ditentang ayah Amira. Bukan hanya faktor keyakinan, tapi juga karena ekonomi dan status sosial kami sangat berbeda. Amira tak ubahnya seperti 'putri' yang dihujani harta sejak lahir. Hidup bersama saya—yang pendapatannya tidak tetap—hanya akan membuatnya tertekan dalam kesusahan, begitu kata ayahnya."

Pak Josua mengusap sudut matanya menggunakan telunjuk. Nada suaranya yang semula berangsur-angsur stabil, kembali bergetar. Tangan Aleena tidak berhenti memberikan usapan di pundaknya yang melemah. Berharap, upayanya dapat mengantarkan ketenangan walau tampaknya tidak berefek apa-apa. Agaknya emosi yang sudah lama dipendam Pak Josua sudah mencapai batas.

"Gara-gara saya, Amira terlibat pertengkaran hebat dengan ayahnya. Dan karena nggak juga bisa diluluhkan, Amira memilih pergi dari rumah dan memutus hubungan dengan keluarganya. Saya sudah berusaha membujuknya untuk meninggalkan saya, tapi dia sejatinya perempuan yang keras terhadap pendirian. Saya pun nggak punya pilihan selain menikahi dia." Napas berat terhela susah payah. "Banting tulang saya bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Apa pun saya kerjakan supaya dia nggak merasa menyesal dan nggak perlu ikut mencari nafkah. Hidup kami teramat bahagia sebenarnya, terlebih saat Ervan lahir meskipun dia harus mendapatkan perawatan intensif karena terlahir prematur."

"Kami hampir nggak pernah bertengkar hebat, tapi waktu Ervan mau masuk sekolah dan dia memberitahu sedang hamil lagi ... pernikahan kami diuji, saya di-PHK dari pabrik. Ekonomi kami sungguhan pas-pasan. Mungkin karena dia merasa tertekan dengan keadaan, kandungannya gugur." Kali ini papi Ervan sungguhan menangis. Suaranya bahkan tersendat-sendat ketika berkata, "Saya terpukul, Amira tidak kalah terpuruk pula. Agaknya, kami terlalu sibuk menata perasaan masing-masing sampai lupa untuk saling menguatkan. Akibatnya, sisi emosional kami bergejolak. Dan malam itu ... menjadi puncaknya."

"Amira menyalahkan saya karena menjual sawah dan hewan peliharaan untuk menutup biaya operasi caesar-nya sekaligus biaya perawatan Ervan, padahal itu satu-satunya aset yang kami punya. Saya yang belum juga mendapat pekerjaan, sementara tabungan kian menipis, semakin menyulut konflik. Ego saya terluka—jujur, sebab terus-menerus disudutkan. Nggak ada kesempatan untuk saya membela diri hingga saya muak. Saya ... saya ... saya nggak sengaja me-mengatakan kalimat jahat."

"S-saya mengatainya perempuan matrealistis yang nggak tau diri. S-saya juga bilang, hidup dia sebenarnya hanya beban untuk saya dan saya balik melimpahkan kesalahan atas gugurnya calon anak kedua kami," sambungnya kemudian menutup wajah dan terisak. "A-Amira pergi membawa Ervan dan itu adalah momen terakhir sebelum kami resmi bercerai. Berkali-kali saya memohon ampun, tapi hati Amira begitu keras. Saya bahkan nggak diizinkan untuk bertemu Ervan. Saya nggak menyerah. Meski hubungan kami selesai, hubungan saya dengan Ervan tidak bisa diputuskan. Sering saya diam-diam menemui putra saya dan saya harus berpuas diri dengan keterbatasan waktu. Bahkan sampai Ervan dewasa, dia tetap nggak punya kebebasan buat bertemu saya."

Saat pria paruh itu mendongak, hati Aleena teriris-iris melihat wajah Pak Josua sudah basah sempurna. Hidung sampai telinganya bahkan ikut memerah padam. Didorong perasaan tidak tega, dia membawa tangannya untuk merengkuh punggung ringkihnya.

"Saya salah, Aleena. Dosa saya terlalu banyak. Saya dulu terlalu percaya diri, sampai lupa jika yang saya tentang itu Tuhan, sang pemilik alam semesta. Saya meninggalkan aturan Tuhan hanya untuk mengejar cinta manusia yang bisa berubah sewaktu-waktu. M-mungkin itu yang disebut karma dari Tuhan. Ervan pun ikut menanggungnya. Gara-gara saya, hidup dia penuh penderitaan."

Bahu Aleena ikut basah. Perempuan itu semakin mengeratkan pelukan dan menepuk-nepuk punggungnya prihatin. Tanpa sadar, air matanya turut merembes keluar. Dadanya luar biasa sesak, terlebih ketika mendengar mertuanya terus menyalahkan dirinya sendiri.

"Yang terjadi itu udah bagian dari takdir. Papi nggak bisa terus-terusan nyalahin diri sendiri begitu. Kalo Ervan nggak hidup penuh tekanan kayak sekarang, dia akan tetap merasakan terluka karena hal lain. Tuhan nggak mungkin membebaskan umat-Nya dari ujian selama kita di dunia, Papi."

Dia merasakan kepala mertuanya mengangguk-angguk, meskipun isakan masih terdengar jelas. Aleena terus mengucapkan kalimat-kalimat penenang tanpa menghentikan gerakan tangan.

***

Lama merenung, Aleena kembali mengingat percakapannya dengan Tante Anita. Di mana perempuan itu mengatakan jika perbedaan status sosial yang berujung terhalangnya restu bukan perkara pertama di keluarga Abraham. Bahkan Davina juga sempat menyinggung permasalahan yang terjadi antara Ibu Amira dan Pak Josua. Informasi-informasi yang dia kumpulkan mulai mengerucut dan semakin lama membentuk sebuah jawaban. Sekarang Aleena bisa mengkaitkan apa penyebab mami Ervan enggan menganggapnya sebagai menantu. Bahkan perempuan itu tidak bertahan mengikuti acara pernikahannya sampai selesai.

Ibu Amira kemungkinan besar masih merasa sakit hati dan kecewa terhadap Pak Josua yang tega mengatakan hal buruk. Meskipun kondisinya sedang marah, tidak dibenarkan melampiaskan bahkan menyakiti hati orang lain. Yang seharusnya menjadi urusan masing-masing itu emosi dalam jiwa, bukan keyakinan kepada Tuhan—bila ditinjau dalam konteks hubungan asmara. Pak Josua juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Setiap individu memiliki ego, tetapi dalam sebuah hubungan tidak bisa hanya mengandalkan salah satunya saja.

Belum lagi, Ibu Amira sudah melangkah sangat jauh dengan meninggalkan keluarga. Biar bagaimanapun, keluarga adalah orang pertama yang akan selalu bertahan dalam segala situasi. Dalam kasus ini—karena keluarga Abraham dinilai cukup harmonis, rasanya kurang tepat jika mami Ervan lebih memilih 'orang luar' yang belum tentu bertahan selamanya. Cinta tidak bisa dijadikan alasan kuat. Lebih tidak bisa dijadikan alasan lagi, sikapnya yang terlampau skeptis dan menganggap Ervan akan mengalami nasib sama bila meneruskan hubungan dengan Aleena. Irasional. Dari sini bisa ditarik kesimpulan; tidak ada yang sepenuhnya benar, semua orang salah dalam porsinya masing-masing.

Pun, ketika diaplikasikan dengan permasalahan di antara hubungannya dan Ervan, jawabannya sama. Aleena turut andil dalam memperkeruh hubungan mereka. Dia juga punya kesalahan dan hal tersebut masih berkaitan dengan ego. Wanita itu sadar kalau selama ini terlalu egois dan sangat sombong karena terus-menerus menyudutkan Ervan—tanpa mau meraba-raba punggungnya sendiri. Tidak memiliki pengalaman berpacaran dan tidak ada orang terdekat untuk ditanya-tanyai mengenai pernikahan? Huft ... sekarang adalah era digital. Banyak layanan berbasis online yang menyediakan jasa konsultasi. Lagi pula, seorang psikolog bukan hanya menangani permasalahan jiwa saja, bahkan karir dan pendidikan bisa dikonsultasikan kepada mereka.

Selama ini dia selalu menyebut Ervan orang yang manipulatif. Padahal Aleena tidak kalah manipulatif; wanita itu memanfaatkan perasaan bersalah suaminya untuk memenuhi kemauan semena-menanya. Bullshit kalau dia bilang butuh diyakinkan. Sejatinya, pembuktian tidak harus membuang harga diri.

Baginya, kabur dan menyembunyikan kehamilan merupakan tindakan kekanakan. Jika memang Aleena mulai merasa tidak nyaman dan sulit mengomunikasikannya kepada pasangan, ada yang namanya jasa konseling pernikahan. Persetan dengan anggapan bahwa permasalahan rumah tangga tidak baik diumbar-umbar. Toh, konselor pernikahan bukan orang sembarangan yang akan membeberkan konflik client-nya seenak jidat. Intinya, kesalahan Ervan tidak sefatal para pelaku kekerasan dan pemerkosaan. Selama bukan kedua hal tersebut serta perselingkuhan, Aleena sepertinya masih bisa mentoleransi masalah lain.

Di antara sunyinya malam, Aleena menyandarkan punggung ke sandaran kursi kayu. Perempuan itu merapatkan jaket rajutnya untuk menghalau udara dingin di beranda rumah mertua laki-lakinya. Pikirannya mulai terbuka. Semua permasalahnnya seperti tercerahkan.

"Hei!"

Tubuhnya sedikit berjengit. Ervan datang dari dalam membawa dua mug berisi coklat yang masih mengepulkan asap. Usai menyerahkan salah satunya kepada dirinya, lelaki berkaus hitam pendek itu duduk di sebelah meja yang menjadi sekat mereka.

"You're okay?" tanyanya setelah menyeruput sedikit coklat panas. "You look stressed after talking to my father. Is everything okay?"

Alih-alih menjawab, Aleena justru memusatkan pandangan pada Ervan. Dari sudut mana pun, pria itu selalu tampak rupawan. Bentuk-bentuk anggota wajahnya sangat memanjakan mata. Meski rahangnya tidak berbentuk persegi, Ervan masih tampak maskulin dengan sepasang alis tebal dan tatapan mata tajam. Ditambah hidungnya yang tinggi—berkat darah turunan Timur Tengah—dan bibir tebal semerah buah cerry, sanggup membuat dia iri setengah mati. Tubuhnya memang jangkung, tetapi tidak kekar seperti atlet angkat besi. Namun, lebih dari itu semua ... Aleena justru tertarik pada aura kuat yang sanggup menenggelamkan jiwa.

Tanpa sadar dia memegang dada sebelah kiri. Debaran halus itu masih bisa dirasakan jelas. Jutaan kupu-kupu masih berterbangan setiap kali Ervan memberikan perhatian-perhatian kecil. Bahkan logikanya dipertaruhan acapkali Ervan menampilkan senyum atau raut getir. Aleena tidak bisa lagi menampik, meski beberapa waktu belakangan berusaha menyangkal. Perasaan itu masih ada. Bahkan lebih besar setelah tidak bertemu bertahun-tahun. Dia menafsirkan, kalimat-kalimat tajam yang sering dilontarkannya adalah bentuk lain dari ungkapan rindu. Namun, sebab terlalu lama menunggu dan berharap, perempuan itu menjadi marah pada dirinya sendiri. Jadi, secara keseluruhan ... sikap denial Aleena hanya ilusi. Nyatanya, perempuan itu sudah menantikan pertemuan mereka bertahun-tahun.

"Kamu masih menungguku setelah aku menginjak-injak harga dirimu sebagai laki-laki?" gumamnya tanpa memutus kontak mata. Lelaki di hadapannya tersebut sempat mengerutkan kening, lalu menggeleng disertai senyum tipis.

"This is my karma after all I've done to you."

"No, it's not. You're not," bantahnya tegas. "You have no karma and you're not completely at fault. Aku turut andil dalam kerusakan hubungan kita. Faktanya, kamu punya latar belakang atas semua sikapmu, sementara aku yang udah tau itu ... memilih menutup mata dan melimpahkan semua kesalahan sama kamu."

Ervan tercenung, hingga Aleena tidak tahan untuk tidak menggenggam tangannya yang tergeletak di atas meja. Satu tetes air mata jatuh seiring bibirnya berucap, "I'm so sorry. Are you going to forgive me and start all over again?"

Ini bukan hanya soal Evan yang membutuhkan figur orang tua secara lengkap, tetapi hati Aleena juga menginginkannya. Jiwanya terasa rumpang tanpa kehadiran sang suami. Ervan tidak sendirian menginginkan kebersamaan mereka diulang kembali.

Sementara sosok yang berhadapan dengannya tersebut malah semakin bungkam. Agaknya sangat terkejut mendengar permintaan tiba-tibanya sampai jakunnya naik-turun. Terlebih, tadi pagi Aleena seperti masih mempertahankan benteng pertahanan. Tetapi siapa sangka bila Tuhan membalikkan hatinya secepat ini?

"Aleena."

"Ya?"

"I should have asked for that. Aku laki-laki," lirihnya berkaca-kaca.

"You shouldn't." Kembali dia menyanggah. "Dalam sebuah hubungan komunikasi nggak bisa berasal dari satu arah aja, harus dibangun dari dua arah juga. Remember? You said that. So, allow me to repair our relationship."

Ervan benar-benar tergugu sekarang. Tubuhnya spontan merosot, kepalanya diletakkan di pangkuan Aleena. Bahu laki-laki itu bergetar hebat. Aleena bergerak membelai rambutnya sambil menghapus air matanya sendiri.

"I-I promise I'll change after this. Thank you for giving me a chance. You mean so much for me," ungkapnya mendongak.

Aleena mengangguk, lantas mengusap pipinya lembut. "Being around you is my favorite to do." Dia mengambil napas dalam. "Sebelum ngasih penjelasan ke Evan, aku mau buat kesepakatan tertulis sama kamu. Bukan karena aku nggak percaya, tapi aku mau kita sama-sama aman dan nggak ada yang namanya menang sepihak. We're a team right now."

"Yes. My team, let us climb and swim in the blue ocean. Let us rest on the moon's shoulder and shine as a sign that we have begun anew. Give me forever, My Darling."

Dari balik jendela yang tertutup gorden, Pak Josua mengusap sudut matanya yang berair. Tersimpan perasaan lega mengetahui putranya tidak menuruni nasib seperti dia. Berpisah dengan orang yang dicintai sungguh tidak mengenakan. Beruntung kali ini takdir berbaik hati kepada Ervan.

Merasa sudah puas mencuri dengar, pria paruh baya itu berjalan tertatih menuju kamar. Kalaupun setelah ini Tuhan mengakhiri penderitaannya di dunia, Pak Josua akan pergi bersama kebahagiaan tiada tara.

***

tbc

gimme your votes and comments, My Darling hihihi

See you in the next chapter

Published date : January 22, 2022.

Republished: July 21, 2023

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 109K 41
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy ya...
15.9K 265 4
Romance-Comedy Arsaka Series 3 Kehidupan komedi Saka berubah saat bertemu dengan Rinka. Dia membuka indekost di rumahnya dan perempuan itu tinggal di...
7.3M 885K 47
Davina Grizelle yang sering dipanggil Vina merupakan seorang dosen muda di sebuah universitas swasta. Dia mengajar mata kuliah Pengantar Akuntansi da...
1.7M 24.4K 41
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...